HARI ini, enam tahun lalu, tepatnya 11 Oktober 2008, pendiri Gerakan Aceh Merdeka Tengku Hasan Muhamad di Tiro yang dikenal dengan nama Hasan Tiro kembali menginjakkan kaki di Aceh setelah keluar negeri karena dikejar-kejar tentara pemerintah.
Kepulangan pertamanya setelah 29 tahun di pengasingan itu disambut ribuan orang. Tiba Di Aceh setelah tiga hari beristirahat di Selangor, Malaysia, Hasan Tiro sujud syukur di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang. Sementara di luar pagar bandara, terparkir puluhan truk berisi orang-orang yang melambaikan tangan menyambut kepulangannya.
Saya yang hari itu ikut dalam rombongan penjemput yang terbang dari Bandara Subang, Malaysia, menyaksikan Hasan Tiro terharu dengan sambutan itu. Dari kursi tempat ia duduk di pesawat Firefly, Hasan Tiro membalas lambaian tangan itu. Meski ia tahu mereka yang menunggunya tak melihat lambaian tangan dari balik kaca pesawat itu.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro menuju ke Masjid Raya Baiturahman. Di sana, ribuan orang sudah menunggu dengan antusias. Di Masjid Raya, ia menyampaikan pidato meminta orang Aceh menjaga perdamaian yang telah dicapai dengan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 sekaligus mengakhiri periode perang melawan Pemerintah Pusat yang dideklarasikannya sejak 4 Desember 1976. Namun hari itu, suara Hasan Tiro tak lagi semenggelegar saat kepulangannya tahun 1976. Ia tak lagi lancar bicara. Pidatonya pun dibacakan Malik Mahmud. (Baca: Jika Sudah Lupa, Baca Lagi Amanat Hasan Tiro Ini)
***
Tiga hari sebelum tiba di Aceh, Hasan Tiro beristirahat di Hotel Concorde, Shah Alam, Selangor, Malaysia.
HASAN Tiro bagai magnet yang menyedot orang berdatangan ke Concorde. Di lobi hotel, kesibukan sangat kentara. Selama beberapa hari, lobi hotel bintang empat yang memiliki 381 kamar dan empat kamar suite dipenuhi lalu lalang orang Aceh. Sembilan sofa warna coklat hampir tak pernah kosong. Orang-orang datang silih berganti. Yang satu pulang, datang rombongan lain. Sejumlah bekas tentara GAM silih berganti mengamati setiap tamu yang datang.
Di Malaysia, penyambutan dipersiapkan oleh Majelis Nasional Aceh se-Malaysia. Ini adalah istilah untuk anggota GAM di Malaysia. Di bawah koordinator Saaduddin bin Abdullah, yang mengetuai kawasan Rantau Panjang-Klang, mereka juga mengurus segala tetek bengek administrasi hingga urusan sewa menyewa pesawat yang dipakai untuk menerbangkan Hasan Tiro ke Aceh. Kamar 910 disulap menjadi semacam kantor kecil. “Kepulangan bersejarah ini harus dipersiapkan sebaik mungkin,” ujar Saaduddin.
Tak semua orang yang datang mendapat “tiket” bertemu Hasan Tiro. Apalagi, siang hari itu tamu tak diperkenankan meluncur ke lantai 15. Saat itu dimanfaatkan Hasan Tiro untuk beristirahat. Pintu baru dibuka kembali pukul 17.00. Muzakir Hamid bolak-balik turun naik dari lantai 15 ke lobi hotel. Pria berkulit putih yang akrab disapa ustad itu bertugas menyusun jadwal pertemuan.
Hari ketiga gelombang tamu kian deras. Ada yang dari Aceh, ada pula yang mewakili pemerintah Indonesia, seperti Zainal Arifin dari Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Desk Aceh. Mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga ketua juru runding pemerintah Indonesia, Hamid Awaluddin datang keesokan harinya. Rombongan ulama Aceh yang dipimpin Profesor Teungku Muhibudin Waly tiba di hari yang sama.
