Cara pandang dikotomi sepertinya masih menjadi cara yang mengasyikkan dalam memahami politik di Aceh. Sepertinya, ada kepuasan tersendiri bila dinamika politik di Aceh dipahami secara bertentangan. Anehnya, cara pandang ini justru membuat Aceh terjebak sebatas rumor politik yang melelahkan. Akhirnya, kekuatan politik Aceh berpotensi makin melemah. Mengapa?
Jawabannya tentu saja karena zaman sudah berubah. Aceh hari ini bukan lagi Aceh yang dulu. Indonesia hari ini bukan lagi Indonesia yang dulu. Bahkan, donya hari ini juga bukan lagi donya yang dulu. Mestinya, model politik Aceh hari ini juga harus diramu ulang agar menemukan bentuknya yang lebih cocok menurut konstalasi politik yang ada.
Dulu, pendekatan politik pertentangan memang lebih cocok mengingat dinamika politik nasional dan donya berkembang dalam politik yang menjajah. Jika Aceh menjalankan politik akomodatif sudah bisa dipastikan Aceh hanya menjadi negeri perahan dan orang Aceh hanya sebatas menjadi bangsa lamiet.
Memang, konsekuensi dari politik perlawanan adalah kematian, penderitaan, luka, pelanggaran, dan permusuhan, dendam, serta amarah yang berkepanjangan. Tapi, di balik itu semua juga lahir kekompakan, keberanian, harga diri, citra diri sebagai bangsa Aceh yang memiliki identitas, martabat, juga nasionalismenya.
Dari sinilah, Aceh dikenal oleh dunia, bahkan melintasi teritori politik melayu. Karena itu wajar ketika secara nasional Aceh dicoba direduksi oleh Soekarno, dijarah oleh Soeharto, dan diperangi kembali oleh Megawati politik Aceh menjadi semakin kuat dan kompak yang pada akhirnya merombak pola hubungan politik Aceh. Jika dulu terjadi pola hubungan yang “menjarah” kini menjadi hubungan yang memberi ruang bagi Aceh untuk mengurus diri sendiri secara lebih bermartabat.
Sayangnya, akibat terlalu lama terjebak dalam politik pertentangan, dinamika politik kekinian Aceh juga masih terkelola dalam suasana politik pertentangan. Aceh bukan hanya ingin terus terlihat bertentangan dengan pusat tapi juga terbangun politik saling bertentangan antarkekuatan dan antaraktor politik di Aceh sendiri. Parlok vs Parnas, PA vs PNA, dan kini Doto vs Mualem.
Jadilah semua proses-proses politik dibaca dengan cara pandang saling bertentangan alias beukah dua. Aktor-aktor politik di Aceh secara sadar memilih untuk terus mengambil posisi yang saling bertentangan. Jika parnas begini maka parlok begitu. Jika parlok PA meunan, maka parlok PNA meudeh. Bahkan juga ada kekuatan atau aktor politik di masyarakat yang meuno. Jadilah politik Aceh menjadi politik meuno, meudeh, dan meunan. Bisa dibayangkan apa jadinya bila berlangung politik meuno khon, meudeh han, dan meunan pih than. Sudah pasti hilang kekuatan politik Aceh yang sudah diraih dengan harga yang sangat mahal.
Padahal, dalam zaman damai ini, politik Aceh harus dibangun di atas basis pertimbangan politik yang penuh perhitungan, sekaligus penuh rintisan. Pertimbangannya bukan lagi sebatas romantika politik. Misalnya, lebih bagus kita pilih Jusuf Kalla karena Aceh damai berkat tangan dingin Jusuf Kalla. Jika tidak memilih Jusuf Kalla maka tandanya orang Aceh tidak balas budi.
Tentu sangat baik bila orang Aceh mau membalas jasa baik orang lain. Agama juga menganjurkan agar diri kita menjadi pribadi yang bisa berterimakasih kepada sesama manusia sebagai wujud terimakasih kita kepada Allah SWT. Hanya saja, dalam perhitungan politik, apakah “kado suara” balas jasa yang kita berikan kepada Jusuf Kalla akan dibuka oleh Jusuf Kalla sendiri, atau malah yang bukanya orang lain mengingat Jusuf Kalla hanya sebatas calon wakil presiden.
