25 March 2015

Muhammad Yusuf Bombang alias Apa Kaoy @ATJEHPOST.co/Ihan Nurdin
Muhammad Yusuf Bombang alias Apa Kaoy @ATJEHPOST.co/Ihan Nurdin
profile
Perkenalkan! Apa Kaoy; Pelopor Hiem Aceh
Ihan Nurdin
19 October 2014 - 19:45 pm
Berkat kreatifitasnya hiem yang tadinya tidak dianggap seni oleh masyarakat kini justru mendapat tempat tersendiri di ranah seni Aceh.

Dari jauh saya sudah melihat sosoknya yang duduk di serambi depan warung kopi Black Jack di seputaran Taman Sari Banda Aceh. Topi pet yang selalu dikenakannya, membuat sosoknya sangat mudah dikenali. Topi yang seolah semakin menguatkan identitasnya sebagai seorang seniman.

Dialah Apa Kaoy, seniman tutur Aceh yang menjadi pelopor berkembangnya Hiem, sejenis teka-teki Aceh namun kental dengan nuansa sastrawi. Sebagai seorang seniman tutur, sosok Apa Kaoy sangatlah unik. Karena ia tidak hanya lihai ‘bertutur’ tapi juga mahir menulis. Perpaduan ini membuat namanya dikenal luas karena tulisan-tulisannya kerap menghiasi tampilan media massa. Khususnya di Aceh.

Seni memang sudah menjadi nafas kehidupannya. Pertama kali bersentuhan dengan dunia seni sejak bergabung dengan teater Mata pada tahun 1986 silam, sampai sekarang Apa Kaoy terus eksis di dunia itu. Awalnya, ia bergabung di teater karena tidak menemukan komunitas seni tradisional yang sesuai harapannya.

Berkat kreatifitasnya pula, hiem yang tadinya tidak dianggap seni oleh masyarakat kini justru mendapat tempat tersendiri di ranah seni Aceh.

Sejak kecil pria kelahiran Lhoksukon 17 Juni 1968 ini memang sudah sangat akrab dengan seni bertutur. Keluarganya khususnya sang ayah, sering mempraktikkannya sehingga begitu membekas di hatinya.

“Tapi mereka bukan seniman. Saya berasal dari kampung jadi sangat familiar dengan hiem, guree di tempat mengaji saya dulu kalau sudah jenuh dia mengajar juga sering menantang kami dengan hiem, jadi semangat belajar kita pun terpacu,” katanya saat berbincang dengan ATJEHPOST.co, Minggu 19 Oktober 2014.

Pemilik warung kopi Jambo Apa Kaoy itu pun lantas membacakan sepotong hiem.Bak pisang saboh lampoeh, sibak takoh mandum putoh,” tuturnya. Hiem ini menggambarkan tentang peran seorang imam dalam melaksanakan salat berjamaah. “Jadi meunye imam sujud makmum pih ikot sujud. Sibak takoh putoh mandum,” katanya.

Hiem katanya berbeda dengan pantun. Bukan pula teka-teki. Menurut pria yang mulai masuk ke dunia seni sejak kelas dua SMA ini, belum ada padanan kata yang tepat untuk menggambarkan hiem dalam bahasa Indonesia. Bahkan orang Aceh sendiri pun banyak yang tidak bisa membedakan antara hiem dengan panton atau dengan jenis seni tutur lainnya.

“Saya fokus ke hiem sejak tahun 1990-an, setiap saya bepergian ke daerah-daerah di seluruh Aceh saya selalu menemui orang-orang tua untuk berdiskusi mengenai hiem ini,” katanya.

Hiem lahir dari kebiasaan mengobrol sehari-hari masyarakat Aceh. Isinya bisa saja tentang petuah-petuah, candaan bahkan hal-hal yang  berbau vulgar sekalipun. Hiem berkembang di seluruh daerah di Aceh, namun kebiasaan ini menurutnya sangat kental di Aceh Utara. Hingga kini masyarakat di sana masih menggunakan hiem dalam kebiasaan berbicara sehari-hari, termasuk di kalangan anak muda.

Karena kelihaiannya dalam menulis pula, Apa Kaoy selalu mendokumentasikan hiem-hiem hasil karyanya. Lebih kurang ada sekitar lima ratus judul hiem yang saat ini terdokumentasikan dengan baik. Semua karya yang ia hasilkan umumnya merupakan kritik sosial yang menjadi cerminan jeritan hati masyarakat.

“Kita ini orang warung kopi jadi banyak yang kita lihat, sering kita dengar keluhan-keluhan masyarakat jadi hiem ini bisa menjadi sarana untuk menyuarakan suara rakyat,” katanya.

Dengan hiem pula ia bisa mengkritik sesuatu secara langsung. Tapi orang atau lembaga yang dikritiknya tidak bisa marah atau protes secara langsung. Ciri khas tulisannya pun selalu menggambarkan diskusi yang terjadi di warung kopi. Mencerminkan budaya masyarakat Aceh yang gemar nongkrong di warung kopi.

Contoh lain hiem yang sering kita dengar di kalangan anak muda adalah “meunye hanjeut ku chet ngen reunong buloh, ku dong beu jioh ku peupoe geulawa”. Makna dari hiem ini kata Apa Kaoy bisa diartikan dengan cinta ditolak dukun bertindak.

Ada juga sebuah hiem yang menggambarkan karakter seorang koruptor seperti "na si peu-peu peuneujuet Tuhan, babah jih na punggong jih tan, eumpeun jikuran beun jih ubeut raya". Binatang itu adalah bubrang alias berang-berang yang tergolong sebagai hewan rakus.

"Seni tutur ada sejak Aceh ini ada," kata pria yang memiliki nama asli Muhammad Yusuf ini. Lalu darimana nama Apa Kaoy ini berasal? "Oh, kalau itu dulu ibu saya sering meukaoy (nazar), nama ini bermula dari sebutan keponakan-keponakan saya. Karena banyak Apa (paman) dipanggillah saya Apa Kaoy," ujarnya.

Berkat kepiawaiannya dan dedikasinya itu Apa Kaoy bersama dua seniman tutur Aceh lainnya akan tampil di Singapura pada 25-26 Oktober 2014 ini.[]

Editor: Ihan Nurdin

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Mulia Mardi, Yatim Piatu Tsunami yang…

Peuratoh Muda Aceh 'Ngamen' di Titik…

Peuratoh Muda Aceh Hibur Masyarakat Jogja…

Masyarakat Banda Aceh Dilatih Seni Tutur…

Ini Dia Jenis Seni Tutur yang…

HEADLINE

Dosen Ubudiyah Ini Lolos ke Asia Summer Program 2014

AUTHOR