NAMA Din Minimi atau Abu Minimi menjadi buah bibir dalam dua hari terakhir. Itu terjadi setelah ia muncul di koran dengan memamerkan senjata api laras panjang, hal yang terlarang dalam undang-undang.
Polisi sudah sejak setahun lalu memburunya lantaran ia dan kelompoknya terlibat sejumlah aksi kriminal seperti perampokan, pemerasan, dan penculikan. Maka bertumpuklah kesalahan Din Minimi di mata aparat penegak hukum. Itu sebabnya, bagi polisi, Din Minimi adalah burunon yang harus ditangkap.
Kepala Humas Polda Aceh, Kombes Gustav Leo, mengonfirmasi Polda Aceh telah membentuk tim khusus dan sedang bergerak ke lapangan mengejar Din Minimi dan kelompoknya.
Saat ini, katanya, tim yang dibentuk Polda Aceh mengepung dan mencari keberadaan kelompok Abu Minimi sudah bekerja di lapangan.
“Pelanggaran yang dilakukan oleh Din Minimi harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” katanya.
Di lain sisi, Din Minimi adalah pribadi yang kompleks. Hidupnya berkalang derita. Keluarganya sudah terlibat di GAM sejak awal gerakan itu didirikan pada 1976.
Sumber ATJEHPOSTco menuturkan, nama Minimi yang melekat di belakang namanya adalah warisan dari sang ayah yang dikenal dengan nama Ayah Minimi.
“Di rumah Ayah Minimi di Geureudong Pase diadakan rapat pertama perjuangan GAM (di wilayah Pase) pada masa silam,” kata sumber ATJEHPOSTco yang menolak namanya ditulis.
Konon, Ayah Minimi pernah ditembak dengan senjata minimi, namun tidak tembus lantaran memiliki ilmu kebal. Itulah sebabnya, rekan-rekannya memanggilnya Ayah Minimi.
Namun petulangan Ayah Minimi berakhir setelah terjaring sweeping aparat keamanan di kawasan Alue Ie Puteh, Kecamatan Baktya, Aceh Utara, pada masa konflik bersenjata.
Sumber itu menyebutkan, sejak saat itu Ayah Minimi hilang. Sumber lain menyebutkan, setelah terjaring razia, Ayah Minimi digilas dengan kenderaan hingga tewas.
Menurut sumber itu, Nurdin alias Abu Minimi lahir di Julok, Aceh Timur. Dia memang mantan kombatan. Terakhir pada masa awal damai Aceh, Abu Minimi pernah pulang ke Geureudong Pase, rumah orang tuanya.
Selain ayahnya, Din Minimi juga kehilangan dua adiknya. Seorang adiknya tewas dalam pertempuran antara GAM dan TNI pada 2004. Sedangkan adiknya satu lagi hilang masa konflik. Hingga kini, ia tak tahu adiknya masih hidup atau mati.
Dari seorang sumber lain di organisasi tempat berhimpunnya mantan kombatan GAM, Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Timur, diperoleh konfirmasi Din Minimi resmi masuk GAM sejak 1997. Ia mengikuti jejak ayahnya di masa lalu.
"Beutoi, gobnyan pernah jeuet keu anggota KPA. Tapi kemudian memisahkan droe karena kleuet bacut (Benar, dia pernah jadi anggota KPA, tapi kemudian memisahkan diri karena agar liar)," kata sumber yang lagi-lagi menolak namanya ditulis.
Di mata sumber ini, Din adalah pribadi yang pendiam, tapi bertempramen tinggi. Keterangan sumber itu juga dibenarkan oleh seorang pengurus KPA pusat.
Penelusuran ATJEHPOST dari sumber lain menyebutkan Din Minimi berselisih paham dengan pengurus KPA lain saat Pilkada 2012. Saat itu, KPA mengusung pasangan pimpinan GAM Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Sementara Din Minimi merapat ke Muhammad Nazar, mantan Wagub Aceh yang maju ke gelanggang pemilihan gubernur pada 2012.
Sejak itu, Din memilih jalannya sendiri. Lama menghilang, namanya kemudian dikaitkan dengan sejumlah tindak kriminal di Aceh Timur.
Hingga kemudian ia membuat heboh dengan muncul di koran dan melontarkan kritik pedas terhadap Pemerintah Aceh yang sebenarnya adalah pemimpinnya di masa perang melawan Pemerintah Pusat yang dinilai telah berlaku tidak adil terhadap Aceh.
