BAGAIMANA perasaan-mu jika terpilih sebagai guru berprestasi dan dikirim ke luar negeri untuk belajar lebih banyak di sana? Tentunya senang bukan. Itu pula yang dirasakan Emma Natasya S.Pd., guru muda nan cantik yang mendedikasikan diri sebagai pengajar di Sekolah Dasar Fatih Bilingual School Putri, Banda Aceh.
Tasya, begitu biasa guru matematika ini disapa, awal Desember 2012 bersama delapan rekan dari Aceh terbang ke Turki selama enam bulan. Di sana Tasya mempelajari sistem pendidikan sekaligus belajar bahasa Turki. Di gerbang benua Asia dan Eropa itu Tasya ditempatkan di Fatih Koleji, tepatnya di Kota Topkapi.
“Awalnya sih Tasya kaget kok tiba-tiba ditelepon kalau Tasya akhirnya terpilih ke Turki. Sebelumnya sama sekali tidak pernah bermimpi bisa ke negara yang terkenal dengan seribu masjid dan kota sufi itu,” ujarnya saat berbincang-bincang di kantor redaksi The Atjeh Times, Rabu pekan lalu.
Awalnya gadis berkulit putih ini hanya ingin menjadi guru biasa saja. Namun siapa sangka takdir menjadikannya sebagai guru yang “tak” biasa. Kesempatan itu diperoleh ketika ia masih semester empat di Jurusan Biologi FKIP Unsyiah. Kampus merekomendasikannya sebagai calon guru persiapan untuk program Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya di bidang ilmu sains.
Sebagai langkah awal Tasya harus ikut tes TOEFL. Untuk memperlancar bahasa Inggris ia kemudian ikut kursus. Setelah lulus kuliah, ia dihubungi kembali oleh Pasiad, yayasan Turki yang bergerak di bidang pendidikan.
Dara kelahiran 25 Mei 1990 ini kemudian mengikuti training dari Pasiad selama dua minggu sebelum diberangkatkan ke negeri yang salah satu pendirinya adalah Mustafa Kemal Ataturk. “Tasya tiba di Turki pada pergantian musim dingin ke musim semi. Jadi suasananya dingin banget dan beda dengan negara kita yang punya dua musim. Bahkan ada teman-teman yang kekurangan stok jaket, terpaksa harus beli di sana dengan harga yang lebih mahal,” katanya.
Melihat Turki dari dekat, tak hanya membuat gadis ramah ini terkagum-kagum pada keindahan kota dan budayanya, tapi juga pada nasionalisme rakyat Turki yang sangat cinta bahasa negaranya. Jarang ia temui orang-orang Turki bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. “Bahkan sesama rekan dari Amerika pun kami terbawa untuk berbicara dalam bahasa Turki,” ujarnya.
Satu hal yang paling berkesan selama belajar di Turki adalah nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri peserta didik. Kedi-siplinan dan kejujuran seolah menjadi syarat mutlak. Bukan hanya di sekolah, melainkan juga di tempat-tempat umum seperti di bus. Jadi jangan heran jika tidak ada di antara mereka yang menyontek di sekolah.
Selama di Turki, Tasya juga pernah melihat janggut Nabi Muhammad yang dipamerkan ketika maulid Rasulullah. Ada juga benda-benda milik sahabat Nabi lainnya seperti pedang Saidina Abu Bakar, bekas telapak kaki Nabi Muhammad, dan tongkat yang diyakini milik Nabi Musa. Melihat benda-benda itu menyeruak rasa haru dalam dirinya. Membuatnya tak henti-henti bersyukur.
Editor: