PANTAI Hagu Teungoh masih gelap ketika saya tiba di sana seusai salat subuh hari pertama Februari 2014. Samar-samar terlihat air laut surut, menjauh 50 meter dari tanggul pengaman pantai. Pantai yang kesepian dan menggigil kedinginan dihibur gemuruh ombak. Memandang ke tengah samudra tampak sejumlah cahaya mirip bola api. “Itu lampu boat ya,” tanya saya kepada Zainuddin. Ia baru keluar dari rumahnya di tepi jalan seberang tanggul.
“Ya, lampu boat pukat langga. Awak boat itu melabuh pukat sejak kemarin sore, bermalam di laut, nanti jam delapan baru pulang,” ujarnya.
Tidak jauh dari tempat saya berdiri bersama Zainuddin, sayup-sayup terdengar suara orang bercakap-cakap di belakang salah satu perahu dekat tanggul. Saya merapat ke sana. Enam nelayan mendorong sebuah perahu turun ke pantai hingga menyentuh lidah laut. Di antara tanggul yang membentang sepanjang pantai Hagu Teungoh, Banda Sakti, Lhokseumawe, ada dua ruang bolong yang dibentengi breakwater (pemecah gelombang). Lewat celah itulah nelayan mendorong perahu ke laut.
Enam nelayan kembali ke daratan. Mereka mengepung salah satu dari tiga tumpukan pukat jok (ijuk) yang teronggok di sisi tanggul. Empat nelayan lain yang baru saja tiba langsung bergabung. “Ka, dua droe blah deh, nyang laen blah noe (siap-siap, dua orang berdiri sebelah sana, yang lain sebelah sini),” seru salah seorang nelayan yang bertelanjang dada. “Ho… dilee, bek lee ka bet. Blah noe sidroe teuk, meuhana lon-lon ku grop keunan enteuk (stop dulu, jangan diangkat dulu. Sebelah sini seorang lagi, kalau tidak saya juga akan melompat ke sana),” nelayan paling tua memberi instruksi dengan suara menggelegar.
“Ha… ha… ha…,” tawa nelayan muda mencairkan ketegangan. “Bek khem lee. Bismillahirrahmanirrahim, bet laju (jangan ketawa lagi. Bismillahirrahmanirrahim, ayo angkat)”. Lima nelayan mengangkat satu tumpukan pukat jok berukuran besar. Sisanya membawa dua tumpukan ukuran sedang dan kecil. Pukat diletakkan dekat perahu, lalu dinaikkan ke perahu.
Nelayan kini mendorong perahu menantang tiga barisan ombak yang berkejar-kejaran menggapai pantai. Adu kekuatan nelayan kontra ombak. Perahu terombang-ambing ditampar ombak bertubi-tubi. Nelayan tak menyerah. Awak bineh pasi yang semangatnya sekokoh batu karang, akhirnya menang. Perahu sepanjang 11 meter dan lebar 2,5 meter mengapung di atas permukaan laut yang gelombangnya terkesan bersahabat.
Empat nelayan melompat ke perahu dan meraih alat dayung. Setelah melempar tali sayap lamat (salah satu ujung pukat) kepada rekannya yang menunggu di pantai, empat nelayan penumpang perahu mulai mengarungi samudra melabuh pukat. Tim nelayan pukat jok itu dipimpin pawang Abdul Mutalib. Pawang pukat adalah orang yang ahli menangkap ikan dengan pukat. “Pawang sangat paham seluk-beluk laut, dia nelayan yang sudah senior,” kata Yusuf, salah seorang nelayan Hagu Teungoh.
Tak lama berselang, di tempat yang sama, empat nelayan lain menggiring sebuah perahu berukuran 7x2 meter ke pantai. Mereka kemudian mengangkat pukat meui (terbuat dari nilon) ke perahu, lalu didorong masuk laut. Selesai berlaga dengan ombak, tiga nelayan meloncat ke perahu dan mendayung dengan gerakan lincah. Seorang nelayan lagi kembali ke daratan membawa tali sayap lamat yang dilempar rekannya dari atas perahu. Berikutnya, tim nelayan ketiga turun melaut menyusul dua tim sebelumnya.
