31 March 2015

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu (kiri) meletakan karangan bunga di dampingi putra almarhum Usmar Ismail | Foto: ANTARA
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu (kiri) meletakan karangan bunga di dampingi putra almarhum Usmar Ismail | Foto: ANTARA
gaminong
Apa Kabar Film Indonesia?
Irman I. Pangeran
31 March 2014 - 13:12 pm
Pada tahun 2013 jumlah produksi film layar lebar Indonesia mencapai 106 judul film. Jumlah itu merupakan yang tertinggi selama ini.

30 MARET 2014, diperingati sebagai Hari Film Nasional atau HFN ke-64. Salah satu dari serangkaian kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) memperingati HFN kali ini, ziarah makam Usmar Ismail di Jakarta, kemarin, Sabtu.

Usmar Ismail merupakan sutradara film Darah dan Doa, film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film tersebut. Itu sebabnya, insan perfilman Tanah Air memperingati HFN setiap 30 Maret, setelah keluar Keputusan Presiden RI Nomor 25/1999 tentang HFN. Pertimbangan lainnya, Darah dan Doa film pertama yang disutradarai orang Indonesia asli dan juga diproduksi perusahaan film milik orang Indonesia asli: Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Usmar Ismail pendiri Perfini.

Film Darah dan Doa yang juga berjudul The Long March of  Siliwangi, mengisahkan perjalanan panjang prajurit Divisi Siliwangi RI.  Prajurit tersebut diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil atau Agresi Militer Belanda.

Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kepten Sudarto (Del Juzar). Perjalanan itu diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh. Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan sebagai pahlawan, tetapi manusia biasa.

***

Setengah abad sebelum dibuat film Darah dan Doa, di daerah Tanah Abang, Batavia, sudah berdiri bioskop Gambar Idoep. Bioskop pertama itu didirikan pada 5 Desember 1990 dan menjadi era awal perfilman Indonesia yang ketika itu masih Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Bioskop Gambar Idoep menayangkan berbagai film bisu.

Film pertama ialah film bisu tahun 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng dibuat sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Pembuatan film ini didukung aktor lokal dan Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kali pada 31 Desember 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai menggarap film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan The Teng Chun dalam film perdananya Bunga Roos dari Tjikembang (1931), akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film lain pada saat itu, di antaranya film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesie Malaise (1931).

Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film itu.

Lantaran latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini tidak mengundang daya tarik bagi penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut.

Balink tidak menyerah. Ia kembali membuat perusahaan film ANIF (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat) dibantu Wong Bersaudara dan seorang wartawan pribumi, Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi film Terang Boelan (1934) dan berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan luas dari kalangan penonton kelas bawah.

Beranjak ke periode 1942-1949, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran di bioskop dibatasi untuk film-film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya.

Kondisi tersebut mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup para artis sehingga mereka terpaksa naik panggung sandiwara. Kemudian didirikan sebuah kumpulan sandiwara amatir, di dalamnya bernaung beberapa seniman terpelajar di bawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.

Era 1980-an, perfilman Indonesia menjadi raja di Tanah Air ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Sempat mati suri pada 1991-1998 akibat pesatnya perkembangan televisi swasta dan munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru, dunia perfilman Indonesia kemudian kembali bangkit. Kebangkitan ini tampak dari pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan.

Festival Film Indonesia juga kembali digelar sejak tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.

***

Memeriahkan HFN ke-64, Perpustakaan Nasional memutar sembilan film Indonesia dari masa ke masa. Film-film yang diputar di ruang audio Perpustakaan Nasional tersebut yaitu Tjoet Nja’ Dhien yang dirilis pada 1986, Harimau Tjampa (1953), Laskar Pelangi (2008), Lewat Djam Malam (1954), Bidadari Bidadari Surga (2013), Salah Asuhan (1972), Malaikat Tanpa Sayap (2012), Fatahillah (1997) dan Batas Antara Keinginan dan Kenyataan (2011).

Sementara Kemenparekraf dan BPI menggelar roadshow, orasi sinema, diskusi film, ziarah makam, dan pelatihan akting hingga 4 April 2014 di sejumlah kota besar di Pulau Jawa. Malam puncak memperingati HFN diisi pula dengan pemutaran film Darah dan Doa hasil restorasi, di Djakarta Theater, 1 April 2014.

Rangkaian acara itu untuk mengenang dan memaknai heroisme, merayakan bebebasan berkreasi, dan mengingat betapa pentingnya integritas dalam perfilman Indonesia. “Semangat semacam itulah yang kita harapkan terus dipelihara oleh seluruh insan perfilman Indonesia saat ini,” ujar Ketua Badan Perfilman Indonesia Alex Komang di Jakarta, Rabu lalu. 

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mengajak seluruh insan dan pemangku kepentingan perfilman Indonesia menjadikan HFN sebagai momentum untuk bersama-sama merefleksikan apa yang telah dicapai dalam 64 tahun. “Kita harus mengampanyekan bagaimana kita bangga dan 100 persen cinta film Indonesia,” katanya. 

Mari Elka Pangestu menilai, dari segi kuantitas, film Indonesia telah mengalami banyak kemajuan, terutama era pascareformasi. Pada tahun 2013 jumlah produksi film layar lebar Indonesia mencapai 106 judul film. Jumlah itu merupakan yang tertinggi selama ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik, bersama video dan fotografi, kontribusi industri film terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)  mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Tahun 2013, bidang usaha industri film, video dan fotografi memberikan kontribusi Rp8,4 triliun atau naik sekitar 13,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya sekitar Rp7,4 triliun.

Sebagai salah satu kementerian yang membidangi film, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mencetak blue print (cetak biru) untuk menyusun pembangunan perfilman. “Karena membangun industri film itu tidak bisa jangka pendek, tapi jangka panjang,” kata Plt. Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Kacung Marijan.

Kacung mengakui pemerintah belum maksimal menyediakan fasilitas dan regulasi dalam pengembangan perfilman. Itu sebabnya, ia minta bantuan Badan Perfilman Indonesia untuk sama-sama menyusun blue print guna membangun perfilman Indonesia ke depan.

Kemendikbud, kata dia, terus berupaya menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap film Indonesia. Salah satunya melalui kurikulum seni dan budaya di mana film termasuk di dalamnya. Kemendikbud juga mendorong pembuatan laboratorium film di sekolah. “Kita targetkan tiap kabupaten ada lima sekolah yang punya laboratorium film,” ujar Kacung.

Mendikbud Mohammad Nuh ingin menjadikan kementerian ini sebagai rumah besar insan film Indonesia. Pertama, kata dia, harus ada pengkaderan insan film melalui pendidikan yang sifatnya formal maupun informal. Kedua, harus ada pihak yang bisa mengayomi para insan film. Kemendikbud dan Kemenparekraf bertekad menjadi rumah besar yang bisa mengayomi semua insan film Indonesia.

Kemudian, kata Nuh, harus ada bentuk promosi terhadap produk-produk film, sekaligus pengkonversian produk film menjadi produk yang memiliki fungsi kesejahteraan. Film juga memiliki fungsi pencerahan dan pemberdayaan. “Melalui film kita bisa berdayakan seluruh potensi masyarakat untuk membangun Indonesia dan menumbuhkan nasionalisme kita,”  ujarnya.

***

Film berfungsi pula sebagai media dakwah dengan mengangkat cerita keteladanan dan sejarah perjuangan para pejuang Tanah Air. Misalnya, film Tjoet Nja’ Dhien yang dirilis tahun 1988, dan film Sang Kiai (2013).

Film Tjoet Nja’ Dhien yang disutradarai Eros Djarot memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1988. Film yang mengangkat kisah perjuangan gigih seorang wanita Aceh, Tjoet Nja’ Dhien melawan penjajah Belanda, ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes tahun 1989.

Sementara film Sang Kiai mengangkat kisah seorang pejuang kemerdekaan sekaligus salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dari Jombang, Jawa Timur, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asyari. FFI 2013 mendapuk film ini sebagai film terbaik.

Potensi lainnya yang dimiliki Indonesia untuk mengembangkan perfilman adalah kearifan lokal berbagai daerah. Itu sebabnya, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Mukhlis PaEni menilai penting adanya kesadaran atau gerakan yang mencoba melihat kembali budaya lokal sehingga dapat memberi nilai tambah.

“Kepercayaan dan kebanggaan akan khazanah penceritaan yang kita miliki, dan sekarang banyak di layar lebarkan, harus lebih dikembangkan lagi karena khazanah penceritaan seperti ini adalah harta dan kekayaan budaya yang tak ada habisnya,” tulis Mukhlis PaEni dalam salah satu catatannya.

Tantangan utama, kata Mukhlis PaEni, tema dan penceritaan harus memperoleh sentuhan intelektualitas yang inovatif dan kreativitas yang bertanggung jawab. Hanya dengan itu, Industri Film Indonesia bisa menjelma menjadi  sebuah Raksasa Industri Budaya yang dapat memberi kesejateraan  secara ekonomi kepada banyak orang, tanpa harus kehilangan harga diri.[]

Sumber: wikipedia.org/antaranews.com/republika.co.id, dan sumber lainnya

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Tema Aceh Documentary Competition 2015 Diluncurkan

Begini Kisah Buloeh Perindu yang Akan…

Kasga Record Akan Produksi Film Buloeh…

Walah, Ribuan Warga Demo Gara-gara Film…

Pemutaran Film Shah Rukh Khan Dihentikan…

HEADLINE

AUTHOR