RUANG pertemuan Kantor Camat Kuala Batee, Aceh Barat Daya, Selasa 25 Februari 2013, dipenuhi puluhan orang. Belasan di antaranya perempuan paruh baya. Orang-orang yang hadir itu merupakan aparatur dari 22 gampong di kecamatan itu. Mereka datang untuk mendiskusikan usulan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan atau Musrenbang tingkat kecamatan tahun 2014.
Usulan dalam Musrenbang kecamatan itu beragam, mulai dari infrastruktur hingga sosial budaya. Terkadang, ada usulan yang diajukan dalam nada rileks. Seorang keuchik misalnya, saat ditanyakan mana yang dipilih menjadi skala prioritas, pengadaan bibit sawit atau pupuk, ia menjawab dua-duanya. “Kalau tidak ada bibit untuk apa pupuk?” Gelak tawa pun mengguncang suasana aula.
Sementara usulan infrastruktur kebanyakan tentang pembuatan jalan. Ada keuchik mengusulkan pembuatan jalan baru sepanjang dua kilometer yang menghubungkan kedua dusun di desanya. Yang lain meminta modal usaha untuk fakir miskin.
Sebelum di Kuala Batee, Musrenbang telah dilakukan di beberapa kecamatan lainnya. Selain Kuala Batee, Aceh Barat Daya memiliki beberapa kecamatan lagi, yaitu Blangpidie, Susoh, Setia, Babahrot, Tangan Tangan, Manggeng, Jeumpa, dan Lembah Sabil.
Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya, Mac Rivai, menilai partisipasi warga untuk mengadakan Musrenbang desa lumayan tinggi. Situasi ini diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2006 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
“Memang pembangunan nasional ditinjau dari bawah atau istilahnya bottom-up plan sehingga setiap gampong sudah mengingatkan diri untuk melakukan musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa. Itu dilakukan setiap awal tahun, lalu dilanjutkan ke tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional,” ujar Mac Rivai.
Pada awal tahun, semua usulan pembangunan untuk tahun berikutnya ditampung. Di dalam setiap usulan itu, kata Mac, ada skala prioritas sesuai kebutuhan masyarakat setempat. “Karena setiap usul itu kan tak semuanya menjadi kebutuhan, ada juga hanya keinginan,” sebutnya.
Sebelumnya, usulan itu sudah lebih dulu disolidkan di setiap desa masing-masing berdasarkan Musrenbang gampong. Bappeda Aceh Barat Daya sebagai perpanjangan tangan pemerintah kabupaten di bidang perencanaan pembangunan, kata Mac, sudah memfasilitasi Musrenbang tersebut.
Setiap usulan ditampung, tapi realisasinya tergantung skala prioritas. “Jika belum tertampung, akan dilihat tahun berikutnya karena setiap usulan melalui Musrenbang tahun ini dimusyawarahkan untuk pembangunan pada tahun depan,” ungkap Mac.
Banyak juga, katanya, usulan yang tidak tertampung karena disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. “Yang namanya APBK kan terbatas. Inilah yang dipilah-pilah sesuai skala prioritas,” tegasnya.
Di samping aula tempat digelarnya Musrenbang, tampak Kepala Dinas Sosial Aceh Barat Daya Jasman sedang dikerumuni aparatur gampong. Jasman sedang memverifikasi data penerima bantuan untuk anak yatim. “Saya sengaja datang ke sini untuk memverifikasi langsung data dari gampong, karena beberapa ada yang salah tulis,” ujarnya.
Ia memperlihatkan form dokumen berisi kategori penerima santunan dari Pemerintah Aceh Barat Daya pada 2014. Ada anak yatim piatu umur hingga 19 tahun, janda tanpa anak, kepala keluarga sakit menahun, dan orang cacat fisik serta mental.
“Tahun ini, jumlah bantuan untuk anak yatim lebih besar, seratus ribu rupiah per orang untuk sebulan,” ujarnya. Tahun lalu, nilai itu diberikan untuk setahun.
Santunan itu, kata Jasman, setiap bulan dikirim lewat rekening masing-masing penerima di Bank Aceh. Jumlah dana yang diplotkan untuk program itu mencapai Rp6,5 miliar dari APBK Aceh Barat Daya. Program sudah dimulai sejak Januari 2014.
“Ini salah satu bentuk komitmen Bupati Jufri Hasanuddin,” ujar Jasman. Membantu anak yatim, kata Jasman, salah satu kewajiban bagi muslim, dan Bupati Jufri sangat peduli pada kondisi anak yatim dan kaum duafa di kabupaten ini.
Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2012-2017, Bupati Jufri Hasanuddin dan Wakil Bupati Yusrizal Razali yang diusung Partai Aceh memiliki visi: “Kabupaten Aceh Barat Daya yang islami, sejahtera, dan mandiri melalui pemberdayaan potensi daerah yang berbasis kearifan lokal.”