Lebih 30 menit melabuh pukat jok di laut, tim nelayan dikomandani pawang Abdul Mutalib menepi ke pantai. Perahu mendarat lewat celah tanggul berjarak satu kilometer dari lokasi diturunkan ke laut tadinya. Tim nelayan yang membawa pulang tali sayap reundok (salah satu ujung pukat), disambut nelayan lain yang sudah menunggu di daratan. Para nelayan kini terbagi dua barisan. Satu barisan menarik tali sayap lamat, sisanya menarik tali sayap reundok.
Nelayan penarik tali sayap lamat dan reundok pukat mengikat pinggangnya dengan cu-aye (tali sebesar ibu jari). Setelah cu-aye dikaitkan pada tali pukat, nelayan mundur teratur dengan ayunan langkah serentak. Lima hingga tujuh langkah surut, cu-aye dilepas dari tali pukat, kemudian nelayan maju ke depan mengulang gerakan yang sama. Begitulah cara tarek pukat (tarik pukat). “Pukat ditarik ke darat lewat sayap lamat dan reundok. Ikan tersangkut dalam jaring di bagian tengah pukat,” ujar Yusuf.
***
ZAINUDDIN menatap lautan maha luas. Berdiri di punggung tanggul pengaman pantai Hagu Teungoh, pawang pukat jok ini kemudian tersenyum tipis. “Cuaca hari ini bagus, laut tenang,” kata dia kepada saya. “Nye ilhap bakat rayeuk, angen geureubham-geureubhum, eungkot hana (kalau mucul gelombang besar, angin kencang, tak ada ikan),” ujar pria 60 tahun ini.
Menurut Zainuddin, nelayan Aceh masa silam sangat ahli melihat cuaca dan keadaan laut. Kalangan nelayan menyebut pengetahuan tersebut pham keuneunong. “Keuneunong dua ploh lhee sampe sa, itu hanya dipahami para pawang, nelayan yang sudah puluhan tahun melaut,” katanya.
Cara mengetahui keuneunong, kata dia, dengan melihat tanda-tanda pada bulan dan bintang di langit kala malam dan matahari saat siang. Angin, reudok (mendung), dan petir juga menjadi petunjuk. “Misalnya, kalau siang hari di laut terlihat kaki langit memutih semuanya, itu pertanda akan muncul angin kencang,” ujarnya.
Penting mengetahui cuaca di lautan lepas agar nelayan tidak celaka ketika melabuh pukat. “Pengalaman saya saat masih muda, melabuh pukat di tengah laut bersama kakek saya. Beliau bilang jam tiga malam nanti ka bicah angen, geu tanyoe bek lee ta meulalee (akan muncul angin kencang, kita jangan lagi berlama-lama di laut). Terbukti, jam tiga malam angin sangat kencang,” kata Yafid, 61 tahun, pawang pukat meui di pantai KP3, Lhokseumawe.
“Saya tanya, bagaimana cara mengetahui keuneunong itu, beliau bilang dengan melihat tanda-tanda pada bintang di langit”.
Menurut pawang pukat meui lainnya di pantai Kampung Jawa Lama, Lhokseumawe, Dahlan, 55 tahun, pascatsunami menerjang Aceh pada tahun 2004 silam, cuaca di laut sulit diprediksikan. “Kadang angin timur, kadang angin barat, tidak menentu. Sebelum tsunami, musim angin barat dan angin timur bisa diketahui dengan mudah,” ujarnya. “Jinoe hana ta tuoh takat,” kata Dahlan.
Pawang pukat di Jangka, Bireuen, Ridwan, 50 tahun, tidak sependapat dengan Dahlan. Sebelum terjadi tsunami, kata dia, penentuan keuneunong juga sering meleset. Ia menilai hal itu terjadi lantaran rujukan para pawang masa lampau dengan pawang era saat ini sudah berbeda.
“Soal pham keuneunong, pawang jaman nenek moyang kita rujukannya melihat buleun di langet. Beberapa puluh tahun terakhir, pawang berpedoman pada bulan kalender (masehi),” ujar Ridwan ditemui di Lhokseumawe.
