Dengan ini kami pelajar Atjeh menyatakan menolak pelaksanaan Darurat Militer di daerah Bumi tercinta Atjeh Lon sayang dalam bentuk implementasi apapun. Dan kami tetap setia memperjuangkan Referendum selama hidup kami (Banda Aceh, 25 November 1999, Forum Pelajar Aceh)
Namanya Zulkarnaen, tapi saya memanggilnya hanya dengan Anen. Dia teman masa kecil saya dalam permainan sepak bola di lapangan tenis kompleks RSUZA lama, yang kini telah menjelma bangunan rumah sakit yang baru, juga patok lele. Kami hanya dapat akrab bermain selama masa sekolah dasar, saya di SDN 35 Lamprit, sedangkan dia di MIN Jambo Tape. Kedua sekolah itu berada di Banda Aceh. Setelah selesai di Madrasah, dia masuk ke pesantren Samahani Aceh Besar dan saya sekolah di SMP 2 Banda Aceh.
Tidak ada lagi interaksi yang dalam setelah itu, sampai kemudian kami sama-sama menempuh bangku Sekolah Menegah Atas, di waktu menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, di Kota Banda Aceh. Di masa-masa itu, saya mendapat sedikit kejutan, karena Anen yang saya kenal dulu, bahkan di sepak bola dan patok lele dia-pun tidak begitu cakap, sudah memiliki pembendaharaan kalimat yang sudah mulai menyinggung soal politik. Anen-pun membuka rahasianya:dia menjadi anggota buffer aksi Solidaritas Pelajar Untuk Rakyat (SPUR), dan mengajak saya, beserta teman sepermainan dulu, untuk berkenalan dengan organisasi pergerakan pelajar itu.
Sosok Anen, yang memang tidak akrab dengan politik sebelumnya, adalah contoh kecil bagaimana situasi politik yang terbuka dan penuh dinamika pasca kejatuhan rezim Soeharto membuat dia juga sadar akan politik. Kesadaran yang ternyata berlangsung lama, dan dia sangat setia dengan ‘ideologi’ gerakan itu. Bahkan sampai dia pun melabuhkan pilihan politiknya pun di Partai Rakyat Aceh, sebuah partai lokal yang didominasi oleh aktifis mahasiswa, sampai dia-pun menduduki posisi puncak sebagai ketua umum partai tersebut di wilayah Banda Aceh. Suatu hal yang hampir mustahil apabila dia tidak bergabung dengan SPUR.
SPUR sebuah buffer aksi pelajar yang memang hadir sebagai ‘adik’nya Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sebagai binaan SMUR, SPUR memiliki semangat yang juga militan. Dengan ‘ajaran kiri’ yang diterimanya, membuat mereka lebih kuat dan berani untuk menentang ketimpangan Aceh yang disebabkan oleh ketidak-adilan Jakarta. Tanpa surut sedikitpun.[]
Editor: Ihan Nurdin