PENAMAAN suatu daerah di Aceh identik dengan mythologi, klenik serta berdasarkan topografi wilayah sebuah gampong. Seperti misalnya gampong Alue Naga di Kecamatan Syah Kuala Kota Banda Aceh dan Tapak Tuan di Aceh Selatan.
Jika diselisik berdasarkan pengertian bahasa Indonesia, Alue merupakan penyebutan orang Aceh untuk parit, kuala atau muara. Sementara Naga adalah nama hewan mythologi yang menyerupai ular dan memiliki tanduk. Hewan ini biasanya ada dalam cerita-cerita dongeng negeri China dan Eropa. Pertanyaannya apakah di muara atau parit tersebut dulunya tempat bersemayam seekor naga?
Menurut keterangan Geucik Gampong Alue Naga, Sayuti AR, nama Alue Naga diambil dari cerita legenda yang berkembang di gampong tersebut. Kabupaten Aceh Selatan dan Gampong Alue Naga Di Banda Aceh memiliki kesamaan legenda, begitu juga dengan Kabupaten Nagan Raya.
Dikutip dari laman desabinaanusk.blogspot.com menyebutkan legenda tersebut bercerita tentang sosok naga yang sangat terkenal dalam sejarah Aceh Selatan. Naga yang dimaksud berupa ular besar, namun bukan naga seperti mitos di negeri China.
Bagi masyarakat setempat, hewan ini diumpamakan sebagai ular yang sudah tua dan berukuran besar dengan badan yang ditumbuhi dengan bulu-bulu.
Ular tersebut bersarang pada suatu Alue yang sangat dalam dan membentang melalui dusun Beubot dan Musafir. Di Alue tersebut banyak hidup berbagai ikan besar yang datang dari laut.
Konon dahulu kala ular naga yang bersarang di alue tersebut pergi ke Kabupaten Aceh Selatan melalui Samudera Hindia dengan melewati Nagan Raya. Setahun sekali, naga pulang ke Alue Naga. Bahkan, berdasarkan sejarah kearifan lokal, penduduk setempat pada masa itu pernah melihat naga tersebut sedang mengambil ikan di seputaran paraian Alue Naga.
Selanjutnya, naga tersebut kembali ke Aceh Selatan dan begitu seterusnya dari tahun ke tahun. Namun alue tersebut pada masa sekarang sudah hilang disebabkan sudah dibangunnya jalan yang menghubungkan dusun Musafir dan Beunot.
Cerita ini belum tentu benar dan diduga hanya sejarah yang dikembangkan oleh orang-orang Aceh tempo dulu untuk menyebut sebuah daerah.
"Memang orang Aceh menyukai hal-hal (penamaan daerah) yang berbau klenik, dan pada zamannya hal itu tidak salah serta dianggap lazim," ujar sejarawan Universitas Syah Kuala (Unsyiah) Drs Rusdi Sufi, Kamis, 29 Mei 2014.
Ulee Lheue, juga sering dikait-kaitkan dengan kepercayaan klenik masyarakat Aceh. Jika dikaji dari kaedah bahasa Indonesia, Ulee berarti kepala sementara Lheue (lheueh) adalah lepas. Jika ditarik kesimpulan maka Ulee Lheue bisa diartikan dengan kepala lepas.
"Ulee Lheue juga sering dikaitkan dengan Pulau Weh," ujar Rusdi Sufi.
Pulau Weh dalam bahasa Indonesia mengartikan pulau yang menjauh, menyingkir dan semacamnya. Sehingga masyarakat Aceh seringkali mengibaratkan bahwa Pulau Weh merupakan ujung daratan Sumatera yang dibelah lautan dan diibaratkan sebagai kepala.
Selain identik dengan klenik, penyebutan suatu daerah di Aceh juga tidak terlepas dengan posisi wilayah seperti ketinggian. "Jika daerah tersebut sedikit berbukit, maka disebut Cot dan jika di dataran rendah disebut Lam. Tapi ini hanya opini yang dibentuk dan tidak ada penelitian lebih lanjut," katanya.
Merujuk pernyataan Rusdi Sufi, daerah Aceh khususnya Aceh Besar memang banyak terdapat nama-nama gampong atau kemukiman yang memakai awalan Lam dan Cot. Sebut saja di antaranya seperti Lampisang, Lampuuk, Lamteh, Lam Ara, Lamseupeung, Lamkubu, Lam Badeuk, Lamjabat, Lam Kubu, Lam Teuba, Lam Jampok, Lam Su Jen, Lam Pageu, dan lainnya. Aceh Besar juga memiliki banyak nama-nama gampong yang diawali dengan Cot seperti gampong Cot Lamkuweuh di Kecamatan Meuraxa Banda Aceh dan Cot Keueung di Aceh Besar.[]
Berita terkait:
Editor: Boy Nashruddin Agus