Pham keuneunong yang sampaikan pawang masa silam, kata Ridwan, hampir tidak pernah meleset. Ia mencontohkan, ketika dirinya masih muda, pawang menyebutkan keunong limong, ureung inong jeut meulayeu (keadaan laut sangat tenang).”
Namun, kata dia, tatkala pawang merujuk pada bulan kalender, keunong limong di bulan Oktober, misalnya, ternyata keadaan laut tidak nyaman.
“Peu pasai jinoe watee keunong limong, tanyoe agam gusun teuh ta meulaot, riyeuk ubee-ubee raya dibeudoh. Sabab jinoe bak buleun kalender geucok rujukan, nyan keuh gara-gara nyan dise keuneunong,” kata Ridwan yang juga Keuchik Gampong Alue Bi Pusong, Jangka, Bireuen.
Pawang juga ahli melihat bakat laot (gelombang laut). Bakat musiman, menurut Ridwan, ketika angin barat bakat mengarah ke timur. Begitu pula sebaliknya. Sedangkan bakat dari arah laut menuju pantai, disebut alon tron atau bakat tuha.
“Ke arah manapun angin berhembus, bakat tuha tetap ada tiap saat. Bakat tuha menjadi petunjuk bagi pawang yang melaut sangat jauh hingga tidak tampak daratan. Saat pulang dia mengikuti bakat tuha agar sampai ke darat,” ujarnya.
***
KHANDURI Laôt (kenduri laut) salah satu adat yang berkembang sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Biasanya kenduri digelar minimal tiga tahun sekali di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) wilayah lhôk atau kuala. Namun nelayan Lhokseumawe sudah puluhan tahun tidak menggelar kenduri laut. “Sejak masa konflik ka jareung (jarang dilakukan), pascatsunami atau masa damai belum pernah sekalipun,” ujar Pawang Dahlan.
Dahlan tidak mengetahui penyebab tak digelar lagi kenduri laut di Lhokseumawe. “Takheun han mampu sang han mungken, jameun golom na boat mantong ngon jalo, ek geu khanduri. Jinoe rata-rata ka ngon boat, pakon han ek lee (kita bilang tidak mampu sepertinya tidak mungkin, dulu ketika nelayan belum punya boat masih pakai sampan, mampu kenduri. Sekarang rata-rata nelayan melaut dengan boat/alat tangkap moderen, mengapa tak mampu lagi),” katanya.
Menurut Panglima Laot Kota Lhokseumawe Haji Ilyas Bunthok, tahun ini akan dibangkitkan kembali adat kenduri laut. Direncanakan dilaksanakan di Kuala Ujong Blang, Banda Sakti.
“Mulai dibahas dalam pertemuan di kalangan nelayan, tapi belum diputuskan hari ‘H’,” ujarnya.
Secara adat, kata Ilyas Bunthok, dulunya kenduri laut digelar tiga tahun sekali yang diputuskan dalam musyawarah panglima laot dengan nelayan. Namun kini harus mempertimbangkan kemampuan keuangan nelayan lantaran butuh biaya besar.
“Misalnya, sekali kenduri butuh 70 juta rupiah, makanya mulai terasa berat karena saat ini rata-rata nelayan pakai boat toke sehingga penghasilan nelayan (sebagai buruh) pas-pasan, jadi yang kaya hanya toke. Dulu meski masih melaut dengan sampan dan perahu, tapi semua nelayan mau menyumbang untuk kenduri,” kata Ilyas Bunthok.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Panglima Laot Aceh, Miftachhuddin Cut Adek, adat kenduri laut pada masa silam berkembang dengan baik lantaran semangat berkenduri masyarakat Aceh sangat tinggi.
“Jaman dulu tiap tahun ada kenduri laut di masing-masing wilayah lhok,” ujarnya.
Belakangan ini sebagian daerah pesisir jarang menggelar kenduri laut karena harus mengumpulkan sumbangan untuk kebutuhan biaya. “Ada pergeseran nilai-nilai adat di tengah masyarakat kita,” katanya.