Dengan rekam jejak keluarganya di masa lalu, kehilangan ayah dan dua adiknya dalam membela GAM, mungkinkah tindakan Din mengobarkan pemberontakan dipicu rasa kecewa yang teramat dalam terhadap mantan pemimpinnya?
"Kami siap melawan pemimpin Aceh dengan cara apapun, karena mereka sudah tidak lagi amanah. Banyak mantan kombatan GAM, janda, dan anak yatim akibat konflik saat ini hidup memprihatinkan," kata Din ketika bertemu sejumlah wartawan di lokasi persembunyiannya.
Menariknya, Din mengaku siap kembali jika pemerintah memenuhi permintaannya. Ia pun siap menyerahkan senjata.
“Kamoe akan melawan pemerintah sampoe darah kamoe abeh. Tapi bila pemerintah geupeunuhi yang kamoe lakee, kamoe pih siap kembali, dan senjata kamoe jok keu yang berhak atawa polisi,” (Kami akan melawan pemerintah sampai darah kami habis. Namun bila tuntutan kami dikabulkan, kami kembali ke masyarakat dan senjata kami serahkan ke aparat polisi),” ujar Nurdin.
Pernyataan itu tampaknya memberi harapan bagi Pemerintah Aceh untuk kembali merangkul Din Minimi. Tapi di sisi lain, polisi tentu tak bisa kompromi dengan aksi kriminal yang diakui Din dilakukan bersama kelompoknya.
Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh, Abdullah Saleh, melihat aksi Din Minimi berada di ranah kriminal dan himpitan ekonomi.
Itu sebabnya, Abdullah Saleh meminta Pemerintah Aceh berkoordinasi dengan semua pihak termasuk aparat penegak hukum. "Jika bisa diberi pengertian, pemahaman dan pendekatan, coba dilakukan. Tapi dilihat arahnya kemana. Kalau lebih ke kriminal, ya yang bisa dilakukan adalah pendekatan secara hukum," katanya.
Selain itu, Abdullah Saleh juga melihat ada motif ekonomi dibalik aksi Din Minimi. "Jika berbicara kesejahteraan atau hidup layak, bukan hanya eks kombatan, tapi seluruh rakyat mengalaminya," katanya.
Sementara itu, muncul pula suara-suara yang meminta agar Pemerintah Aceh melakukan introspeksi.
"Harus disadari bahwa munculnya Din Minimi dan kelompok bersejata lain tidak terlepas dari kondisi perekonomian Aceh yang semakin sulit," kata Fakhrulradhi, pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh.
Itu sebabnya, kata Fakhrul, Pemerintah Aceh harus menyikapinya dengan bijaksana. Menurutnya, munculnya kelompok bersenjata di tengah situasi Aceh yang sedang damai tidak terlepas dari pola distribusi sumberdaya terbatas pada sekelompok orang, terutama mereka yang berasal dari lingkaran keluarga pucuk pimpinan di Pemerintah Aceh.
"Azas kekeluargaan sangat tinggi. Hanya keluarga dan kolega tertentu yang menikmati kesejahteraan dari pemerintah saat ini” kata Fakhrul.
Itu sebabnya, Fahrul berharap Pemerintah Aceh segera berbenah sebelum muncul kelompok lain yang mengekspresikan rasa tidak puas dengan caranya sendiri.
“Gerakan Abu Minimi ini tidak boleh dihadapi dengan senjata atau kekerasan, karena masyarakat Aceh sudah jenuh dan bosan dengan konflik. Karena itu, buka ruang komunikasi kepada kelompok Din Minimi sehingga menemukan kesepakatan bersama, mereka juga masyarakat Aceh,” harap Fakhrul Radhi yang juga direktur Universitas Of Ideas.
Harapan serupa juga datang mantan Wagub Aceh, Muhammad Nazar. Nazar menyarankan Pemerintah Aceh membuka ruang diskusi yang baik dengan kelompok Abu Minimi agar keinginan mereka tercapai. “Pemerintah bisa memanfaatkan sejumlah LSM yang memang dekat dengan Abu Minimi sebagai jembatan komunikasi dengan kelompok tersebut,” ujarnya.
Menurutnya dengan adanya komunikasi yang baik, akar persoalan munculnya kelompok tersebut didapati dan ditindaklanjuti dengan kedewasaan. Sehingga, katanya, tidak ada perpecahan di kalangan masyarakat Aceh.
Sementara itu, seperti kata Humas Polda Aceh Gustav Leo, di lapangan, polisi sedang bergerak memburunya.[]
Update:
Gubernur Zaini: Tidak Ada Rekonsiliasi, Din Minimi Urusan TNI Polri