PAKAR hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, mengatakan setidaknya ada dua faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya kericuhan pada saat penetapan hasil Pilpres, 22 Juli.
Pertama, adalah kecurangan di dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Kecurangan tersebut bisa saja dilakukan penyelenggara pemilu atau peserta.
"Bila (kecurangan) diketahui dan dipublikasi, maka bisa menjadi potensi. Apalagi kalau ternyata pelanggaran dilakukan oleh pihak yang dinyatakan menang," kata Mudzakir di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/7/2014).
Kedua, jika hasil yang ditetapkan KPU berbeda jauh dengan hasil hitung cepat. Maka, kata Mudzakir, hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memprovokasi pendukung calon yang dinyatakan kalah.
"Ini yang cukup riskan, terutama pada kubu yang pendukungnya sudah terlanjur percaya pada quick count," ujar Mudzakkir lagi.
Karenanya, Mudzakir mengimbau kedua kubu pasangan calon untuk saling mengendalikan emosi pendukungnya, baik pihak yang menang maupun yang kalah harus bisa menahan diri.
"Timses jangan lakukan pembiaran. Hasil KPU itu yang resmi, bukan internal atau quick count. Jadi kalau ada perbedaan hasil, yang tidak puas bisa diarahkan kepada cara-cara yang rasional, yakni mengajukan ke MK," pungkasnya. | sumber: okezone.com
Editor: Murdani Abdullah