Di Lhokseumawe, kata Ilyas Bunthok, dulunya kenduri laut dilaksanakan di Hagu Barat Laut, Banda Sakti. Kemudian lokasinya dipindahkan ke Pusong, Banda Sakti, lantaran di Hagu Barat Laut sudah ramai aktivitas selain kegiatan nelayan.
“Dulu kenduri laut tiga malam-malam berturut-turut, malam ketiga nelayan mengaji bersama. Besok paginya puncak kenduri disembelih satu kerbau, kalau ada kemampuan ditambah dua sapi dan empat kambing. Khusus satu kerbau mesti ada, sapi dan kambing tergantung kemampuan keuangan,” ujarnya.
Sesuai tradisi turun-temurun, kata dia, setiap kali kenduri laut “wajib” disembelih seekor keubeu jagat. “Keubeu nyang jagat bak pha ngon dimiyub pruet, dari indatu geutanyoe ka lagee nyan geu pileh (kerbau berbulu pirang di bagian paha dan perut, dari nenek moyang kita sudah menetapkan pilihan seperti itu),” ujar Ilyas Bunthok yang sudah 32 tahun menjabat Panglima Laot Kota Lhokseumawe.
Pagi hari puncak kenduri laut, kata Ilyas Bunthok, diawali tradisi membuang kepala dan kulit kerbau ke laut. Setelah itu masyarakat nelayan menikmati kenduri bersama. “Jameun awai that na tiek ulee ngon kulet keubeu u laot. Lheuh cok asoe, kulet keubeu dicop, pasoe tanoh, pasang ulee beuhi keubeu lom. Lheuh nyan ba ngon jalo tiek u laot (masa silam ada tradisi membuang kepala kerbau ke laut. Setelah diambil dagingnya, kulit kerbau dijahit, diisi tanah, pasang kepala agar kembali menyerupai kerbau. Kemudian dibawa dengan sampan buang ke laut),” ujarnya.
Belakangan, kata dia, nelayan di Lhokseumawe tidak lagi melakukan tradisi membuang kepala dan kulit kerbau ke laut lantaran muncul larangan dari ulama yang menilai tindakan tersebut tidak sesuai nilai-nilai syariat Islam.
“Kita patuhi larangan ulama sehingga saat kenduri laut, kepala dan kulit kerbau ditanam di darat. Sebagai ganti tradisi itu, digelar doa di laut oleh 20-30 orang termasuk teungku di atas beberapa boat. Selesai doa, mereka memberi petunjuk kepada nelayan yang menunggu di darat bahwa sudah boleh menikmati kenduri,” kata laki-laki 73 tahun ini.
Kalangan nelayan di Lhokseumawe berharap kenduri laut yang akan digelar di salah satu kuala tahun ini lebih mengutamakan zikir dan doa bersama untuk kebaikan masyarakat nelayan di Aceh.
“Kita dorong kenduri laut yang betul-betul islami dengan memperbanyak zikir dan doa bersama. Jangan ada lagi tradisi buang kepala kerbau ke laut seperti masa silam,” kata Teungku Malikussaleh, nelayan Ujong Blang.
Teungku Malikussaleh ingin adat kenduri laut terus dilestarikan dengan baik agar tidak lenyap dari bumi Aceh. “Kenduri laut sebagai bentuk rasa syukur nelayan kepada Allah yang telah melimpahkan rezeki berupa hasil tangkapan ikan. Melalui adat ini kita juga bisa memperkuat silaturahami dan kekompakan,” ujar nelayan pukat langga ini.
Di Aceh Utara, menurut Panglima Laot Kabupaten Aceh Utara Ismail Insya, adat kenduri laut masih berkembang dengan baik sampai saat ini. Saban tahun ada kenduri di sejumlah wilayah lhok atau kecamatan. Tahun 2013, misalnya, digelar di Kecamatan Lapang, Dewantara dan Muara Batu. Tiga kecamatan tersebut, kata dia, akan menggelar kembali kenduri laut pada 2016.
“Tahun ini kenduri laut akan dilaksanakan di Kecamatan Syamtalira Bayu, Seunuddon dan Tanah Jambo Aye. Tapi tidak serentak pada hari yang sama, diatur jadwal sesuai hasil keputusan musyawarah panglima laot dengan nelayan. Lokasi kenduri dekat TPI atau kuala,” katanya.
Ketika dilaksanakan kenduri, nelayan Aceh Utara menyembelih seekor keubeu jagat. “Kalau ada kemudahan tambah satu sapi,” ujar Ismail Insya akrab disapa Abu Is. Panitia kenduri mengundang seluruh anak yatim di kecamatan setempat, para nelayan, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan teungku untuk memimpin doa bersama. “Tujuan kenduri untuk mensyukuri rahmat Allah dan mendoakan keselamatan bagi nelayan”.
Menurut Abu Is, nelayan Aceh Utara masih mempertahankan tradisi membuang kepala kerbau ke laut dengan jarak lebih kurang tiga mil dari pantai. Proses membuang kepala kerbau ke laut, kata dia, dipimpin salah seorang pawang di wilayah lhok setempat. “Saat melempar kepala kerbau ke laut, dibaca surat Al-Fatihah dan doa-doa. Pulang mereka dari laut baru bisa menikmati kenduri bersama,” katanya.
Membuang kepala kerbau ke laut pada hari kenduri tersebut, kata dia, sudah membudaya di kalangan nelayan Aceh sejak masa Sultan Iskandar Muda. “Tentunya dalam berkenduri kita tetap berpegang kepada Allah sebagai pemilik laut,” kata Panglima Laot Aceh Utara periode 2013-2019 ini.
Sebagai pengurus Lembaga Panglima Laot Aceh, Miftachhuddin mengimbau para panglima laot dan masyarakat nelayan di setiap wilayah lhok terus melestarikan kenduri laut, sebab adat tersebut membawa manfaat besar bagi kehidupan nelayan. “Banyak sekali hikmahnya, selain mengajarkan kita selalu mensyukuri nikmat Allah, kenduri laut juga memperkuat kekompakan sehingga nilai-nilai adat tetap tegak di Aceh,” ujarnya.
***
BAGI nelayan Aceh berlaku adat uroe pantang laot (hari tidak boleh melaut). Di antaranya, hari Jumat. Pada masa lampau larangan tersebut berlaku saban Kamis malam sampai Jumat sore. “Belakangan ini di kalangan nelayan, pantang melaut hanya setengah hari, pagi sampai selesai salat Jumat,” ujar Pawang Dahlan.
Sebagian nelayan di Lhokseumawe, kata Pawang Yafid, tidak melaut hanya pada saat salat Jumat. “Jam sebelas siang tidak ada lagi yang melaut sampai selesai salat Jumat. Dulu tidak ada yang melaut sejak jam enam pagi sampai jam enam sore hari Jumat. Jadi adat jaman dulu dengan sekarang sudah berbeda,” katanya.
Sesuai Hukom Adat Laot, menurut Ilyas Bunthok, pantang laot hari Jumat berlaku Kamis malam sampai selesai salat Jumat. Selesai salat sudah bisa turun melaut, tapi tidak boleh menangkap ikan hingga tenggelam matahari atau Jumat sore. “Hukom Adat Laot wajib dipatuhi semua nelayan,” ujar Panglima Laot Lhokseumawe ini.
Di Aceh Utara, menurut Panglima Laot Abu Is, sejak masa silam tidak ada nelayan yang melaut saban Kamis malam hingga Jumat sore. “Sesuai pesan Syiah Kuala nelayan Aceh diharapkan memanfaatkan malam Jumat berdoa di meunasah atau masjid, setelah salat Jumat baru boleh turun melaut, tapi tidak boleh melabuh ikan sampai tenggelam matahari,” ujar Abu Is.
Pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, pantang laot masing-masing selama tiga hari. “Sejak sore hari megang atau malam hari raya sampai hari raya ketiga,” kata Ilyas Bunthok. “Libur tiga hari, baik Idul Fitri maupun Idul Adha agar nelayan bisa berkumpul dengan istri dan anak-anaknya, itu adat pantang laot yang berlaku sejak masa nenek moyang kita,” ujar Abu Is.
