SIKAP Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi yang meminta elit Aceh untuk berbesar hati menerima aturan turunan UUPA versi pusat dinilai salah kaprah.
Wakil Juru Bicara Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menilai statemen tersebut ibarat orang yang ingin hamil tapi takut melahirkan.
“Nyan sama ingin hamil, tapi takut melahirkan,” ujar Suadi Sulaiman, melalui siaran persnya kepada Atjehpost.Co, Selasa 16 September 2014.
Menurut pria yang akrab disapa Adi Laweung ini, statemen Mendagri menunjukan ketidak-ikhlasan Pemerintah Pusat terhadap perdamaian Aceh.
“Ini sudah jelas Pemerintah Pusat kembali memasuki fase pengkhianatan baru. Persoalan RPP seyogyanya tidak perlu adanya tolak tarik lagi karena itu menjadi kewajiban Pemerintah Pusat dan hak Pemerintah Aceh,” ujar Adi Laweung.
Kata dia, sikap ketidak-ikhlasan Pemerintah Pusat terhadap proses pencapaian dama ini telah ditunjukan saat perumusan, pembahasan dan pengesahan Undang Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
“Awalnya sisa 16 persoalan substansi Aceh pasca pengesahan UUPA akan dibahas kembali, namun tak kunjung juga. Konon lagi mengesahkan RPP Aceh beserta qanun-qanun Aceh yang belakangan ini juga ditolak dengan tidak jelas alasannya,” kata dia.
Kesabaran rakyat Aceh, ujarnya, sudah mencapai batas akhir. Pasalnya, sudah sembilan tahun perdamaian Aceh, semua kewajiban dan hak tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Bisa dikatakan Pemerintah Republik Indonesia berani dihamili namun tak berani melahirkan. Dengan bahasa lain bisa dikatakan Pemerintah Indonesia seperti seorang mempelai laki-laki yang menikahi seorang perempuan, namun mas kawinnya ngutang dulu pada calon mertua dan akhirnya tetap tidak dibayar lagi,” katanya lagi.
Untuk itu, ujar Adi Laweung, Pemerintah Aceh harus berani melawan terhadap tawaran Mendagri Gamawan Fauzi.
“Kalau tidak maka Pemerintah Aceh akan kembali dikebirikan dipenghujung kepemimpinan SBY-Boediono,” ujar dia.
Jika perlu Kepala Pemerintah Aceh, tambahnya lagi, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, seluruh Kepala Pemerintahan kabupaten/kota serta dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota meletakkan jabatannya secara kolektif sekaligus membawa kembali persoalan ini ke Crisist Management Iniciative sebagai fasilitator pencapaian perdamaian Aceh untuk dibahas kembali bersama sekaligus mengambil keputusan baru yang saling mengikat para pihak (RI dan GAM).
“Kalau pun Pemerintah Aceh hari ini tidak mampu mewujudkan substansi perdamaian tersebut, maka serahkan persoalan ini kepada rakyat Aceh. Karena semakin hari semakin ditunjukan sikap pecundangnya oleh Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Baca berita terkait:
DPR Aceh Minta Mendagri Tak Putarbalikkan Fakta
Aktivis Minta Pemerintah Aceh Tarik Tim dari Perundingan Aturan Turunan
Mendagri Minta Elit Aceh Terima Tiga Turunan UUPA Versi Pusat
Editor: Murdani Abdullah