Untuk mewujudkan visi tersebut, ada beberapa misi yang ingin dilaksanakan, antara lain, melakukan reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang baik (good governance), bersih dan berwibawa (clean government) berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA); menerapkan nilai-nilai keagamaan secara terpadu dalam tatanan kehidupan masyarakat, sosial, dan budaya yang berlandaskan syariat Islam; dan memberdayakan ekonomi kerakyatan dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Salah satu misi yang tengah dijalankan Bupati Jufri dalam reformasi birokrasi adalah dengan menghadirkan Sistem Administrasi dan Informasi Gampong atau SAIG di Aceh Barat Daya. Program ini berupa pemetaan apresiatif secara digital di 52 gampong percontohan.
Berawal dari pagi 23 Juli 2013 ketika Bupati Jufri Hasanuddin menyambangi kantor AusAid di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Jufri didampingi tim Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya berdiskusi tentang rencana replikasi pemetaan digital secara partisipatif serta Sistem Administrasi dan Informasi Desa (SAID) yang telah lebih dulu dilaksanakan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Semangat Jufri berapi-api ketika menyampaikan niatnya untuk memiliki basis data lebih baik di kabupaten yang dipimpinnya. Ketika itu disepakati dengan AusAid bahwa pada 24 hingga 25 Juli 2013, sebuah tim kecil dipimpin Kepala Bappeda Aceh Barat Daya Weri akan melihat dari dekat apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Dompu terkait pemetaan apresiatif dan SAID.
Di Dompu, ada Desa Sawe yang telah mengadopsi program ini. Di desa ini awalnya belum ada sistem database yang baik sehingga pembangunan tidak efisien. Sepulang dari Dompu, tim kecil Pemerintah Aceh Barat Daya yang dipimpin Weri bergerak cepat.
Pada 1 Oktober 2013, Bupati Jufri Hasanuddin mengumpulkan seluruh camat dan keuchik dan memperkenalkan 23 fasilitator yang akan ditebar di empat kecamatan, yakni Babahrot, Kualabatee, Jeumpa, dan Manggeng. Bupati menginstruksikan camat dan keuchik untuk menyukseskan program tersebut.
“Insya Allah, lima kecamatan lain akan menyusul setelah kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh di 52 gampong dalam empat kecamatan pilot ini,” kata Jufri dalam sambutan tanpa teks, di acara konsolidasi program Sistem Administrasi dan Informasi Gampong di kediaman resmi bupati.
Tim bentukan Bupati berupaya menemukan dan melatih kader dari setiap gampong. “Dengan sumber daya manusia yang dimiliki Aceh Barat Daya, apa yang telah dilakukan di Dompu pastinya dapat dilaksanakan dengan jauh lebih baik lagi di kabupaten kita,” tekad Kepala Bappeda Weri saat itu.
Setelah kader ditemukan, mulailah dilakukan pendataan desa secara partisipatif. Para kader ini diajak menggali aset dan potensi dari setiap gampong. Pendekatan yang dilakukan terhadap warga berbasis kekuatan yang dimiliki setiap gampong.
“Artinya, ketika ditemukan sebuah masalah kita jadikan itu tantangan, untuk dicarikan solusi yang tepat,” ujar Liza Marfandi dari Tim Teknis Kabupaten.
Kader juga dilibatkan dalam diskusi bersama warga. Dari diskusi dan temu warga diharapkan dapat teridentifikasi indikator kesejahteraan keluarga di setiap gampong dalam tiga klasifikasi: miskin, sedang, dan kaya. Setelah terindentifikasi, data-data itu dimasukkan ke dalam database dan dikoneksikan dengan peta digital SAIG. Data kemudian disimpan secara offline dalam basis data setiap gampong.
Sistem informasi desa yang akan ditampilkan secara online memuat data statistik seperti grafik jenis pekerjaan warga dan kondisi sosial ekonomi masyarakat gampong bersangkutan.
“Bila kita ingin melihat data jumlah kepala keluarga yang perempuan, cukup diketik info yang diinginkan dan keluarlah hasilnya,” ujar Said Alatas, Fasilitator Teknik Pemetaan SAIG. Tahapan SAIG di Aceh Barat Daya dalam paruh kedua Maret, sudah memasuki tahapan verifikasi data serta pleno hasil sensus bersama warga.
Seluruh kegiatan SAIG difasilitasi Australian Aid. Pemerintah Aceh Barat Daya juga melibatkan dan bekerja sama dengan beberapa stakeholder terkait seperti aparatur gampong, Lembaga Swadaya Masyarakat, PNPM, dan tokoh masyarakat setempat.
SAIG sendiri menurut Weri dapat dikatakan sebagai kesiapan Aceh Barat Daya menyongsong lahirnya Undang- Undang Desa yang disahkan DPR RI beberapa waktu lalu.
“Setelah SAIG ada, pembangunan di desa bisa lebih efektif dan efisien. Apalagi, menurut UU itu, dana yang dikucurkan untuk desa sangat besar dan perlu pengelolaan secara patut oleh aparatur yang andal,” ujar Weri. Selain itu, lanjut Weri, Sistem Informasi Desa (SID) sesuai perintah UU Desa, juga akan diterapkan melalui program SAIG dalam bentuk portal atau situs web yang dikelola pemerintahan gampong.