Lagi pula, posisi cawapres Jusuf Kalla saat ini berbeda sangat dengan posisi Jusuf Kalla saat bersama Sby. Saat itu, dengan posisi politik parlemen Partai Demokrat yang lemah memungkinkan Jusuf Kalla membangun kekuatan politik sendiri, sehingga Jusuf Kalla akhirnya dikenal sebagai the real president. Sekarang? Jauh-jauh hari pihak PDI-P sudah memperingatkan agar Jusuf Kalla tidak mengulangi seperti apa yang terjadi di masa dulu ketika bersama Sby.
Di sinilah arti penting rintisan politik yang dibangun sejak awal oleh Muzakir Manaf. Dukungan Mualem kepada Prabowo bukanlah politik instan berdasarkan riuhan politik yang berkembang secara nasional. Mualem merintis ikatan politik dari dasar secara merangkak yang kemudian melahirkan keputusan organisasi untuk mendukung pasangan nomor urut 1, Prabowo-Hatta. Mualem bukan sekadar berhitung tapi juga menjadi bahagian dari orang dan organisasi yang merintis kerja-kerja politik yang kini menempatkan Prabowo-Hatta sebagai salah satu pasangan yang elektabilitasnya sudah menyalip elektabilitas pasangan Jokowi-Jk, menurut beberapa hasil survey terkini.
Bisa dibayangkan nilai politik yang bisa diraih Aceh bila Prabowo-Hatta terpilih sebagai Presiden-Wakil Presiden RI untuk periode 2014-2019. Dengan jumlah parpol koalisi yang kuat (Gerindra, PAN, PPP, PBB, Golkar, PKS dan Demokrat) tentu saja banyak agenda politik Aceh yang bisa diperjuangkan di tingkat nasional tanpa harus menggunakan politik pertentangan atau politik perlawanan. Begitu juga dalam hubungan dengan presiden, Aceh jauh lebih mudah bernegosiasi karena ada faktor sejarah, hubungan emosional, kerja politik dan dukungan suara.
Di sinilah Mualem kelihatan lebih pintar secara politik. Mualem sepertinya belajar dari kelemahan politik selama ini bahwa hubungan politik tidak cukup dibangun dengan sekadar dukungan suara, hubungan romantis, dan balas jasa. Politik sepenuhnya adalah perhitungan dan rintisan yang bisa jadi melelahkan, juga terkadang bisa jadi penuh resiko. Tapi, politik yang dibatasi oleh resiko justru tidak menghasilkan ikatan politik yang kuat bila menang. Sebaliknya, bila menang, maka rintisan politik yang melelahkan akan menghasilkan kekuatan yang hasilnya bisa dipersembahkan sepenuhnya kepada Aceh.
Lagi pula, berkat dukungan sistem politik antara Aceh dan RI yang sudah dibangun sedemikian rupa melalui MoU Helsinki dan UUPA maka sekalipun rintisan politik meleset tetap saja Presiden dan Wakil Presiden berkewajiban untuk menjalankan perjanjian politik yang sudah ada. Sekarang, yang ingin dicari semata nilai lebih yang itu harus dibangun di atas perhitungan dan rintisan politik, bukan sekedar romantika politik. Bagi yang percaya pada moral hidup “na hek na hak” tentu akan menyikapi secara cerdas politik Mualem, dan pada tanggal 9 Juli ini akan ikut bersama Mualem untuk memastikan bahwa Aceh masih berpolitik secara cerdas. Na pakat?!
Soal Razia Plat BL di Perbatasan, Mualem juga Pernah Mengalami
[Foto]: Mualem Kunjungi Kantor Baru KPA Pusat
[FOTO]: Mualem Kunjungi Posko Bersama Korban Banjir Aceh Timur
[FOTO]: Mualem Berkunjung ke Rumah Abu Kuta Krueng
[FOTO]: Mualem Tinjau Lokasi Banjir di Seuneuddon
Tarif Naik 20 Persen, Ini Daftar Harga Trayek Bus Terbaru di Aceh
Komisi III DPR Aceh Gelar Rapat Tertutup dengan PT Investa
Cerita Backpacker Aceh 'Cilet-Cilet' yang Suka Camping Sendirian
Bupati Aceh Utara dan 1.200 Teungku Imum Bahas Syariat Islam
Aplikasi E-Kinerja Pemko Banda Aceh Raih Penghargaan Kemenpan RB
[FOTO]: Gempita Piala Dunia 2014