Berbicara tentang konflik tidak ubahnya membahas situasi politik dan demokrasi. Isu ini tidak pernah kering meski terus dibahas dalam berbagai pertemuan. Saya sangat bersyukur karena cukup sering diundang menghadiri forum seperti ini.
Dari sekian diskusi dan dialog konflik yang saya ikuti, yang saya rasakan di Manija, Estonia ini sangat berbeda dan menghadirkan kesan tersendiri. Inilah untuk pertama kalinya saya berdiskusi tentang konflik dalam perspektif film. Sejumlah para sineas film dokumenter dunia hadir dalam diskusi ini. Situasi ini dihangatkan dengan menonton My Afghanistan – Life in Forbidden Zone, sebuah film yang berkisah tentang jurnalis yang menjalankan tugasnya meliput perang Afghanistan.
Manija adalah sebuah pulau kecil di wilayah tenggara Estonia yang hanya dihuni 38 kepala keluarga. Adalah Mark Sooser yang mengajak kami berkunjung ke pulau ini. Ia termasuk satu dari 38 keluarga yang mendiami pulau ini. Mark – demikian saya memanggilnya – adalah mantan anggota parlemen Estonia yang juga seorang pegiat film. Ia kerap diundang sebagai juri dalam berbagai festival film dokumenter dunia. Tahun ini ia ditunjuk sebagai koordinator pelaksana Parnu Film Festival, sebuah ajang tahunan festival film dokumenter yang sudah cukup mendunia.
Parnu Film Festival berlangsung pada 14 – 21 Juli 2014. Sebagaimana namanya, event ini berlangsung di Parnu, sebuah kota turis yang sangat asri di wilayah selatan Estonia. Sejumlah pegiat film dokumenter hadir dalam pertemuan ini.
Pada dasarnya festival ini diperuntukkan bagi semua karya film dokumenter. Termasuk film dokumenter anak-anak. Hanya saja, yang banyak ditampilkan peserta adalah film-film dokumenter tentang penderitaan, diskriminasi, perjuangan masayarakat adat dan kekerasan, sehingga tanpa sengaja festival ini mengarah kepada isu demokrasi dan hak asasi manusia.
Lihat saja film dokumenter Nowhere to call home karya Jocelyn Ford bercerita tentang diskriminasi yang dialami perempuan Tibet di Beijing. Ada pula film tentang Olga, yang berkisah tentang perjuangan seorang anak yatim piatu menjalani hidup sendirian di sebuah desa terpencil di Rusia yang suhu udaranya mencapai 35°C di bawah nol. Dari kawasan Sudan, tampil film Abu Haraz yang mengetengahkan perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan desa mereka dari upaya penggusuran akibat pembangunan irigasi raksasa.
Dan film yang membuat saya terdecak kagum adalah Forest of the Dancing Spirit, sebuah film dokumenter yang mengisahkan kehidupan masyarakat suku Pygmies di pedalaman hutan Basin, Kongo, Afrika. Suku ini masih sangat tradisional dan merupakan salah satu suku terasing di Kongo. Mereka tetap gigih mempertahankan budaya lokal. Tidak banyak orang kota yang bisa bertahan di tengah-tengah kehidupan suku ini. Rumah mereka tanpa listrik, tanpa teknologi, dan bahkan untuk menghidupkan api masih menggunakan alat kuno.
Mereka tidak mengenal uang. Transaksi jual beli dilakukan dengan barter. Mereka memakan apa saja yang mereka dapatkan di hutan, seperti buaya, monyet, ular dan lainnya.
Film ini karya Linda Vastic, seorang ibu rumah tangga pegiat film dari Swedia. Ia mengaku menghabiskan waktu dua tahun hidup bersama suku pedalaman itu. Linda berhasil mengabadikan berbagai sisi kehidupan masyarakat di sana, mulai dari penanganan ibu hamil hingga melahirkan, pesta adat, berburu makanan, hingga derita akibat kematian dan prosesi penguburan jenazah.
Film ini tidak hanya unggul dari sisi cerita, tapi juga mengagumkan dari sisi penggarapan, editing dan pengisian suara. Wajar jika Forest of the Dancing Spirit menjadi salah satu nominasi dalam film ini.
Dua hari menjelang penutupan, Mark Sooser, koordinator acara mengajak kami bertamasya ke Pulau Manija. Butuh dua jam naik mobil ke lokasi wisata itu. Menariknya, Mark tidak hanya sekadar membawa kami jalan-jalan, tapi juga mengajak kami menonton film dokumenter di rumahnya yang asri di pulau itu. Ada dua film yang kami diskusikan, yaitu The Nun, tentang kehidupan biarawati di Belarusia, serta film Mahout, berkisah tentang gajah dan kehidupan satu keluarga di Thailand.
Usai menonton acara itu, Mark mengajak kami berdiskusi tentang tema-tema film yang menarik untuk dijadikan film dokumenter. Dari dialog inilah lahir sejumlah ide untuk menampilkan suara arus bawah. Isu Aceh sempat didiskusikan secara hangat, setelah saya menyampaikan situasi dan perkembangan politik di daerah ini. Begitu mendengar tentang masih banyaknya penderita konflik yang tidak mendapat keadilan, sejumlah sineas langsung merespon. (Baca: Menantang Film Dokumenter Soal Aceh)
“Kan menarik untuk menjadikan kisah para korban konflik itu ke dalam film dokumenter,” ujar Endrico Locatelli, seorang anak muda pegiat film dokumenter dari Italia. Tentu tidak hanya Aceh, kehidupan rakyat Palestina, dinamika politik Thailand Selatan dan berbagai wilayah konflik lainnya, juga sempat kami bahas dengan santai.
Diskusi ini membuat saya semakin tertarik dengan film dokumenter, mengingat karya yang ditampilkan menggambarkan realita yang sesungguhnya, bukan drama cinta-cintaan yang justru membuat masyarakat bodoh dan hidup dalam dunia hayalan. Saya berharap suatu saat para sineas Aceh juga bisa menggarap sejumlah film dokumenter yang bercerita tentang konflik dan perdamaian di wilayah ini.[]
*Penulis sedang berada di Kota Parnu, Estonia, menghadiri Parnu Film Festival 2014
Baca juga:
Editor: Ihan Nurdin