ABUBAKAR salah seorang dari ratusan saksi detik-detik kematian gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Arun. Geuchik Gampông Ujong Pacu, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, itu menyaksikan pengapalan LNG di Pelabuhan Khusus Blang Lancang, Lhokseumawe, 15 Oktober 2014. LNG terakhir itu diangkut Kapal Hanjing Pyeong Taek ke Korea Selatan.
Di dermaga pelabuhan itu, upacara seremoni tamatnya riwayat LNG diwarnai pemberian cenderamata dari Presiden Direktur PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) Gusti Azis kepada Kapten Kapal Hanjin Pyeong Taek, Lee Joung Kwon, dan Chief Engineer, Mr. Hong Seong Ji. Keduanya memperoleh kupiah meukeutop dan rencong. Seremoni ditutup dengan peusijuek dua orang Korea itu, dan doa bersama dipimpin ulama Aceh Utara Tgk. Mustafa Ahmad atau Abu Paloh Gadeng.
Anggota grup Goeng Pusaka kemudian menabuh Rapa’i Pase mengiringi ayunan langkah Lee Joung Kwon dan Mr. Hong Seong Ji menuju kapal Hanjin Pyeong Taek. Dari atas kapal tanker LNG itu, keduanya melambaikan tangan kepada keluarga besar PT Arun dan tamu undangan. Lambaian tangan pun berbalas; “Selamat jalan LNG Arun, selamat menikmati gas alam Aceh terakhir, Korea!”
Seremoni usai, Abubakar dan jemaah saksi kematian LNG Arun meninggalkan dermaga. Dalam mobil pengantar tamu undangan ke pintu utama kompleks PT Arun, Abubakar menerima cenderamata payung cantik dari karyawan perusahaan itu. Payung merah maron itu bertuliskan “Pengapalan Terakhir LNG” lengkap dengan logo “Arun LNG Lhokseumawe, Aceh”.
Abubakar dan tamu undangan lain menjinjing payung terbungkus rapi sambil keluar dari mulut pintu kompleks PT Arun. Mereka disambut sorak-sorakan ratusan pengunjuk rasa. Massa gabungan warga eks-Blang Lancang dan Rancong dan mahasiswa berunjuk rasa menuntut janji resettlement (pemukiman baru) yang belum direalisasikan pemerintah dan PT Pertamina. Janji itu diucapkan Gubernur Aceh Muzakir Walad ketika pemerintah menggusur 452 keluarga warga gampông itu tahun 1973/1974.
“Ka 4.269 boh kapai gaih Aceh dipuplung u luwa nanggroe, cuman saboh payông dijôk keu droeneuh Pak Geuchik. Kupeu neutueng, neujôk pulang keudéh payông nyan, tanyoe ék tabloe keudroe teuh (sudah 4.269 kapal gas alam Aceh dibawa lari/dijual ke luar negeri, hanya sebuah payung diberikan kepada Anda Pak Geuchik. Kenapa diterima, kembalikan saja payung itu, kita pun sanggup membelinya),” teriak seorang pengunjuk rasa disambut yel-yel sarat ledekan di tengah kerumunan massa.
Geuchik, tokoh masyarakat, dan tamu undangan lain mengulum senyum. Mereka berlalu dari lokasi unjuk rasa dengan salah tingkah. “Kalau tahu ada demo, saya tidak datang ke acara pengapalan terakhir. Jadi serba salah gara-gara bawa pulang payung ini,” kata seorang tokoh masyarakat.
Ia pernah menghadiri pengapalan LNG Arun sekitar lima tahun lalu. Ketika itu, tamu undangan diberi cendera mata cangkir cantik bergambar lidah api logo Arun LNG. Cangkir itu, kata tokoh masyarakat yang enggan ditulis namanya, pecah setelah beberapa bulan digunakan.
“Waktu pengapalan itu tidak ada pendemo,” ujarnya.
Ketika PT Arun menggelar pengapalan LNG masa konflik Aceh, Geuchik Abubakar kebagian jam tangan dan jam dinding.
“Pengapalan terakhir diberi payung merah,” kata Ketua Forum Komunikasi Geuchik Lingkungan PT Arun ini sambil terkekeh.
Geuchik Ujong Pacu ini menilai cenderamata sebuah payung sangat tidak sebanding dengan gas alam Aceh yang dijual ke luar negeri. Walau merasa kecewa terhadap PT Arun, ia hanya bisa pasrah.
“Meudéh bèk meumada ngon saboh payông, tapikakeuh meunan kiban tapeugöt cit kalagèe nyan (mestinya jangan hanya sebuah payung, tapi kenyataannya tidak sesuai harapan),” ujar Abubakar.
Payung pengapalan LNG terakhir diterima geuchik dan tokoh masyarakat diperkirakan seharga Rp100 ribu-Rp150 ribu. Sementara nilai gas alam cair 125 ribu meter kubik atau satu kapal mencapai US$ 40 juta lebih.
