21 March 2015

Kadis Kekayaan Aceh Muhammad (paling kanan) saat penyerahan Damkar bersama Gubernur Zaini Abdullah (tengah) | Foto: Dok. ATJEHPOST.CO
Kadis Kekayaan Aceh Muhammad (paling kanan) saat penyerahan Damkar bersama Gubernur Zaini Abdullah (tengah) | Foto: Dok. ATJEHPOST.CO
saleum
Mengurai Curang Lelang Damkar Rp16,89 Miliar
Yuswardi A. Suud
24 December 2014 - 13:08 pm
Jika ada rencana mengeruk duit dari suatu pekerjaan, HPS-lah yang diutak-atik. Saat penentuan HPS, biasanya dinas terkait mengecek harga di pasaran.

KEPALA Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh, Muhammad, bersikeras membantah tak ada keterlibatan Meuligoe Gubernur dalam proyek pengadaan satu unit pemadam kebakaran senilai Rp16,89 miliar.

Ketika ditemui media ini pada Selasa malam, 23 Desember 2014, ia menolak berbicara teknis dengan alasan itu ranahnya Kuasa Pengguna Anggaran. Muhammad kemudian berlalu meninggalkan ruang kerjanya karena harus datang ke DPR Aceh. Tinggallah Kuasa Pengguna Anggaran yang juga Sekretaris Dinas, Maryami, bersama tiga stafnya.

Muhammad meninggalkan ruangan ketika pembicaraan menukik ke spesifikasi pemadam kebakaran dan penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). HPS adalah harga perkiraan barang/jasa yang ditetapkan oleh dinas sebelum proses tender dilakukan.  

Dalam banyak kasus, korupsi dimulai dari sini. Jika ada rencana mengeruk duit dari suatu pekerjaan untuk disetor ke pihak lain, HPS-lah yang diutak-atik. Saat penentuan HPS, biasanya dinas terkait mengecek harga di pasaran. 

Indikasi kecurangan kian menguat ketika Muhammad dan Maryami sempat memberi keterangan berbeda soal HPS. Muhammad awalnya mengatakan HPS ditentukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) selaku pemilik anggaran. Namun, Maryami mengatakan, HPS ditentukan oleh timnya. Belakangan, Muhammad membenarkan.

Begitu pula ketika Muhammad mengatakan tidak tahu saat penetapan HPS diputuskan seharga Rp17,4 miliar, Maryami mengatakan pernah memberitahunya sebagai bentuk koordinasi. Ketika Muhammad kembali membantahnya, Maryami pun manggut-manggut.

Ketika media ini meminta spesifikasi berikut harga perkiraan saat penetapan HPS senilai Rp17,4 miliar, eh, Maryami malah menyodorkan penawaran dari PT Dhezan Karya Perdana yang harganya sudah menjadi Rp16,89 miliar (dari pagu anggaran Rp17,5 miliar). Itu pun harga keseluruhan, tidak per item barang. Padahal, Maryami mengaku HPS ditetapkan setelah mengecek harga di internet per item barang kelengkapan sebuah Damkar.

Keterangan yang berbeda itu tentu saja semakin menguatkan dugaan ada yang tak beres dalam pengadaan Damkar ini.

Mari kita lihat track record PT Dhezan di Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh. Pada 2012, perusahaan ini memenangkan pengadaan Fire Jeep. Proyek denga pagu anggaran Rp600 juta ini, ditawar oleh PT Dhezan seharga Rp598,5 juta. Artinya, hanya selisih Rp1,5 juta dari pagu yang tersedia. Padahal, proyek ini diikuti 40 peserta lelang. Mungkinkah 39 perusahaan lain tidak berani menawarkan selisih lebih dari Rp1,5 juta?

Tabel di bawah ini adalah lima proyek yang dimenangkan PT Dhezan di Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh sejak 2012 hingga 2014 yang entah kebetulan atau tidak, jangka waktunya sama dengan masa Aceh dipimpin Gubernur Zaini Abdullah.

No

Tahun

Jenis Pengadaan

Pagu

Nilai Kontrak

Selisih

Persentase

Jumlah Peserta Lelang

1

2012

Fire Jeep

600 juta

598,5 Juta

1,5 Juta

0,25 %

40

2

2013

Mobil Pemadam

3,8 M

3,73,7 M

63 Juta

1,65 %

48

3

2013

Fire Jeep

3.150 M

3,114 M

36 Juta

1,2 %

36

4

2013

Truck Trailer

4 M

3,444 M

564 Juta

14 %

76

5

2014

Mobil Pemadam

17,5 M

16,889 M

601 Juta

3,5 %

49

Merujuk daftar diatas, jelas nampak perusahaan ini sangat istimewa di Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh. Sepanjang tiga tahun ini mereka rutin memenangkan pengadaan belanja modal.

Lihat saja selisih antara pagu anggaran dengan nilai penawaran yang dimenangkan perusahaan ini. Padahal jumlah peserta tender lumayan ramai. Nilai potongan penawaran dari pagu hanya selisih sedikit. Hanya pengadaan truk trailer yang potongan harga penawaran mereka mencapai 14 % dari pagu anggaran. Empat paket pengadaan lain hanya dipotong alakadarnya.

Dengan jumlah perserta tender sedemikian ramai lazimnya mereka yang tak punya beking atau orang dalam, akan menawarkan jauh lebih murah. Bahkan di antara peserta lelang lazim memotong sampai 20 % dari OE (owner estimated) atau pagu anggaran.

