MINGGU pagi 26 Desember 2004, 10 tahun lalu, Sang Surya menyapa hangat desa kami.
Masyarakat mulai beraktivitas sejak subuh. Ada yang ke tambak menjaring ikan, ke laut menarik pukat, serta beragam aktivitas lainnya.
Ya, saya tinggal di Desa Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Desa ini hanya berjarak satu kilometer dari bibir pantai.
Jarak antara Lamnga dengan laut hanya dibatasi dengan jembatan gantung dan Gampong Baro. Sebuah desa nelayan yang memang berjarak beberapa meter dari laut.
Pagi itu, saya awalnya bersiap-siap menuju Lapangan Blang Padang Kota Banda Aceh. Blang Pandang berjarak sekitar 13 kilometer dari desa kami. Di mana lokasi tersebut merupakan tepat latihan karate bagi perkumpulan Inkado.
Saya sendiri hampir dua tahun berlatih karate di sana.
Namun saat hendak keluar rumah, Bapak tiba-tiba mencegat. Bapak meminta saya membantunya menjaga tambak udang. “Ini akhir tahun. Tolong dicek tambak biar tidak bocor,” pintanya saat itu.
Permintaan ini tidak mungkin saya tolak. Apalagi usaha tambak merupakan sumber pendapatan bapak selama ini. Tambak tersebut merupakan warisan dari kakek kami.
“Saya ke kios dulu. Beli paku. Nanti sekalian kita betulkan pintu air. Papannya sudah rapuh,” kata Bapak sambil berlalu.
Mendengar hal ini, saya mengiyakan. Menaruh tas kembali di kasur serta lari-lari kecil di perkalangan rumah.
Tepat pukul 07.58 WIB, gempa menguncang. Saya terduduk. Ibu dan adik-adik saya juga berlarian keluar rumah. Kami saling perpegangan tangan. Adik saya yang kecil, Mahyuddin, senang karena mengira sedang bermain ayunan. Sedangkan yang lain mengucap asma Allah.
Beberapa anak tetangga menjerit ketakutan. Tangis mereka terdengar hingga ke rumah kami.
Gempa hanya hitungan detik. Namun sangat kencang.
Usai gempa beberapa tetangga berkumpul di halaman rumah kami. Saya melihat beberapa lelaki dewasa berlarian menuju laut.
“Air laut surut. Banyak ikan bergelimpangan,” ujar seorang pemuda sambil berlarian. Saya tidak ingat lagi siapa sosok tersebut. Karena usai bencana kami tak pernah bertemu lagi.
Beberapa menit usai pria tadi berucap. Saya mendengar suara ledakan sangat keras. Saya mulai gelisah. “Gempa, air laut surut dan ledakan keras. Seperti di Jepang.”
Namun saya belum berpikir akan terjadi musibah besar. Tak lama beberapa ibu-ibu berlarian menuju ke arah kami.
Mereka berteriak,”air, air naik, air naik.”
“Tsunami,” gumam saya saat itu.
Saya meminta orang tua dan adik saya untuk naik ke atap rumah kosong di depan rumah kami. Beberapa tetangga juga ikutan. Namun belum semua naik, air berwarna hitam pekat itu muncul. Di depannya ada Bapak saya yang sedang menenteng kertas hitam yang belakangan saya ketahui berisi paku.
Air hitam itu berisi seng dan papan rumah. Air berjalan bagai tembok besar yang menghantam siapa saja di depannya.
Namun ajaibnya, saat hampir tiba di tempat kami, air hitam ini berbelok arah. Ternyata air bergerak bak ular besar yang mengeliling desa kami.
Bapak saya selamat. Beberapa orang ada yang mengatakan kami selamat karena ada wanita hamil bersama. Tuhan menolong wanita tadi dan kami menerima imbas positif. Namun saya lebih percaya kalau posisi kami saat itu berada di tempat tinggi.
Ibarat nasi tumpeng. Tempat kami berdiri adalah puncuknya. Dari tempat kami berdiri terlihat jelas air hitam itu menyapu bersih desa Gampong Baro dan lebih dari setengah Desa Lamnga.
Di bawah atap rumah tadi mulai menumpuk sampah dan mayat. Ada juga warga yang selamat. Namun kakinya terbakar karena terkena ombak berisi belerang.
Saat itu saya teringat sama Kakek yang berada di rumah adik Bapak. Lokasinya berada di dataran rendah dan alur air tadi. Saya turun dari atap rumah dan berlarian ke rumah adik Bapak guna mengecek keberadaan kakek.
Saya tidak menyangka akan ada gelombang tsunami susulan.[]
Editor: Murdani Abdullah