Program lain yang kini juga sedang dijalankan Pemerintah Aceh Barat Daya adalah gampong mandiri percontohan. Sebelumnya, Pemerintah Aceh telah menunjuk Aceh Barat Daya sebagai satu dari enam kabupaten tempat pilot project gampong mandiri. Gampong mandiri dibentuk untuk mewujudkan masyarakat desa yang mampu mengoptimalkan berbagai sumber daya di desa tersebut. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya menetapkan Gunong Cut di Kecamatan Tangan Tangan sebagai gampong mandiri percontohan.
Setelah ditetapkan, beberapa Satuan Kerja Pemerintah Kabupaten (SKPK) yang terlibat akan membina desa itu menjadi lebih mandiri. Sebelum pembinaan dilaksanakan, dilakukan inventarisasi tantangan dan potensi kampung dengan melibatkan masyarakat. “Fokusnya pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perlindungan perempuan dan anak, serta administrasi kepemerintahan dan layanan masyarakat,” ujar Fera Susanto, Kepala Sub Bagian Pemerintahan Mukim dan Gampong Kabupaten Aceh Barat Daya.
Setelah itu dirumuskan isu strategis sebagai prioritas bidang atau unit kemandirian. Tahapan berikutnya, pembentukan unit-unit pelaksana. Jumlahnya ada empat unit pelayanan meliputi sistem administrasi pemerintahan, pendidikan dasar, kesehatan, dan perlindungan perempuan serta anak.
“Kemudian dilakukan pengorganisasian dan pendampingan masyarakat agar mereka dapat merencanakan dan melaksanakan serta mengembangkan unit-unit pelaksanaan. Lalu dikembangkan sistem rujukan bagi pelayanan kesehatan, pendidikan, serta perlindungan perempuan dan anak,” papar Fera Susanto.
Segi positif lainnya dari pemerintahan Bupati Jufri Hasanuddin dan Wakil Bupati Yusrizal Razali berupa pertumbuhan positif Badan Usaha Milik Gampong (BUMG).
Kini, dari 132 gampong di Aceh Barat Daya, 70 persen di antaranya sudah memiliki BUMG. Tak semua bisa dikatakan telah mandiri. Namun, beberapa BUMG mulai terlihat membukukan keuntungan. Di sebagian desa, warga sudah tertarik menjadi pengurus BUMG. Salah satunya, BUMG Jambo Seumike Gampong Durian Rampak, Kecamatan Susoh.
BUMG ini, kata ketuanya Ahmad Yani, mengelola beberapa unit usaha seperti fotokopi dan warnet. Omzet BUMG tersebut mencapai jutaan rupiah. Sementara sistem pembagian laba yang dihasilkan, gampong memperoleh 20 persen, pengurus dan karyawan BUMG 60 persen, serta sisanya untuk investasi ulang atau penambahan barang modal usaha.
Muhammad Hamzah, Fasilitator Kabupaten (Faskab) PNPM Mandiri Pedesaan – Integrasi Aceh Barat Daya, mengatakan, pemerintah sangat mendukung kehadiran BUMG di sana. Sebagai orang yang ikut memfasilitasi kehadiran BUMG di Aceh Barat Daya, Hamzah menilai Pemerintah Aceh Barat Daya sudah menunjukkan itikad baik lewat lahirnya Peraturan Bupati Nomor 10 Tahun 2012 sebagai dasar pembentukan Qanun Gampong. Qanun ini, kata Hamzah, yang melindungi dan mengayomi seluruh kegiatan di BUMG.
“Kalau Pak Keuchik di sini kita fasilitasi membuat Qanun BUMG, mereka pasti bertanya apa dasar dan mana instruksinya. Di situlah fungsi peraturan bupati,” ungkap Hamzah.
Selain itu, Pemerintah Aceh Barat Daya juga melakukan upaya-upaya penguatan kapasitas pelaku BUMG. Ada beberapa pengurus BUMG dikirim ke Bireuen untuk mengikuti pelatihan tingkat provinsi.
“Lalu ada juga pelatihan di Aceh Barat Daya menggunakan dana APBK,” ujar Hamzah.
Bupati Aceh Jufri Hasanuddin memang berkomitmen membawa perubahan di Bumoe Breuh Sigupai. Ia juga tak antikritik. “Silakan kritisi aktivitas dan kinerja pemerintah secara proporsional. Jika ada informasi yang dibutuhkan, pemerintah siap menyediakan. Apalagi, ini kan eranya keterbukaan informasi,” ujar Jufri Hasanuddin di depan aktivis mahasiswa dan Organisasi Kepemudaan yang berdiskusi dengannya di kediaman resmi bupati beberapa waktu lalu.
Menurut Jufri, keberhasilan memimpin pemerintahan diukur bukan dengan makmurnya orang-orang yang menjalankan pemerintahan, tapi rakyatnya yang sejahtera. Bupati Jufri berkomitmen tinggi melayani rakyat sesuai kemampuan dan peluang yang tersedia, sesuai hukum yang berlaku. “Rakyat dilayani, bukan dikontrol,” pungkas Bupati Jufri.[] Nashrun Marzuki/tim sigupai
Editor: Boy Nashruddin Agus