Pantang laot, kata Ilyas Bunthok, berlaku pula tiga hari menjelang sampai selesai kenduri laut. Pascakemerdekaan RI dan tsunami Aceh, kata dia, nelayan Aceh dilarang melaut satu hari masing-masing pada 17 Agustus dan 26 Desember. “Tiap 26 Desember kita harapkan seluruh nelayan berkumpul di masjid-masjid untuk berdoa kepada arwah-arwah nelayan yang meninggal akibat tsunami,” kata Abu Is.
Nelayan yang melanggar pantang laot hari Jumat dikenakan sanksi adat. “Boat ditahan tiga hari, hasil tangkapan ikan disita untuk Lembaga Panglima Laot,” ujar Abu Is. Sanksi tersebut juga berlaku terhadap pantang laot Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dan Hari Mengenang Tsunami. “Tidak berlaku teguran karena semua nelayan sudah mengetahui Hukom Adat Laot. Jika ada yang melanggar nyan beuko-beuko (sengaja membangkang), tetap dikenakan sanksi,” kata Ilyas Bunthok.
Ketentuan tersebut, menurut Abu Is, diawasi kalangan nelayan, Panglima Laot dan Dewan Meusapat Panglima Laot. Jika ada nelayan dari daerah tetangga yang melanggar, kata dia, juga dikenakan sanksi. “Kita sudah sampaikan kepada para Panglima Laot Lhok, jika di wilayah perairan Aceh Utara ada nelayan dari Lhokseumawe atau daerah lain yang melaut pada hari pantangan agar dikenakan sanksi. Disita hasil tangkapan untuk Lembaga Panglima Laot dan boat ditahan tiga hari,” ujar Abu Is.
Menurut Miftachhuddin Cut Adek, sejak tahun 1990-an Panglima Laot Aceh telah membukukan ketetapan-ketetapan Hukum Adat Laot. Buku tersebut kemudian dibagikan kepada para Panglima Laot Kabupaten/Kota. “Nelayan yang melanggar uroe pantang laot dikenakan sanksi: boat ditahan minimal tiga hari dan hasil tangkapan ikan disita. Selain untuk Lembaga Panglima Laot setempat, hasil tangkapan yang disita dibagikan ke tempat-tempat ibadah,” kata Wakil Sekjen Panglima Laot Aceh ini.
Hikmah pantang laot hari Jumat, kata Miftachhuddin, nelayan dapat menunaikan salat Jumat bersama masyarakat lain, kemudian berkumpul dengan keluarganya, memperbaiki alat tangkap ikan, dan pembagian hasil tangkapan ikan. Manfaat pantang laot hari raya Idul Fitri dan Idul Adha masing-masing selama tiga hari, nelayan dapat memperkuat silaturrahmi. “Pantang laot pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI untuk mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan, dan pantang laot Hari Mengenang Tsunami Aceh sebagai pembelajaran bagi generasi saat ini dan masa akan datang agar mereka mengetahui pernah terjadi tsunami di Aceh,” ujarnya.
Pantang laot, kata dia, juga berlaku tiga hari saat kenduri laut. Jika dijumlahkan dalam setahun lebih kurang 60 hari tidak boleh melaut di Aceh. “Hikmahnya juga memberi kesempatan ikan berkembang biak,” katanya. Hukom Adat Laot di Aceh, kata dia, telah menarik perhatian masyarakat internasional untuk mengadopsi kearifan lokal tersebut dalam menjaga kelestarian ekosistem laut.
“Dalam sebuah forum internasional yang diadakan di Filipina tahun lalu, para peserta perwakilan berbagai negara menyatakan ingin mempelajari Hukum Adat Laut di Aceh. Mereka tertarik setelah mendengar presentasi saya tentang adat uroe pantang laot, termasuk peran Lembaga Panglima Laot yang sudah ada sejak 450 tahun silam,” ujar Miftachhuddin.
