PERUBAHAN politik yang luar biasa di Aceh, telah mengantar seorang bekas pemberontak menjadi penguasa nomor satu di wilayah itu.
Semenjak dua tahun silam, dokter Zaini Abdullah, bekas Menteri luar negeri Gerakan Aceh Merdeka, GAM, terpilih menjadi Gubernur Aceh melalui pemilu daerah yang demokratis.
Ini adalah salah-satu buah termanis yang bisa dipetik, setelah Indonesia dan GAM memilih mengakhiri konflik bersenjata, pada Agustus 2005 silam.
Difasilitasi bekas pemimpin Finlandia yang kharismatis, Martti Ahtisaari, kedua pihak meneken perjanjian damai di Helsinki, yang pasal-pasal didalamnya seperti obat mujarab dalam mengobati luka-luka sejarah di Aceh.
Dengan harapan untuk melihat ke depan, “obat mujarab” itu ternyata bukanlah omong kosong, walaupun dalam perjalanannya hampir selalu muncul persoalan baru di wilayah bekas konflik.
Dalam pidato terakhirnya, ketika kali pertama tiba di tanah kelahirannya pada 2008, pendiri GAM yang sangat dihormati masyarakat Aceh, Hasan Tiro, berkata: “… Memang, biaya perang sangat mahal, akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua…”
Pidato Hasan Tiro, yang disampaikan di tempat penting dan bersejarah bagi Aceh, yaitu di Masjid Raya Baiturrahman, masih menggema sampai sekarang.
Perdamaian dan pembangunan
Gema itu pula yang terus dipantulkan oleh Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh pertama setelah perdamaian, dan kini dilanjutkan penggantinya, Zaini Abdullah, setelah sang Wali, Hasan Tiro, meninggal dunia pada 2010 lalu.
Di sinilah, jika mau jujur, sepertinya tidak ada kata lain yang lebih “keramat” di Aceh sejauh ini, kecuali kata “perdamaian”. Tapi itu dulu. Belakangan bertambah satu kata lagi yaitu “pembangunan”.
Zaini menyadari hal itu – juga rakyat Aceh menyadarinya pula, dan terus menuntutnya.
Dalam peringatan delapan tahun perdamaian Aceh pada 2013 lalu, Zaini bersumpah di Masjid Baiturrahman: “Tidak ada perdamaian tanpa dibarengi dengan pembangunan, demikian juga sebaliknya.”
Di rumah dinasnya di Banda Aceh, yang sering disebut Pendopo, Zaini Abdullah kembali menggemakan dua kata itu: “Itu rahmat Allah kepada orang Aceh dengan tercapainya perjanjian damai,” katanya kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa, 8 April 2014 lalu, bersama tiga wartawan lainnya.
“Dan momentum ini tentu harus berlanjut,” katanya lagi.
Dan saat ini, dua tahun di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah, dan hampir sepuluh tahun setelah jalan damai ditempuh, Aceh menggantungkan harapan begitu tinggi pada pria kelahiran 1940 ini.
Namun harapan yang sebagian sulit dijangkau itu kadang-kadang membuat masyarakat Aceh seperti putus asa, ketika Zaini dihadapkan persoalan yang tak kunjung tertangani.
Sebutlah, pertikaian internal di kalangan elit eks GAM belakangan ini dan hubungan dengan Jakarta yang belum sepenuhnya mulus lantaran saling curiga– akibat residu sisa-sisa konflik masa lalu.
Rentetan kekerasan
Kejadian kekerasan di Aceh pada masa kampanye merupakan bagian dari rentetan kekerasan terjadi dalam empat bulan terakhir.
Akhir Maret sekelompok pria bersenjata menembak simpatisan Partai Aceh di Bireuen, Aceh, dan menewaskan tiga orang termasuk seorang bocah.
Sejumlah simpatisan Partai Aceh, PA dan Partai Nasional Aceh, PNA, yang keduanya merupakan penjelmaan Gerakan Aceh Merdeka dan kini saling bersaing, tewas ditembak kelompok orang tidak dikenal.
Beberapa analisa menyebutkan persaingan antara kedua partai lokal ini merupakan salah-satu sumber penyebab kekerasan di balik aksi rentetan kekerasan tersebut.
Anggota Komnas HAM, Otto Nur Abdullah, yang dikenal pula sebagai sosiolog dan dulu dikenal sebagai aktivis mengkritik kinerja Zaini yang dianggapnya tidak mampu menyatukan masyarakat Aceh yang terpecah-pecah yang berakibat munculnya konflik.
