01 April 2015

Elang Ular Bido (Spilornis cheela) | Foto: Syafrizaldi/National Geographic
Elang Ular Bido (Spilornis cheela) | Foto: Syafrizaldi/National Geographic
lingkungan
Penghuni Kanopi Krueng Sabee
nationalgeographic.com
07 June 2014 - 19:50 pm
Berbagai jenis burung menarik beterbangan sepanjang rute perjalanan di wilayah Krueng Sabee, Aceh Jaya.

SEEKOR elang ular bido (Spilornis cheela) melintas di udara, di atas ladang yang terlihat bekas terbakar. Saya harus menghentikan mobil untuk memantau ke mana perginya si burung elang. Elang itu menuju kawasan hutan tepat di belakang ladang itu.

Saya sudah satu jam meninggalkan kota Calang, Aceh Jaya, ke arah selatan. Jalanan aspal sudah jauh tertinggal di belakang. Di depan, terlihat gugusan perbukitan yang tiada putus. 

Sinar matahari masih samar, kabut pagi masih menutupi sebagian besar wilayah perbukitan ketika saya harus turun dari mobil lantaran jalan semakin menyempit. Perjalanan hari itu harus saya lanjutkan dengan berjalan kaki. Tanah yang berlumpur tidak menyurutkan langkah agar dapat bertemu dengan burung-burung yang ada dalam kawasan hutan Krueng Sabee.

Dari kejauhan, suara burung kuaw terdengar memanggil.  Biasanya pagi-pagi kuaw jantan akan bersuara menandakan dia telah siap membereskan serasah, tempat dia membuat arena untuk kawin. Pengamat burung, Tedi Wahyudi memberi tahu saya bahwa suara itu kerap terdengar pagi hingga menjelang siang.

Burung jenis ini, kata Tedi, sulit dijumpai di alamnya. Mereka biasanya membangun sarang di semak-semak. Selain dari suaranya, kuaw biasa dikenali dengan serasah tempat mereka kawin. “Di arena ini, kita bisa lihat banyak sekali bulu-bulu mereka yang lepas,” kata Tedi.

Sayangnya, kami hanya bisa mendengar suaranya. Sulit menemukan kuaw langsung di alam karena mereka memiliki penciuman dan naluri yang tajam. Sedikit saja terganggu, kuaw akan lari menjauh. Setidaknya, suara kuaw menandakan bahwa jenis ini masih bertahan hidup.

Burung-burung lain mulai beterbangan di sekitar jalur yang kami lewati. Tak jarang kami berhenti untuk memantau lebih jauh lagi. Dua orang pemandu lapangan dari ranger komunitas Aceh Jaya sibuk membuka buku panduan pengamatan burung.

Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kemunculan sosok burung yang agak besar. Burung itu terbang tepat di depan jalur yang kami lewati. Saya dengan sigap mengabadikannya dengan kamera sebelum burung itu pergi jauh.

Tedi tersenyum, katanya itu burung Bubut besar (Centropus sinensi). Tak sulit menjumpai burung semak itu. Mereka biasa terbang rendah dan hinggap di pohon-pohon perdu untuk mencari serangga. Kami berjalan mengendap-endap, kalau penting maka kami bicara dengan berbisik-bisik. Berupaya agar kedatangan kami ke kawasan hutan itu tidak mengganggu keceriaan penghuninya.

Burung pertama yang kami perhatikan seksama dari keluarga bulbul, merbah corok corok (Pycnonotus simplex). ”Bentuk badannya yang agak kecil, di Sumatera umumnya jenis ini bermata putih sementara di Kalimantan warna matanya condong merah. Di Jawa, jenis ini hanya ditemui di beberapa tempat. Bahkan di pulau Bali malah tidak ditemukan sama sekali,” bisik Tedi.

