WARUNG Kopi Dek Mie. Namanya sangat familiar di kalangan para pecinta kopi di Banda Aceh. Warung kopi ini berada di Rukoh, Darussalam. Warung ini tak pernah sepi, ada saja yang datang untuk menikmati secangkir kopi dengan hidangan ringan lainnya.
Nama warung kopi ini diambil dari nama pemiliknya Dek Mie. Nama lengkapnya Hilmi, tangan dinginnyalah yang telah menjadikan warung kopi ini begitu dikenal. Di balik cerita suksesnya saat ini, terselip sepotong pengalaman yang luar biasa.
Kehidupan pria kelahiran Lambaet, 5 Mei 1982 itu bisa dibilang tidak mudah. Ia bukan berasal dari keluarga berada. Tahun 1997 silam, saat ia masih menjadi pelajar di SMP Lamteh Ulee Kareng, Dek Mie bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci gelas di warung kopi Solong. Ini warung kopi yang sangat melegenda di Banda Aceh.
“Phon-phon that lon mulai dari jeut keu tukang rhah glah di warkop Solong Ulee Kareng (awalnya saya mulai dai tukang cuci gelas di warkop Solong Ulee Kareng),” kata pria ramah yang mudah bergaul ini saat berbincang dengan ATJEHPOST.co pada Kamis malam, 15 Januari 2015.
Setelah pendidikan SMP-nya selesai, Dek Mie mulai minta bekerja tetap di Solong. Meski begitu ia tetap melanjutkan sekolahnya ke SMA 1 Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Ia masuk kerja setelah pulang sekolah dan dipercayakan menjadi pelayan.
"Wate ka bak SMA lon ka dipercayakan untuk jak-jak u keu, jeut keu pelayan (ketika sudah di SMA saya sudah dipercayakan untuk ke depan, sebagai pelayan),” katanya.
Setelah tamat SMA pada 2003, ia melanjutkan kuliah ke program Diploma Tiga di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Pemilik Solong, Pak Abu, bersedia membiayai kuliahnya. Cek Nawi, anak Pak Abu, juga sering membantunya, baik secara materil maupun sumbangan pikiran.
Bagi Dek Mie, Pak Abu dan Cek Nawi dan seluruh keluarganya sudah seperti keluarganya sendiri. Namun kuliahnya tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Karena faktor ekonomi dan pekerjaan membuat kuliahnyajadi tersendat-sendat. Kuliahnya molor dan selesai pada 2007.
"Lon kuliah leupah trep leuh, peu han teuma tanyoe ka mangat ta mita peng, jadi kuliah lon sempat macet-macet, (saya kuliahnya lama selesai, sudah keenakan cari duit, jadi kuliah saya sempat macet-macet)” katanya.
Karena permintaan abangnya Bang Chek, pemilik warung kopi Chek Yukee, Dek Mie kemudian pindah kerja ke warung kopi milik abangnya di tepi Krueng Aceh. Di Chek Yukee, Dek Mie menempati posisi sebagai kasir. Meski begitu ia sering pula berinisiatif untuk mencuci gelas.
Tak lama bekerja di Chek Yukee, tahun 2006 ia ditarik oleh abang tertuanya Taufik, pemilik warung Taufik Kopi. Dek Mie diminta untuk mengelola kantin SMEA di Lampineung masa itu. Setelah kuliahnya selesai pada 2007, dan ia merasa cukup mapan, Dek Mie pun memberanikan diri melamar pujaan hatinya Nurliana pada 2007. Setahun berikutnya mereka menikah.
Barulah setelah menikah ia terpikir untuk membuka usahanya sendiri. Bermodalkan uang pinjaman dari bank, Dek Mie membuka usaha warung kopi sendiri dan diberi nama Dek Mie Kupi. Usaha itu katanya juga join dengan Bang Chek.
"Tapi nyoe kon ata lon mandum, tapi na roh cit ata Bang Chek (tapi ini bukan punya saya semua, tapi ada juga punya Bang Chek),” katanya. “Alhamdulillah, sedikit demi sedikit uang pinjaman itu sudah hampir lunas terbayar,” katanya lagi.
Sejak dirintis pada 2008 lalu, warung kopi yang dikelolanya semakin maju. Keberhasilan ini menurutnya tak terlepas dari peran orang-orang yang selama ini telah membimbingnya. Saat ini warung yang dikelolanya mempekerjakan 10 orang pekerja.
“Alhamdulillah semuanya karena kehendak dan takdir Allah, Dek Mie hanya seorang manisia biasa yang hanya mengharap ridha Allah,” katanya.[ Laporan Saiful Haris]
Editor: Ihan Nurdin