Maka hampir dipastikan perusahaan pemenang atas nama PT Dhezan selalu berada di nomor buncit dalam urutan peserta lelang berdasarkan penawaran harga terendah. Biasanya, panitia lelang selalu melihat dulu calon pemenang berdasarkan harg penawaran terendah. Baru kemudian melongok persyaratan administrasi lainnya. Seperti kelengkapan administrasi dan legalitas perusahaan.

Misalkan, untuk memenangkan perusahaan ini bila berada di urutan 40 dari nilai penawaran, panitia perlu menjatuhkan atau mencari kesalahan 39 perusahaan penawar lain yang tawarannya lebih rendah. Panitia harus bekerja keras mencari kesalahan penawar terendah dari nomor urut 1 sampai sampai penawar terendah yang ke 39.

Bayangkan bagaimana panitia lelang harus bekerja keras. Dari sini jelas terbaca bahwa permainan ini butuh pressure yang kuat dari sebuah invisible hand atau tangan-tangan tak terlihat agar perusahaan ini dimenangkan.

Dalam sistem pengadaan barang dan jasa kuasa pengguna anggaran (KPA) atau pejabat pembuat komitmen (PPK) menyiapkan spesifikasi barang atau pekerjaan. Juga menyiapkan rencana anggaran biaya (RAB) sebelum proses tender dimulai. Setelah semua administrasi lengkap, baru diserahkan ke panitia lelang untuk diumumkan.

Nah, bila dari awal pekerjaan ini mau diarahkan ke kontraktor tertentu, maka saat dibuat spesifikasi dan RAB langsung menggunakan semua data teknis dari perusahaan ini. Tentu yang seperti ini komitmen sudah dibangun jauh sebelum lelang. Kemudian si kontraktor membuat komitmen dengan penyedia barang alias pabrikan untuk tidak memberi dukungan kepada perusahaan selain yang disepakati para pihak haram ini. Walhasil, hanya mereka yang memenuhi syarat teknis sesuai spesisifikasi dan RAB di dokumen lelang. Berapapun nomor urut dari ukuran penawaran terendah tetap dengan mudah panitia memenangkan.

Sepertinya PT Dhezan melakukan hal ini sehingga berani menawarkan sangat tinggi. Lihat saja Damkar dari pagu 17,5 milyar. Nilai tawar mereka 16,899 milyar. Mereka memotong hanya 601 juta atau hanya 3,5% dari pagu.

Maka keberanian ini mesti ditopang oleh sebuah kekuasaan yang real. Kalau tidak, mana mungkin panitia lelang berani menjatuhkan begitu banyak perusahaan penawar lain.

Dari 49 perusahaan yang ikut proyek ini, di situs lpse.acehprov.go.id, hanya tertera kesalahan empat perusahaan. Sebagai contoh PT Otni Elektra disebutkan jaminan penawarannya tidak memenuhi karena tidak dapat dicairkan apabila peserta lelang yang dijamin terlibat KKN. Sementara 44 perusahaan lain (minus PT Dhezan), tidak disebutkan apa kekurangan dan kesalahannya.

Begitu juga dengan paket pekerjaan pengerukan kolam pelabuhan tahap III PPI Lampulo. Pemenang lelang hanya memotong 60 juta dari pagu anggaran. Tidak sampai 1% potongannya. Ini luar biasa karena pekerjaan seperti ini pasti ramai ditawar kontraktor lain. Karena pekerjaan ini tidak sangat spesifik selama perusahaan itu memenuhi syarat administratif.

Maka tak heran jika kemudian telunjuk para pegiat antikorupsi mengarah ke Meuligoe Gubernur. Ini diperkuat dengan kenyataan Kadis-nya adalah orang dekat gubernur seperti diakui sendiri oleh sang Kadis. (Baca: Disebut Kerabat Gubernur, Begini Reaksi Kadis Kekayaan Aceh).

Maka ketika polisi mengatakan ada banyak kejanggalan dalam pengadaan Damkar ini, masyarakat pun menyambutnya dengan gembira. Sungguh tak adil ketika untuk membeli pemadam kebakaran seharga Rp16,89 miliar (harga termahal yang pernah dibeli di Indonesia) pemerintah dengan gampang mengucurkan duit, sementara di Aceh Utara, 220 rumah dhuafa tak terbangun. Padahal bupati setempat sudah menyurati Pemerintah Aceh agar membantu pengadaan rumah untuk kaum miskin itu. (Baca: Pemerintah Aceh Tak Realisasikan 220 Rumah Dhuafa Aceh Utara?)

Padahal, jika dihitung-hitung, dengan alokasi selama ini Rp55 juta per rumah tipe 36, hanya butuh Rp12, 1 miliar untuk menyelesaikan persoalan rumah dhuafa di Aceh Utara. Artinya, masih ada Rp4 miliar lebih yang bisa dipakai untuk membangun rumah dhufa di kabupaten lain.

Jika begini, masihkah pemerintah berani mengatakan 'mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala-galanya?' [] 

Editor: Yuswardi A. Suud

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Kejari Banda Aceh Sudah Periksa Lebih…

Fraksi PAN Minta Pimpinan Bentuk Pansus…

Fraksi Demokrat DPR Aceh Dukung Pembentukan…

Kasus Damkar Rp16,89 Miliar, Kajari Bakal…

Komisi I DPR Aceh Kawal Penanganan…

HEADLINE

Gurita Proyek Poros Pendopo

AUTHOR

Fitur Baru di ATJEHPOST.COM
Yuswardi A. Suud

Aceh Hijau Untuk Dunia
atjehpost.co