POLITISI PDI Perjuangan Aceh, Karimun Usman, sepakat jika Aceh memiliki bendera daerah seperti yang diminta selama ini. Menurutnya, bendera bukan sebuah hal mutlak apalagi cuma diatur dalam qanun yang bisa diubah kapan saja.
"Tapi jangan pasang benang basah. Artinya Gubernur Aceh tidak bisa mengultimatum presiden, ini kan negara demokrasi. Kalau itu yang dijual, dimana pun jika itu yang terjadi tidak akan sah-sah itu bendera," katanya kepada ATJEHPOST.co, Sabtu malam, 8 November 2014.
Ia mengatakan posisi bendera Aceh saat ini yang ditawarkan pemerintah daerah belum tentu selamanya akan dipakai. Pasalnya, menurut Karimun Usman, saat ini bendera Aceh yang ditawarkan lebih merujuk pada Partai Aceh karena di parlemen dikuasai oleh partai eks kombatan tersebut.
"Bagaimana kalau ke depan DPRA dikuasai mayoritas partai nasional, atau partai di luar Partai Aceh, kan bisa saja merubah itu bendera melalui qanun lain," katanya.
Ia menyayangkan sikap Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang kerap mengultimatum pemerintah Pusat terkait bendera dan qanun-qanun aturan turunan UUPA lainnya. Karimun juga mengatakan Gubernur Zaini telah dua kali melempar ultimatum tersebut yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan politik di Pusat.
"Pernyataan Gubernur Aceh jika Pusat tidak mengesahkan bendera akan kembali berperang, itu ultimatum. Tidak ada itu di negara demokrasi. Coba bayangkan, saat SBY menjadi presiden yang mendapat dukungan dari 90 persen lebih masyarakat Aceh, kan tidak dipenuhi. Nah kita (Jokowi) yang baru menjabat presiden gak bisa meminta banyak kalau seperti itu," ujarnya.
Karimun Usman juga mempertanyakan posisi dan nilai tawar politik Gubernur Zaini yang tidak pernah bisa berjumpa dengan presiden. "Coba bayangkan lah, seorang gubernur tidak bisa ketemu presiden, itu aneh. Sejatinya, PDI Perjuangan Aceh setuju adanya bendera. Klub sepakbola saja ada bendera, masak daerah tidak bisa. Tapi Gubernur jangan suka ultimatum-ultimatum," katanya.[]
Editor: Boy Nashruddin Agus