Studi yang dilakukan Wildlife Conservation Society dan James Cook University mengungkapkan metode tradisional berbasis kearifan lokal di Aceh yang dikenal dengan sistem Panglima Laot sangat menguntungkan terumbu karang dan membawa dampak positif bagi manusia karena memiliki jumlah ikan delapan kali lebih banyak. “Dan keawetan karang-karang yang keras tetap terjaga karena adanya pelarangan penggunaan alat yang merusak, salah satunya jaring,” demikian dilansir mongabay.co.id mengutip hasil studi yang dimuat dalam jurnal Oryx pada Oktober 2012.
Menurut hasil kajian tersebut, sistem Panglima Laot yang sudah berkembang lebih dari empat abad silam, memiliki prinsip-prinsip manajemen kelautan yang selama ini sudah dianut oleh lembaga modern. “Penerapan No-take fishing area atau area pelarangan pengambilan ikan sulit dipraktekkan di wilayah yang warganya sangat tergantung pada ikan di sekitar terumbu karang untuk makanan sehari-hari,” ujar penulis utama kajian ini, Dr. Stuart Campbell dari Wildlife Conservation Society.
“Prinsip-prinsip yang menjadi panduan dalam sistem Panglima Laot ini berhasil menekan kerusakan habitat dan memelihara biomassa ikan sementara disaat bersamaan mereka tetap memiliki akses terhadap ikan. Mekanisme mereduksi konflik itu menjadi kunci manajemen sumber daya laut.”
Namun, tak semua institusi yang ada di perairan Aceh ini sukses semua menjaga habitat di wilayah tersebut. Salah satunya yang terjadi di Pulau Aceh, yang menjadi buruk kondisinya akibat pengambilan ikan yang merusak dan manajemen pesisir yang buruk.
Temuan lain penelitian WCS dan James Cook University ini juga melihat bahwa nelayan yang lebih miskin dan memiliki tingkat partisipasi rendah dalam manajemen sumber daya memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah terhadap institusi lokal dan tingkat keterlibatan terhadap dinamika masyarakat yang lebih rendah. Kelompok ini tidak merasa diuntungkan dengan adanya sistem Panglima Laot ini, dan hasilnya di wilayah mereka pengambilan ikan menjadi tidak terkontrol.
Sementara di wilayah dengan sistem Panglima Laot yang kuat dan termotivasi untuk menciptakan keharmonisan sosial yang baik dengan pelarangan peralatan yang digunakan, akan membawa dampak positif terhadap tutupan terumbu karang dan terus menjaga biomassa ikan di perairan mereka.
Anggota Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Teuku Muttaqin Mansur, dalam tulisannya yang dilansir teukuampon.blogspot.com, mengatakan, salah satu lembaga adat dari 13 lembaga adat yang masih eksis di Aceh saat ini adalah Lembaga Panglima Laot. Ini menunjukkan keberadaan Panglima Laot perlu dipelihara maksimal, baik oleh para panglima laot bersama nelayan maupun dukungan lebih kuat lagi dari pemerintah seiring telah disahkan Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Qanun tersebut penjabaran dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Menurut Teuku Muttaqin, Qanun Aceh tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat menitikberatkan pada penyelesaian sengketa adat laot oleh panglima laot. Qanun ini juga merincikan tata cara penyelesaian sengketa adat laot yang terjadi di kalangan nelayan di Aceh. Sedangkan Qanun Aceh tentang Lembaga Adat, kata dia, lebih mengatur pada struktur organisasi, tata cara pemilihan panglima laot, wewenang, tugas dan fungsi panglima laot di Aceh.
“Bila kita cermati secara mendalam terhadap wewenang, tugas dan fungsi yang diembankan oleh panglima laot, setidaknya menunjukkan adanya peluang besar dalam meringankan tugas pemerintah di laut. Tetapi sebaliknya, pemerintah juga harus peduli, tidak menutup mata terhadap keluhan, kendala dan semua persoalan mereka di lapangan dalam rangka menunjang amanah dari qanun dan harapan masyarakat nelayan ini. Karena itu, perlu ada perhatian dan pembinaan lebih baik agar panglima laot tidak kalah ditaklukkan zaman,” ujar Teuku Muttaqin Mansur.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus