24 March 2015

Masjid Raya Baiturrahman salah satu land mark Aceh @National Geographic/James L. Stanfield
Masjid Raya Baiturrahman salah satu land mark Aceh @National Geographic/James L. Stanfield
saleum
Ini Aceh Punya Kawan!
Murthalamuddin
21 September 2014 - 12:20 pm
Di Aceh, orang yang dihujat dan dihina jarang membalas atau mengambil tindakan hukum. Ini yang membedakan Aceh dengan Jogja

Atas nama idealisme, Aceh saling menghujat. Bagaimana membangun gerakan sipil Aceh jika masih saling menyekat blok pertemanan. Jika tak sanggup menang, jangan ratapi kekalahan dengan kedengkian.

Inilah kisah tiga pengalaman yang coba saya utarakan. Tapi ini bukan untuk menggeneralisir atau menjustifikasi, hanya mencoba mengetengahkan bahwa sekat-sekat itu masih sangat tebal untuk dilewati.

Suatu ketika, seorang teman mengajak saya makan di sebuah tempat special di Aceh Besar. Saya iyakan ajakan teman aktivis itu, sambil berkata bahwa saya akan mengajak beberapa kawan lainnya.

Nah persoalannya ketika si A saya ajak dengan mengatakan saya juga mengajak si B dan C. Langsung ada penolakan si B menolak ikut kalau si C ikut serta. Begitu juga si A menolak kalau si B ikut. 

Begitu kira kira analoginya.

Itu juga terjadi ketika saya menjawab tudingan pendemo selaku Humas Pemerintah Aceh. Seorang orator di demo itu memaki-maki pribadi saya via BBM.

Dalam Minggu itu, saya terkejut ketika membuka media sosial dengan arus informasi bagaimana marahnya warga Jogja dalam kasus penghinaan Florence Sihombing. Padahal untuk ukuran Aceh penghinaan itu belum apa-apanya.

Pada kesempatan lain, saya mewakili Pemerintah Aceh menerima delegasi 2014 senior jurnalis seminar. Mereka wartawan senior dari media media besar dunia  seperti Huffington Post, The Guardian dll, dari 10 negara terdiri 16 peserta. Saya orang kedua terakhir dijumpai setelah beberapa elementer sipil lain di Aceh.

Pertanyaan para tamu asing tersebut aneh untuk ukuran saya. Karena cenderung negatif dan beberapa di antaranya menyebut bahwa pertanyaan itu berasal dari sumber yang mereka temui sebelum saya.

Dari tiga pengalaman itu benar-benar secara pribadi saya berkesimpulan ada sesuatu yang aneh dan tidak normal di kalangan orang-orang terpelajar di Aceh.

Saya jadi teringat pernyataan Juanda Jamal Sekjen Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) bahwa dalam sebuah penelitian disimpulkan bahwa 60% pria di Aceh pernah kena benturan di kepala. Umumnya akibat perang. Apakah ini salah satu penyebabnya sehingga banyak orang di Aceh terlalu negatif menilai sesuatu?

Pengalaman pertama di atas bagi saya bermakna bahwa perbedaan cara pandang, profesi dan komunitas kemudian menjadi perseteruan pribadi bahkan merusak silaturahmi. Kasus ini bukan pertama kali saya alami tapi berkali-kali. Pertanyaannya apakah seharusnya begitu? Apakah karena perbedaan-perbedaan itu harus merusak hubungan personal sesama kita padahal pasti sudah pernah berinteraksi dan saling kenal dengan baik.

Dalam pemahaman saya perbedaan itu tidak perlu sampai tidak mau lagi bertatap muka. Atau saling menyerang pribadi sehingga "meu-euncit tapak" jangan dilihat lagi. Konon lagi bila kita adalah orang-orang terpelajar dan dengan status sosial yang lumayan baik. Kenapa harus kehilangan teman. Kenapa kita harus menciptakan ketidaknyamanan terhadap diri kita sendiri. Konon lagi bila kita mengaku manusia yang demokratis dan egaliter, tingkah laku seperti ini sangat tidak patut.