“Zaini Abdullah harus memiliki kesadaran politik yang melampaui golongan-golongan politik yang ada di Aceh,” kata Otto kepada Heyder Affan, yang menghubunginya melalui telepon.
Dia membayangkan, Zaini bertindak sebagai pihak yang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai tanpa terlibat di dalamnya.
Sayangnya, menurutnya, hal itu belum diperlihatkan oleh Zaini. “Zaini bisa dipersangkakan oleh rakyat Aceh bagian dari tindakan kekerasan yang muncul di masyarakat.”
“Karena tidak ada jarak politik antara kekerasan yang terjadi dengan pembiaran yang terjadi oleh Zaini,” kata Otto, menganalisa.
Sejumlah pernyataannya, menurut Otto, menunjukkan bahwa Zaini “kehabisan akal” untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan di wilayah itu.
'Ingin citra Aceh buruk'
Apa komentar Zaini Abdullah terhadap aksi-aksi kekerasan di Aceh menjelang Pemilu legislatif 2014 lalu?
Ada pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di Aceh, kata Zaini.
“Sehingga ada citra orang-orang luar (menganggap) cukup buruk untuk Aceh,” katanya.
Pihak-pihak ini menurutnya menginginkan pemerintahan Aceh berantakan.
“Agar saya tidak berkemampuan untuk memimpin Aceh,” katanya.
Dia tidak pernah menyebut siapa di balik aksi-aksi kekerasan itu, namun dia yakin aparat keamanan mampu mengamankan pemilu.
“Ini 'kan dipantau oleh semua pihak. Dalam hal ini pemerintah pusat telah mengirimkan ekstra pengamanan. Sudah cukup banyak badan intelijen di sini (Aceh),” katanya.
‘Tipu Sukarno’
“Jangan sampai ‘tipu Sukarno’ kembali terulang!” teriak Zaini Abdullah, di hadapan massa saat berkampanye untuk Partai Aceh di Pidie, Aceh, dalam pemilu legislatif, Minggu, 6 April 2014.
Kritik keras ini jelas diarahkan ke Jakarta, yang disebut Zaini belum menuntaskan sejumlah ‘pekerjaan rumah’ hasil kesepakatan damai Indonesia-GAM di Helsinki, Agustus 2005.
“Ini bukan penghinaan, tapi kenyataan,” kata Zaini di ruangan kerjanya, menjawab pertanyaan wartawan tentang pernyataannya itu.
Istilah ‘Tipu Sukarno’ ini merujuk kepada kebijakan Presiden Sukarno yang dianggap ingkar janji untuk mengizinkan pemberlakuan otonomi khusus di Aceh.
“Bung Karno saat itu tidak menunjukan komitmen beliau, yang sudah dijanjikan kepada almarhum Daud Beureuh,” kata Zaini.
Sukarno justru membubarkan Divisi X TNI di Aceh dan mencabut status provinsi Aceh dan menggabungkannya dalam Provinsi Sumatra Utara.
“Makanya ketika Daud Beureuh tidak puas, terjadilah pemberontakan DI/TII,” kata Zaini, dengan kalimat tegas.
'Jakarta jangan mengingkari'
Menurut Zaini, seharusnya pemerintah pusat sekarang tidak mengulangi ‘tipu Sukarno’ terkait pelaksanaan sejumlah pasal dalam kesepakatan damai Helsinki.
Dia menyayangkan sikap pemerintah pusat yang seharusnya membuat peraturan pelaksana dari perjanjian itu pada 2008 lalu, namun kenyataannya belum juga direalisasikan.
“Dalam hal ini ada dua perkara yang paling penting, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Migas dan UU Pertanahan,” katanya.
“Bola panas ada di sana (Jakarta). Itu harus dipenuhi semua. Tidak ada titik-koma yang bisa ditinggalkan menyangkut MOU Helsinki, yang harus diimplementasikan dalam UU Pemerintahan Aceh,” kata Zaini.
Ketika saya tanya: jika Jakarta tetap ingkar, apakah akan membuat aspirasi Aceh merdeka akan hidup lagi, Zaini berkata: “Saya tidak bicara demikian. Saya bicara ini janji manusia dengan manusia, dengan disaksikan oleh Allah. Tidak ada ingkar (dari Jakarta) dalam hal ini, saya harapkan demikian.”
Kemudian dia melanjutkan: “Kalau (pengingkaran ini) terjadi, akan tercatat dalam sejarah. Generasi depan akan melihat ini apa yang terjadi.”
