24 March 2015

Perdamaian Aceh. Foto Istimewa
Perdamaian Aceh. Foto Istimewa
saleum
Uèt Jaloë Tôh Kapai
Murthalamuddin
29 August 2014 - 23:45 pm
Kita amat suka menonton perdebatan penuh energi hanya untuk mempertahankan prinsip masing masing.

Intelektualitas seseorang terlihat dari apa yang dibicarakannya. Omongan tanpa dasar hanya akan menunjukkan tumpulnya pikiran. Maka Andy Warhol mengatakan, sesungguhnya kita memiliki lebih banyak kekuasaan saat tutup mulut. Jangan cederai intelektual Anda dengan omong kosong. Bek uét jaloë tôh kapai.

Ungkapan lain mentamsilkan, mulutmu harimaumu, lidahmu lebih berbahaya dari pedang. Ini menyiratkan kepada kita untuk berbicara apa adanya, tidak berlebihan, apalagi hanya omong kosong tanpa dasar yang jelas. Dalam ungkapan lain orang yang bicara tanpa fakta juga disebut sebagai tong kosong nyaring bunyinya.

Inilah yang sering terjadi dewasa ini dalam berbagai diskusi dan debat, baik di warung kopi maupun di tempat-tempat formal. Mereka para mantan aktivis kehilangan panggung, ingin menciptakan panggung baru melalui hujatan. Mereka seolah-olah tampil sebagai pahlawan yang menggugat pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Nyatanya di balik semua itu ada udang di balik batu.

Minggu lalu saya mendapat tiga undangan diskusi dengan tema perdamaian. Ketiga undangan itu saya salah satu pembicara bersama teman saya yang sedang membangun gerakan oposisi. Karena saya adalah birokrat maka saya merasa tak pantas menjadi tandem diskusi teman saya.

Bagi saya diskusi dan ruang intelektual harus digalakkan di Aceh. Ini menjadi ajang saling berbagi dan saling mengisi untuk memperbaiki nilai nilai dalam masyarakat kita. Menjadi ajang untuk mengambil peran demokrasi mengawasi Pemerintah ini.

Yang aneh adalah kenapa pilihan konflik menjadi sangat menarik bagi para teman teman penyelenggara.

Kenapa saya katakan begitu karena teman saya sedang membangun ruang diskusi yang menurut saya hanya memperlebar ruang konflik yang memang agak mengemuka beberapa saat ini. Sepertinya topik ini sangat menarik . Konon lagi bila diskusi itu dengan antar pihak berseberangan seperti saya sebagai Humas Pemerintah dengan teman saya yang berseberangan dengan pemerintah.

Kita amat suka menonton perdebatan penuh energi hanya untuk mempertahankan prinsip masing masing. Bukan diskusi untuk menemukan solusi dari sebuah masalah yang aktual bagi kepentingan yang lebih luas. Saya amat trenyuh melihat keadaan ini karena menurut saya Aceh saat ini butuh pencerahan bukan butuh tontonan debat. Sepertinya energi untuk saling menjatuhkan lebih mengemuka daripada energi saling melengkapi.

Lihatlah di media sebuah tudingan atau sebuah hal negatif lebih suka dibahas dari pada hal positif. Saya teringat kata kata beberapa motivator. Bahwa otak yang sering diajak berpikir negatif maka akan terus memberi energi negatif terhadap apapun yang dipikirkan. Setiap hal yang kita pikirkan maka otak terus menghasilkan dan menjelaskan yang negatif lebih banyak dari yang positif.

Ada banyak hal yang masih sangat urgen dicarikan solusi bagi Aceh masa depan dibandingkan sekedar mengisi ruang berpikir kita yang sudah dididik negatif thinking selama konflik. Lihatlah betapa buruk hubungan kita dengan pusat akibat pengingkaran mereka. Mengapa kita kemudian tidak bersatu. Mengapa kita malah saling menyalahkan. Lihatlah pemberdayaan ekonomi dan sektor real kita yang hanya bergantung belanja negara (APBN, APBA dan APBK).

Lihatlah budaya kita yang mulai kehilangan identitas. Anak anak kita yang kehilangan jati diri sebagai anak Aceh. Bahkan di rumah kita tidak lagi berbahasa Aceh atau bahasa ibu. Kita sudah begitu inferior sehingga perlu panggung untuk memamerkan kebodohan kebodohan itu.

Kembali ke soal diskusi. Bahwa Pemerintah wajib dikritik, siapapun setuju. Tapi kritiknya harus konstruktif dan solutif. Panggung panggung diskusi tidak cukup hanya untuk menghujat tapi menjadi ajang solutif bagi persoalan Aceh. Undanganlah Pemerintah untuk mendengar atau menjelaskan. Jangan sampai ajang kritik mengkritik jadi ajang menelanjangi atau membenarkan.

Anak anak muda yang sedang tumbuh menjadi kekuatan Aceh baru sedang tumbuh. Jangan wariskan kepada mereka jiwa kita yang memang sakit akibat konflik. Beri mereka pencerahan agar ke depan mereka menjadi lebih kreatif dan solutif.

Berhentilah saling menghujat dan saling menerkam. Mari bersama membangun Aceh dengan cara masing masing. Setiap kita bisa mengambil peran untuk memberdayakan Aceh. Sadarkah kita berapa banyak energi terbuang yang kita tambahkan untuk saling menghujat. Belum lagi soal waktu, makin kita habiskan waktu untuk itu, kita semakin kehilangan kesempatan untuk berbuat baik.

Bayangkan seandainya waktu yang kita habiskan tiap hari di warung kopi untuk menghujat kita gunakan menulis buku atau mengajarkan anak anak kita. Betapa bergunanya waktu itu bila kita gunakan untuk memproduktifkan diri kita. Bekerja sesuai kemampuan. Berusaha yang maksimal. Daripada kita membiarkan diri hidup dengan SMS ( senang melihat orang susah atau susah melihat orang senang).

Murthalamuddin adalah Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh dan mantan jurnalis.

Editor: Murdani Abdullah

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Anggota DPR Aceh Terharu Masuk Ruang…

JK Siap Kembalikan Bantuan Australia Terkait…

Elemen Sipil dan Akademisi Unsyiah Bahas…

[FOTO]: Anggota Kongres Philipina Konsultasi Proses…

Ketua Banleg DPRA Beberkan Soal Perdamaian…

HEADLINE

Don’t Lay Down Your Arms, Aceh Edition

AUTHOR