Saat itu, Hasan Tiro laksana legenda hidup yang menyihir. Lantang menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah Jakarta, lelaki yang pernah 25 tahun menetap di Amerika Serikat itu menggagas nasionalisme Aceh. Untuk mewujudkan ide itu, Hasan Tiro meninggalkan istrinya Dora, anak semata wayangnya Karim Tiro, dan perusahaannya di New York.
Saya menyaksikan selama tiga hari itu orang-orang Aceh di Malaysia berduyun-duyun mendatanginya. Mereka datang untuk menemui orang tua berusia 83 tahun yang menghabiskan lebih separuh hidupnya untuk memperjuangkan martabat Aceh.
Lobi Hotel Concorde sudah seperti meunasah saja. Setiap hari, puluhan orang asal Aceh berkerumum di tempat itu. Sembilan sofa untuk 18 orang itu tak pernah sepi penumpang.
Mereka yang hadir akan dipanggil bergilir untuk menghadap Tiro. Umumnya dalam waktu tak lama. Ia pun tak banyak cakap: bersalaman, berfoto, lalu pertemuan usai. Kata yang kerap disebutnya kepada para tamu cuma thank you dan thank you.
Di kamar tempat ia menginap, di lantai 15 Hotel Concorde, Shah Alam, sekitar 45 kilometer dari Kuala Lumpur ia menerima setiap tamu yang mengunjunginya. Kamar itu cukup luas. Maklum, ini kamar kelas atas: president suite.
Di dalamnya, ada ruang tamu dengan empat sofa warna coklat. Di atas meja, tergeletak dua buku tebal tentang sejarah Aceh. Kamar tidur yang berhadapan dengan ruang tamu masih tertutup dan baru terbuka semenit kemudian. Dari dalam, lelaki itu keluar dengan senyum mengembang. Di usia senja, 83 tahun, ia masih tampil necis: mengenakan jas, kemeja putih dan dasi merah marun.
“Anybody here from Aceh?” Ia bertanya kepada tujuh orang yang berbaris menyamping, memberi jalan menuju sofa. Yang ditanya hanya tersenyum. Ketujuh orang itu adalah anggota GAM alumni Libya yang bertugas mengawalnya selama di Malaysia.
“Ya, semua orang Aceh, Pak Cik,” sahut Muzakir Abdul Hamid, lelaki yang mendampinginya dalam bahasa Aceh.
“Good, very good.”
Lelaki yang dipanggil Pak Cik itu, Hasan Tiro, lantas menyalami mereka. Semua mencium tangannya penuh takzim. Kepada setiap orang yang disalaminya, Tiro selalu berujar, “Thank you, thank you very much.”
Kami menemuinya pada hari kedua ia tiba di Malaysia. Saya bersama dua wartawan Aceh lain: Murizal Hamzah (Sinar Harapan) dan Zainal Arifin (Serambi Indonesia) adalah wartawan pertama yang diberi kesempatan bertemu pencetus sekaligus pimpinan Gerakan Aceh Merdeka itu.
Itulah pertama kalinya saya bertemu Hasan Tiro. Ketika ia mendeklarasikan GAM, saya belum lahir. Pertemuan itu terasa berkesan. Tak pernah terdengar ada wartawan Aceh yang menemuinya sebelumnya. Itu sebabnya, kami memburunya ke Malaysia.
Hasan Tiro memulai perlawanan melawan pemerintah Indonesia sejak usia 29 tahun saat bekerja di kantor perwakilan Indonesia di New York, Amerika Serikat, pada 1954. (Baca: Surat Halilintar nan Mengguncang dari Hasan Tiro Muda dan Hasan Tiro di Panggung Islam Dunia).
Kami diperkenalkan satu persatu. Ketika menjabat tangannya, saya melanggar satu aturan yang telah disepakati bersama dua rekan wartawan lain. Aturannya: jangan ada yang mencium tangan Hasan Tiro. Ini bukan soal arogansi. Tetapi dalam jurnalistik, ada aturan bahwa wartawan harus memposisikan diri setara dengan narasumber.
Tapi ketika Hasan Tiro muncul, aura kepemimpinannya terasa kuat. Secara refleks saya menunduk dan mencium tangannya, hal yang kemudian membuat saya menjadi bahan ledekan dua rekan lain.