+++
TIDAK semua geuchik dari 13 gampông binaan PT Arun menghadiri pengapalan terakhir. Geuchik Gampông Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Dahlan, memboikot kegiatan tersebut sebagai bentuk protes terhadap perusahaan yang dinilai tidak membawa manfaat untuk masyarakat gampông lingkungan Kilang LNG.
Masa awal PT Arun, kata Dahlan, beberapa warga dhuafa menerima batuan rumah dari dana zakat gaji karyawan perusahaan itu melalui Badan Dakwah Islam (BDI) Arun. Bantuan lain dari BDI berupa daging, beras, dan gula, menjelang bulan Puasa.
“Dari dana CSR PT Arun tidak satu pun proyek yang diberikan untuk gampông. Masyarakat hanya menjadi penonton, kalau ada warga yang buat proposal hanya dibantu 3 juta, dibuat ketergantungan, bukan dibina melalui unit usaha ekonomi agar masyarakat mandiri,” kata Dahlan.
Itulah sebabnya, tidak ada perubahan kehidupan masyarakat lingkungan perusahaan. “Sejak berdirinya PT Arun sampai sekarang biasa saja, tidak ada manfaat lebih yang dirasakan masyarakat dari hasil gas itu, masyarakat banyak yang miskin,” ujar Manah, 68 tahun, warga Gampông Meuria Paloh, Kecamatan Muara Satu.
Menurut Komite Pemuda Partisipatif (KP2)—sebuah LSM yang dibangun tokoh pemuda lingkungan Kilang LNG, angka pengangguran pun masih tinggi. Kondisi tersebut dinilai bentuk kegagalan pembangunan berkelanjutan melalui CSR.
“Kami minta pemilik saham Kilang LNG Arun bertanggung jawab atas kegagalan, pembiaran, dan ketidakmampuan menghindari kutukan sumber daya alam bagi masyarakat lingkungan,” ujar Ketua KP2 Syukri.
Di Gampông Aron, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara, lokasi ditemukan cadangan gas pertama oleh Mobil Oil Indonesia Inc (ExxonMobil sekarang), nasib masyarakat setali tiga uang dengan lingkungan Kilang LNG Arun. Omiyah, janda duafa 72 tahun, di Gampông Aron hanya menerima sehelai sarung, sajadah, dan uang Rp100 ribu saat Lebaran Idul Fitri.
“Hanya sekali, setelah itu tidak pernah lagi,” ujarnya. Ia kini tinggal bersama dua cucunya yang sudah lama yatim.
Anggota Tuha Peut Gampông Aron, M. Saleh menuding kehadiran Mobil Oil Indonesia/ExxonMobil sejak 1971 sampai 2014 tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
“Dulu sekitar 1979, Mobil Oil memberi bantuan sembilan lembu ke masing-masing gampông sekitar ladang gas. Anehnya lembu itu tidak sampai ke Gampông Arun,” kata pria setengah abad ini.
Kala itu muncul kabar, lembu untuk Gampông Aron diganti dengan koperasi dikelola Kemukiman Aron. Kenyataannya tetap tidak memberi manfaat lantaran masyarakat hanya menjadi penonton.
“Dulu saat Cluster I ExxonMobil sangat maju, masyarakat hanya jadi penonton, apalagi sekarang. Yang ada hanya jika diminta kehadiran anak yatim untuk acara mereka, selebihnya tidak ada,” ujar Saleh.
Geuchik Gampông Aron, M. Jafar menyebut 250 jiwa atau 57 keluarga warga setempat tidak satu pun yang pernah menerima bantuan ExxonMobil. Perusahaan raksasa ini disebut juga tidak membangun fasilitas untuk Gampông Aron. Itulah sebabnya, kata Jafar, sejak dulu tidak ada perubahan ke arah lebih baik. “Pembangunan sarana dan prasarana di gampông ini hanya hasil swadaya masyarakat,” ujarnya.
Anggota DPRK Aceh Utara dari Kecamatan Syamtalira Aron, Abdul Muthalib menilai keberadaan ExxonMobil hanya memperkaya orang luar Aceh, sementara masyarakat atau putra daerah menjadi penonton. “Tidak ada manfaat apa pun yang ditinggalkan Exxon untuk masyarakat,” kata Abdul Muthalib alias Taliban.
Taliban menyatakan gas alam melimpah disedot ExxonMobil selama 40 tahun berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Kecamatan Syamtalira Aron dan sekitarnya.
“Masyarakat sama sekali tidak sejahtera, karena dana CSR tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka ambil,” ujarnya.
Bahkan, kata Taliban, ExxonMobil tidak memperbaiki jalan jalur pipa gas.
“Exxon hanya mengisap ‘madu’ sampai habis,” ujar putra Gampông Calong, Kemukiman Blang Asan, Kecamatan Syamtalira Aron ini.
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Aceh Utara, Fauzi Abubakar prihatin terhadap kondisi masyarakat lingkungan ladang gas dan Kilang LNG Arun. “Hasil yang ditinggalkan dari proses demikian panjang tidak sebanding. Gas habis, masyarakat lingkungan tidak sejahtera,” katanya.
Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya dalam makalahnya berjudul “Arun dan Rakyat yang Terpinggirkan”, menyebut kehadiran Kilang LNG Arun dengan segala fasilitas pendukungnya sejak 1974 telah mengubah rona fisik tata ruang Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara. Kota menjadi terang benderang lewat ribuan lampu menerangi jalan.
“Uang jutaan dolar berputar sekitar proyek Arun dan turunan bisnis gas alam yang menyertainya,” ujar Suaidi.
Akan tetapi, setelah sekitar empat dekade Arun menjadi salah satu pusat industri petrokimia canggih Indonesia, kini terkena vonis hukum alam lantaran cadangan minyak dan gas habis. Itulah sebabnya, kata Suaidi, meski kemegahan dan kemewahan terpancar dari proyek mercusuar PT Arun, namun tidak banyak manfaat dirasakan masyarakat.
“Fakta hari ini, setelah lebih 40 tahun sumberdaya alam migas dipompa keluar dan ribuan kapal tangker LNG, kondensat, serta LPG lepas jangkar dari Pelabuhan Khusus Blang Lancang, ternyata memuarakan angka kemiskinan di Lhokseumawe dan Aceh Utara sekitar 40 ribu jiwa, atau terbesar dari jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota lainnya di Aceh,” ujar Suaidi.
Lantas bagaimana komentar ExxonMobil dan PT Arun? ExxonMobil mengklaim selama beroperasi di Aceh Utara telah menyediakan lapangan kerja langsung dan tidak langsung, belanja barang dan jasa, pendanaan program investasi masyarakat yang strategis, kontribusi kepada organisasi masyarakat, dan perguruan tinggi.
“Sebagai kontraktor pemerintah di Lapangan Arun, ExxonMobil telah aktif terlibat dalam berbagai program pengembangan masyarakat yang berfokus pada bidang kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi,” kata Manajer Humas ExxonMobil Aceh, Armia Ramli via e-mail.
Sejak 2007 hingga saat ini, menurut Armia, ExxonMobil memberi kontribusi lebih 7 juta dolar AS untuk program pengembangan masyarakat sekitar wilayah operasi perusahaan ini.
Presiden Direktur PT Arun, Gusti Azis mengakui dana CSR kepada lingkungan Kilang LNG tergolong kecil. “Saat ini memang nilainya agak kecil, sebesar US$ 500 ribu, hampir Rp7 miliar tahun ini. Tapi banyak hal yang sudah kita lakukan dan kita sampaikan baik untuk bidang pendidikan, sosial, kesehatan dan lainnya,” ujarnya.
Taliban berharap Pemerintah Aceh belajar dari pengalaman kontrak kerja sama Pemerintah Pusat dengan ExxonMobil masa Orde Baru agar ke depan tidak “jatuh ke lubang yang sama”. Dengan adanya UUPA, harus diperjelas hak masyarakat lingkungan agar tidak dirugikan. “Lebih jeli dan konkrit mengkaji perjanjian dengan perusahaan eksplorasi dan eksploitasi migas Aceh, paling tidak CSR harus membawa kesejahteraan bagi masyarakat lingkungan,” kata anggota dewan Aceh Utara dari Partai Aceh ini.
Fauzi Abubakar menekankan jika ke depan ada perusahaan migas beroperasi di Aceh, wajib melahirkan industri-industri yang membuat masyarakat mandiri dan sejahtera. Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh Uara ini berharap pula pemerintah daerah memberi perhatian lebih kepada gampông-gampông atau kecamatan penghasil migas melalui kegiatan pembangunan bersumber dari dana bagi hasil. “Gampông-gampông atau kecamatan penghasil itu layak memperoleh hak istimewa,” ujarnya.
+++
EKSPLOITASI cadangan gas alam salah satu terbesar di dunia menyisakan kemiskinan membuncah di lingkungan ladangan gas Aceh Utara dan Kilang LNG Arun Lhokseumawe. “Mungkin di luar sana Gampông Aron terdengar megah semegah PT Arun. Padahal ekonomi masyarakat sangat rendah,” ujar Geuchik Gampông Aron, M. Jafar.
Tokoh masyaraat Gampông Aron, M. Idris Abbas mengusulkan dibangun miniatur ExxonMobil agar menjadi kenang-kenangan kemegahan gas alam itu. “Dengan dibangun miniatur ExxonMobil, sejarah penemuan ladang gas di Aceh Utara akan terus dikenang. Jika tidak, secara perlahan tapi pasti sejarah itu akan dilupakan generasi penerus bangsa,” katanya.
LNG Arun kini tinggal kenangan. Geuchik Abubakar masih menyimpan payung hadiah PT Arun. “Belum saya pakai, payung lain pun ada di rumah,” ujar dia saat dihubungi tiga hari setelah pengapalan terakhir. Payung itu sebagai bukti Abubakar telah menghadiri upacara kematian LNG Arun.[] Irman I. Pangeran dan Zulkifli Anwar
Editor: Boy Nashruddin Agus