Dia juga menekankan bahwa kendala terbesar pelaksanaan kesepakatan damai Helsinki adalah sikap Jakarta yang dianggapnya belum mengimplementasikan perjanjian itu secara optimal.
Mengapa Syariat Islam
Kasus perkosaan oleh sejumlah pemuda terhadap seorang perempuan di Langsa Barat, Aceh, awal Mei 2014 lalu, membuka lagi perdebatan tentang implementasi dan sebagian isi peraturan daerah Syariah Islam atau qanun di Aceh.
Perempuan itu tetap terancam hukuman cambuk (seperti diatur dalam Qanun tentang khalwat atau mesum) karena dianggap melakukan tindakan mesum, walaupun belakangan dia menjadi korban perkosaan.
Sebagian isi perda dan implementasi Qanun inilah yang menjadi sorotan pegiat HAM karena dianggap berpotensi melanggar HAM, utamanya kaum perempuan yang terpinggirkan
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menggunakan hukum Syariah Islam.
Dua pekan sebelum kejadian ini, Zaini Abdullah menjawab pertanyaan seputar latar belakang lahirnya Syariat Islam di Aceh serta pemaknaan atas hukum Islam di wilayah itu.
"Bagi Aceh, soal Islam itu seperti darah di dalam tubuh manusia," kata Zaini, mengutarakan sebuah kalimat yang pernah diutarakan deklarator GAM, Hasan Tiro dan sangat akrab di masyarakat Aceh.
Jadi, "Agama bukan persoalan di Aceh."
Dia kemudian berkata: "Yang perlu agama itu bukan hanya menjadi lips service atau seperti ada di buku-buku, atau Al-Quran dan hadist, tetapi juga harus dipraktekan."
Syariat Islam dan politik Jakarta
Zaini kemudian mengungkap faktor politik yang disebutnya melatari lahirnya Syariat Islam di Aceh, yaitu ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menawarkan pemberlakuan hukum Islam di Aceh.
"Itu juga ganjil," kata Zaini, seraya mengatakan bahwa tawaran Gus Dur itu sebagai upaya meredam perlawanan GAM yang saat itu sudah di atas angin.
"Itu yang sebenarnya. Maka dipraktekkan sampai sekarang," katanya lagi.
Secara terpisah, wartawan senior dan pengamat sosial-politik Aceh, Nezar Patria mengatakan, walaupun Islam secara kultural sudah mendarah-daging bagi masyarakat Aceh, GAM melalui pimpinannya Hasan Tiro, tidak menggunakan isu Islam sebagai strategi perjuangan.
Menurut Nezar, Hasan Tiro belajar dari pengalaman kegagalan DI/TII yang menggunakan isu Syariat Islam dan tidak mendapat dukungan internasional.
"Lalu dicarilah poin yang bisa membedakan. Kalau memakai Islam, itu poin yang melemahkan perjuangan, karena Indonesia adalah mayoritas Islam dan Aceh adakah bagiannya dan tidak ada penindasan agama. Karena itu isunya kemudian digeser menjadi nasionalisme ke-Aceh-an," kata Nezar, menganalisa.
Karena itulah, lanjut Nezar, pimpinan GAM sejak awal menolak tawaran Jakarta untuk menerapkan Syariat Islam di Aceh.
Sikap ini menurutnya juga ditunjukan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, setelah perjanjian damai RI-GAM, dengan "tidak ditolak (syariat Islam) tetapi tidak diaktifkan."
Tetapi menurutnya, ketika pimpinan GAM, Zaini Abdullah terpilih sebagai gubernur, pemerintah Aceh bersikap hati-hati terkait Syariat Islam.
"Elit-elit GAM ini semuanya berangkat dari tradisi Aceh yang sangat kental dan sangat identik dengan Islam. Tidak akan ada orang Aceh menolak Syariat Islam, tetapi penerapannya atau pelaksanaannya yang mungkin dilakukan dengan hati-hati," kata Nezar.
Warga non-Muslim di Aceh
Ketika akhirnya lahir Qanun Syariat Islam dipraktekan di Aceh, Zaini akhirnya dapat menerima kenyataan itu. "OK saya tidak menafikan yang demikian."
"Kalau tidak, saya akan dituduh tidak pro dengan Islam. Malah saya dianggap gubernur ini anti-Islam," tambahnya.
Karena itulah, lanjutnya, Partai Aceh mendukung sepenuhnya pembuatan Qanun atau perda tentang Syariat Islam di Aceh, meskipun menurutnya qanun itu tidak berlaku untuk non-muslim.