Hasan Tiro tertawa lebar ketika saya mengatakan hari itu impian saya bertemu dengannya dalam kapasitas sebagai wartawan terwujud sudah.
Namun, ketika pertemuan itu terjadi, Hasan Tiro tak lagi segarang masa mudanya. Stroke yang menderanya beberapa tahun sebelumnya telah membuatnya kesulitan bicara.
Malik Mahmud dan Zaini Abdullah yang waktu itu masing-masing menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri GAM, lebih banyak berbicara,
Usai perkenalan, Zaini Abdullah yang kini menjabat Gubernur Aceh, angkat bicara. Menteri Luar Negeri GAM itu mewanti-wanti orang Aceh agar merawat perdamaian yang telah dirajut. Ia mengibaratkan perdamaian adalah seperti bunga yang harus senantiasa disiram. “Tapi jangan sampai melewati batas sehingga menjadi takabur,” ujarnya.
Zaini juga menyentil mantan anggota GAM yang terlibat tindak kriminal. Ia tampaknya resah dengan masih adanya bekas petempur GAM yang berbuat onar. Itu sebabnya, ia meminta tidak ada anggotanya yang mengutamakan kepentingan pribadi, apalagi terlibat kriminal.
“Kita semua harus bisa menjaga diri dan memelihara perdamaian agar abadi, sehingga cita-cita kita tercapai,” serunya.
Hasan Tiro tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar Zaini bicara. Satu jam sebelum pertemuan itu, kami sudah diwanti-wanti untuk tidak mengajukan pertanyaan.
“Mau diterima saja sudah syukur,” ujar seorang pengawal Hasan Tiro.
Untungnya, di akhir pertemuan selama 24 menit itu, Zaini membuka peluang bertanya.
“Apa pesan wali untuk masyarakat Aceh?”
Zainal mengambil kesempatan itu. Hasan Tiro mengernyitkan dahi. Zaini yang duduk di sofa sebelah kirinya menerjemahkan pertanyaan itu dalam bahasa Inggris.
Hening. Tak ada suara. Sesaat kemudian, barulah Hasan Tiro buka suara. Dengan suara terputus-putus ia meminta rakyat Aceh melek sejarah.
“Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa itu tidak mungkin membina hubungan dengan negara-negara lain seperti yang terjadi sekarang ini,” ujarnya dalam bahasa gado-gado, Aceh bercampur Inggris.
“They had done anything that happened. People ini Papua..lebih banyak yang mereka usaha sekarang bahwa ber..berju..ang..itu penting sekali. Saya dengar orang Aceh banyak sekali di Jakarta sekarang berjuang untuk Aceh. Dan semua orang, semuanya mau seperti..”
Suaranya terhenti. Muzakir Hamid menimpali,”semuanya ingin seperti Aceh.” Hasan Tiro mengiyakan.
Melihat Hasan Tiro Melihat Hasan Tiro mulai susah bicara, Syarif Usman yang sedari tadi duduk di kursi belakang menghentikan perbicangan. “Sudah cukup, wali masih kelelahan,” ujarnya. Syarif adalah salah satu anggota GAM yang bermukim di Swedia.
Begitulah. ketika Hasan Tiro menginjakkan kakinya kembali di Aceh pada 11 Oktober 2008, ia seolah membuktikan kembali apa yang ditulisnya dalam buku harian ketika keluar masuk belantara Aceh pada kurun waktu 1976-1979. Di buku berjudul The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan Tiro ia menulis,” Hanya orang gila dan dungu yang percaya aku tak akan kembali lagi.”
Setelah kepulangan perdana itu, Hasan Tiro kembali ke Swedia setelah sempat bertemu Jusuf Kalla di Jakarta. Tak lama, ia kembali lagi ke Aceh. Malaikat maut menjemputnya di Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh, pada 3 Juni 2010. Hasan Tiro kemudian dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Aceh Besar, di samping makam Tengku Chik di Tiro, kakek buyutnya yang mengobarkan perang sabil melawan Belanda.[]
Lihat juga:
Galeri Foto: Hasan Tiro Pulang ke Aceh 11 Oktober 2008