Menurut Tedi, jenis ini merupakan jenis yang paling sedikit mendapat perhatian. Tidak banyak pemerhati burung di dunia yang memerhatikan jenis ini. Selain jumlahnya masih banyak, burung ini kerap dijumpai pada hutan dataran rendah di bawah 500 meter dari permukaan laut.

Jenis-jenis lain muncul bersamaan. Kadang kami sulit menentukan arah kamera karena mereka hinggap dan terbang tak terkendali. Sementara kedua orang ranger komunitas yang memandu kami terus mengintai teropong binokular.

Beberapa jenis bewarna menarik muncul. Pada sebuah pohon yang patah, seeokor Takur tutut (Megalaima rafflesi) tengah sibuk mandi. Kepala hanya muncul sesekali. Kami mengintipnya di balik teropong dan kamera.

Di ranting yang lain, kami memerhatikan sepasang Kirik kirik biru (Merops viridis) sedang mengintai makanannya. Serangga seperti lalat berukuran besar membuat sarang di pohon tempat mereka hinggap.

Di ranting yang lain, Cirik cirik kumbang (Nyctyornis amictus) sudah lebih dahulu menangkap seeokor lalat, burung itu makan dengan lahap.

Hampir dua jam kami mengendap-endap ketika seekor Kucica kampung (Copsychus saularis) berkicau lantang di ranting sebuah pohon. Suaranya keras hingga kami harus berhenti sejenak. Burung itu, kata Tedi mulai jarang ditemui karena penangkapan besar-besaran.

Burung dari jenis jalak-jalakan dan merbah jamak dijumpai sepanjang rute perjalanan itu. Suara-suara merdu dari kicauan unggas ini menemani perjalanan kami. Kelelahan terobati dengan pertemuan demi pertemuan dengan penghuni dunia atas hutan Krueng Sabee. Seekor Merbah cerukcuk (Pignonotus goiavier) menunggu pasangannya pada pohon perdu yang memiliki buah kecil bewarna oranye.

Menjelang siang kami beristirahat. Di kejauhan, tampak burung rangkong terbang berduaan. Jenis ini merupakan jenis paling besar di antara jenis burung yang kami temui.

“Julang emas,” kata Tedi hampir berteriak. Dia kegirangan demi melihat sepasang makhluk cantik itu.  Melalui teropongnya, Tedi mengatakan rangkong julang emas (Aceros undulatus) jantan memiliki kantung leher yang kuning tanpa bulu, sementara kantung leher betinanya bewarna biru.

Menurut Tedi, jenis ini memang sering terbang berpasangan atau dalam kelompok kecil.  Kami tidak punya kesempatan banyak mengabadikan jenis ini, mereka menghilang di balik punggungan bukit.

Tak lama berselang, rangkong dari jenis kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus) mendarat pada pohon besar agak jauh dari tempat kami beristirahat. Kami menunggu sembari mengarahkan teropong dan kamera ke arahnya. Burung itu bergeming, tetap di tempatnya.

Lama kami menunggu, lebih setengah jam berlalu. Akhirnya dia terbang ke pohon lainnya. Kami bergerak pelan, mecoba sedekat mungkin dengan tempat bertengger si rangkong.

“Seperti jenis rangkong lainnya, jenis ini menggunakan lubang pada pohon besar untuk bersarang. Jantannya biasa mencari makanan untuk diberikan kepada betina yang dia tinggal didalam sarang. Biasanya, kalau betinga mengeram telur, jantan akan menutup lubang sarang dengan lumpur sehingga menyisakan lubang untuk menjulurkan paruh besar betinanya,” papar Tedi.

Saya bertemu Wild Life Monitoring Officer Fauna&Flora International (FFI) di Aceh, Radinal, setelah pengamatan burung dilakukan. Dia mengatakan burung merupakan indikator ekologis untuk kesehatan hutan.

“Semakin banyak jenis burung di satu wilayah hutan, maka akan semakin sehat kondisi hutan tersebut,” katanya.