Hal ini ditekankan Zaini menanggapi pemberitaan yang sebelumnya menyebut warga non-Muslim kemungkinan dapat dikenai aturan hukum Islam.
Menurutnya, akibat pemberitaan itu dirinya mendapat pertanyaan dari sejumlah duta besar negara-negara asing.
"Sebab mereka pikir aceh itu jadi momok, jadi hantu. Mereka tidak berani datang (ke Aceh)."
"Saya bilang di Aceh toleransi itu cukup tinggi. (Toleransi) ini kita praktekan bukan karena dicari-vari sekarang. Ini telah ada sejak jaman kesultanan. Sehingga Sultan Aceh bukan hanya berkawan dengan negara Islam, tetapi juga Inggris, Belanda, Kanada, Jerman," ungkapnya menjelaskan.
Koalisi dengan Prabowo
Koalisi yang ditawarkan calon presiden Partai Gerindra, Prabowo Subianto dengan Partai Aceh, sempat menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat Aceh.
Prabowo Subianto sempat datang ke sebuah acara Gerindra di Aceh dan dia mengatakan meminta maaf atas apa yang terjadi di Aceh di masa konflik bersenjata.
Dalam acara itu, Prabowo disambut oleh Ketua Umum Partai Aceh, Muzaki Manaf yang juga Wakil Gubernur Aceh.
Sebagian korban dugaan pelanggaran HAM dan pegiat LSM di Aceh mempertanyakan kesepakatan politik itu, mengingat latar dan peran Prabowo di masa pemberlakuan operasi darurat militer di Aceh.
Dalam wawancara dengan beberapa wartawan sebelum pemilu legislatif 2014 lalu, Zaini Abdullah tidak mau berkomentar panjang tentang kesepakatan politik Partai Aceh dengan Partai Gerindra dalam pemilu Presiden Juli nanti.
"Terserah kepada rakyat Aceh," kata Zaini agak diplomatis.
"Itu saya serahkan kepada rakyat sendiri memilih alternatif mereka," katanya lagi.
Menurutnya, konflik bersenjata di Aceh memakan waktu yang lama, sehingga masyarakat di wilayah itu sulit melupakannya. "Kita tidak boleh memaksakan kehendak kepada rakyat (Aceh) yang saya cintai," tambahnya.
Investasi, keamanan dan isu korupsi
Investasi swasta di Aceh, menurut peneliti Bappeda Aceh, Marthunis Muhammad (2013), mengalami pertumbuhan yang signifikan pada triwulan pertama 2013 yaitu mencapai Rp 2,031 trilyun.
Prestasi ini menurutnya sebagian besar merupakan kontribusi investasi PT PLN terhadap pembangunan PLTU Nagan Raya. Sementara, perkebunan dan pertambangan masih menjadi sektor investasi yang paling diminati.
Namun dalam tulisannya, Marthunis menyitir studi Bank Dunia (2009) yang menyebutkan ada dua besar faktor penghambat investasi di Aceh yaitu ketersediaan infrastruktur dan korupsi.
Zaini Abdullah mengatakan, sejak terpilih sebagai Gubernur Aceh, dia bertekad agar "di Aceh tidak berlanjut lagi praktek-praktek korupsi."
"Tentu itu tidak semudah seperti membalik tangan. Dia akan memakan waktu, karena praktek (korupsi) itu sudah kronis, yang sudah diobati."
Tentang upayanya mendatangkan investasi ke Aceh terkait masalah keamanan di wilayahnya, Zaini memberikan contoh keberadaan Pabrik semen asal Perancis PT Lafarge Cement Indonesia di Lhok Nga, Aceh, yang mulai berproduksi sejak tiga tahun silam.
"Mereka mengatakan 'kami cukup aman' untuk melanjutkan bisnis di Aceh," kata Zaini.
Hal ini juga diutarakan investor dan calon investor luar negeri dalam melihat Aceh yang disebutnya mengatakan "keadaan di Aceh cukup kondusif."
Menurutnya, ada pihak-pihak tertentu yang membesar-besarkan masalah keamanan di Aceh, sehingga masyarakat luar negeri melihat Aceh "tidak aman." .
Padahal, "tidak demikian kenyataannya," kata Zaini seraya mencontohkan, ketertarikan investor asing asal Australia, Malaysia dan Turki untuk bekerja sama dengan Aceh di bidang ekonomi.[] sumber: bbc.co.uk
Editor: Boy Nashruddin Agus