Pengalaman kedua membuka ruang berpikir saya bahwa orang Jogja itu sopan dan tidak suka menghina atau berkata kasar. Untuk ukuran Aceh, penghinaan Florence atau makian itu tidak ada apa apanya. Lihatlah di media media sosial atau perbincangan di warung kopi atau komunitas lainnya. Caci maki, hina menghina sampai "santék gas". Artinya semua kosa kata atau kalimat makian keluar dengan lugas dan "hana rem".

Bukan hanya untuk bangsa lain atau suku lain. Sesama Aceh pun lebih parah. Ada orang Aceh yang amat bahagia bila menemukan padanan kata penghinaan kepada tokoh atau lawannya. Pelakunya juga kalangan terpelajar dan melek teknologi. Mereka yang kena penyakit ini bahkan punya akun palsu di media sosial semisal Facebook dan Twitter. Melalui akun palsunya mereka menghujat.

Positifnya di Aceh, mereka yang dihujat atau dihina sangat jarang membalas atau mengambil tindakan hukum. Ini yang membedakan Aceh dengan Jogja. Di Jogja sebuah hinaan selemah itu membuat masyarakat dan tokoh-tokoh di sana meradang. Bahkan Florence ditahan polisi. Bisa Anda bayangkan bagaimana hukuman batin yang harus diterima Florence.

Nah, kenapa di Aceh begini? Siapa lebih baik masyarakat Aceh dibanding Jogja. Siapa yang lebih beradab kedua masyarakat ini. Siapa yang lebih Islami. Siapa yang lebih menghargai. Siapa yang lebih membela?

Pengalaman ketiga dengan pewarta asing memberi saya pemahaman bahwa sejumlah tokoh atau kaum terpelajar Aceh tidak bisa membedakan antara perbedaan antar manusia dengan " Aceh" sebagai negeri yang kita cintai. Negeri nenek moyang kita. Negeri tumpah darah kita. Negeri di mana orang orang di luar menyebut kita dengan identitas "Aceh".

Kenapa saya menyatakan begitu karena sejumlah orang luar yang datang ke kami untuk melihat Aceh atau mencari data ke Aceh mendapat masukan dan pertanyaan ke kami yang hampir sama. Mereka juga mengaku sudah bertemu dan mendapat cerita-cerita itu dari non Pemerintah. Pertanyaannya selalu soal negatif dan imej yang terkesan disengaja untuk menunjukkan kejelekan Aceh. Seperti syariat Islam, partai penguasa dan korupsi.

Kesimpulannya pemberi masukan yang nyata-nyata adalah mereka yang berbeda dengan penguasa atau lawan politik. Yang menjadi keheranan saya mengapa harus menjelek-jelekan Aceh sebagai rumah bersama hanya karena perbedaan di antara penghuninya. Apa yang kita dapatkan dari semua itu? Apakah sebuah kepuasan batin harus dicapai dengan cara cara itu? Hal itu mungkin sedikit sekali terjadi di negeri orang. Ada apa dengan kita dan kaum terpelajar kita. Ada apa dengan tokoh kita?

Coba bayang betapa hebatnya Aceh kalau kita menjadi manusia yang demokratis. Berbeda tapi selalu punya sikap satu menyangkut Aceh dalam memberi pandangan positif bagi pihak lain. Aceh adalah rumah kita. Silahkan membenci rezimnya. Silakan tidak setuju dengan mayoritas pilihan rakyat. Silahkan Anda sesali kekalahan. Tapi jangan sampai tidak bisa membedakan Aceh dengan para pengelolanya dan orang-orang di dalaminya. Karena imej buruk itu akan kembali ke Anda juga, keluarga Anda, orang tua Anda, bahkan anak cucu Anda.[]

Editor: Ihan Nurdin

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Kebijakan Menteri Susi Lumpuhkan Aktivitas Nelayan…

Aceh Selatan Dilanda Hujan Debu

Bachtiar Aly Nilai Pemerintah Tidak Peduli…

Senin 9 Maret, Presiden Jokowi ke…

Setkab Aceh Utara; Perjalanan Dinas, Konsumsi…

HEADLINE

[SURAT]: Pemerintah Pusat Abaikan Kewajiban Perdamaian

AUTHOR

Tiroisme
Risman A Rachman