Burung, kata Radinal, memiliki peranan penting dalam ekosistem.

Jenis ini berperan dalam penyebaran biji-bijian hutan. Dengan adanya burung, maka anakan pohon akan tetap tumbuh menggantikan pohon-pohon yang sudah lapuk dan mati. Bahkan ada yang berfungsi untuk mempercepat proses penyerbukan, yang menjamin kesinambungan genetika tutupan hutan. Selain itu, burung juga menjadi bagian dari rantai makanan.

Kawasan hutan Krueng Sabee merupakan satu kesatuan kawasan hutan yang tidak terputus dengan kawasan hutan lainnya di Aceh bagian utara.

Kawasan ini merupakan kawasan lindung dan biasanya kami sebut sebagai kawasan hutan Ulu Masen. Dari hasil pengamatan kamera pengintai tersembunyi, kami mencatat setidaknya ada 18 jenis burung dilindungi yang tersebar di Ulu Masen. Krueng Sabee hanya bagian kecil dari bentangan ekosistem Ulu Masen.

Pengamatan kami terhenti ketika suara deru sepeda motor menyambar isi hutan menjelang siang itu. Seorang pengendara motor datang dari belakang. Pengendara itu mengingatkan agar kami tidak terlalu jauh masuk ke dalam kawasan hutan.

“Di dalam banyak lubang tambang. Ada yang masih aktif, ada pula yang sudah tidak digunakan. Salah-salah, kalian bisa terperosok ke dalam lubang,” katanya.

Pengendara itu, Zulkifli (56), sudah bertahun-tahun tinggal di wilayah desa dekat Krueng Sabee. Kehidupan sebagai penambang sudah dilakoninya selama hampir lima tahun belakangan.

Kami mempersilahkan Zulkifli bergabung dalam istirahat menjelang siang itu. Dia menceritakan, kegiatan pertambangan emas gencar dilakukan setelah Tsunami tahun 2004.  Apa lagi setelah penandatanganan perjanjian damai di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia pada 2005.

“Banyak orang tidak bekerja. Satu-satunya jalan termudah, membuka lahan atau pergi menambang,” katanya.

Tambang emas, menurut Zulkifli, memang sudah ada sejak zaman dulu. Tapi sepuluh tahun terakhir menjadi marak kembali lantaran dibiarkan begitu saja.

Hutan dibuka guna mencari sumber-sumber emas baru. Jalan yang kami lalui pun sesungguhnya adalah jalan yang biasa digunakan para petambang.

“Saya tahu bahwa pembukaan tambang dan areal pertanian baru akan menggangu kelestarian alam.  Tapi kami butuh makan, anak-anak perlu biaya sekolah.  Satu-satunya yang terdekat adalah kawasan hutan yang dekat dengan perkampungan,” papar Zulkifli.

Dia juga sangat paham 30 hingga 40 tahun kedepan generasi di desa-desa sekitar lokasi tambang akan terkena dampak mercuri atau air raksa. “Mungkin itu anak atau cucu saya.  Pasti akan terkena penyakit, setidaknya penyakit kulit, kanker, bahkan mungkin tidak mendapat keturunan lagi,” imbuhnya.

Zulkifli meninggalkan kami dengan perasaan campur aduk.  Satu sisi, miris melihat kenyataan kehidupan yang dia lalui.

Sementara di sisi lain, perlu upaya untuk mempertahankan fungsi ekosistem agar tetap dapat dimanfaatkan secara terus-menerus.[] sumber: nationalgeographic.co.id

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Peneliti Flu Burung Dikukuhkan Menjadi Guru…

Mengapa Burung Tidak Mempunyai Gigi?

Hakikat Makna Burung Phoenix dalam Tradisi…

Pelajar di Aceh Temukan Rangka Paruh…

Burung Udang Merah Sangihe Terancam Punah

HEADLINE

Alumni Unsyiah Raih Nobel Goldman Environmental Prize

AUTHOR