14 April 2015

saleum
Editorial
The Atjeh Post, Air, dan Api
Nurlis E. Meuko
18 December 2014 - 01:00 am
Api mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, tetapi api tetaplah api yang sama.

INI adalah penantian pergantian tahun. Dari 2014 menuju 2015. Ini bukan sekadar rutinitas yang selalu terjadi, melainkan juga menunjukkan sebuah kepastian bahwa perubahan itu ada.

Panta rhei kai uden menei. Satu kalimat pendek itulah yang diwariskan Herakleitos untuk dunia ini. Ia seorang filsuf yang hidup di abad ke-6 SM, tetapi ucapannya itu hingga kini masih layak menjadi renungan.

“Semuanya mengalir dan tak ada sesuatu pun yang tinggal tetap,” begitulah makna dari sepenggal ucapan filsuf di era filsafat kuno itu. Artinya, segala sesuatu di dunia ini pastilah berubah seperti sungai yang mengalir dan api yang membakar.

“Engkau tak akan dapat turun dua kali ke sungai yang sama,” begitu katanya. Sebab, airnya selalu bergerak sehingga tak seorang pun bisa menjejakkan kakinya ke dalam air yang sama di dalam sebuah sungai.

Sedangkan api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan segala sesuatu. Justru api adalah gerak dari perubahan itu sendiri. Api mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, tetapi api tetaplah api yang sama.

Itulah sebabnya, bagi kami perubahan adalah sebuah kewajiban. Jika kami tak melakukannya, sang waktulah yang akan mengubahnya.

Seperti yang dikatakan Albert Einsten --  ilmuwan terbesar abad ke-20 dengan teori relativitas -- bahwa waktu laksana cahaya di antara dua cermin. Memantul ke depan dan ke belakang, menghasilkan bayangan, melodi, pikiran dalam jumlah yang tak terhingga.

Secara bebas, kami menerjemahkan dan mengawinkan kalimat dua ilmuwan itu dalam satu bingkai kehidupan, bahwa perubahan itu pasti ada, dan cermin waktu itu adalah penuntunnya.

Melalui pantulan-pantulan cahaya dari segala penjuru, kami menemukan berbagai dimensi dan dinamika dalam sebuah perjalanan yang terlalui. Di antara begitu banyak persentuhan telah melahirkan nilai-nilai.

Bahwa memang jamak jika The Atjeh Post kadangkala menjadi bahan olok-olok, terkadang dinista dan ditentang, bahkan dirancang sebuah peti kematian. Namun, kami tak memandang sebagai sebuah keburukan ataupun kebaikan. Itu justru sebuah keadilan, seperti pertentangan antara siang dan malam yang menjadi sebuah irama kehidupan yang menyenangkan, mewujudkan harmoni dalam keseimbangan.

Kembali kepada makna perubahan, bahwa itu adalah sebuah kepastian yang bergerak seirama dengan detak jarum jam. Jika tidak menyadarinya, kita akan menjadi manusia berdetak untuk menjemput makanan, lalu tua dan mati.

Kehidupan seperti itu tak berbeda dengan semua makhluk hidup yang ada di dunia ini. Sebaliknya, kita sendiri sebagai manusia sejatinya juga mampu merancang perubahan agar kehidupan menjadi benar-benar hidup dan menjadi manusia yang benar-benar manusia.

Itulah sebabnya The Atjeh Post haruslah terus berubah agar benar-benar menjadi The Atjeh Post. Semua itu menjadi alasan mengapa dibutuhkan pemikiran dan pertimbangan yang dilakukan dengan sadar. Merancang sendiri perubahan dan tentu saja menyiapkan berbagai persiapan saat menuai risikonya.  

Kami tentu tak ingin perubahan yang terjadi pada The Atjeh Post hanyalah sekadar tuntutan zaman, atau tragedi tergerus waktu, sebuah ironi dari ada menjadi tiada. Kami ingin seperti air dan api yang becermin waktu. Bergerak dan membakar apa saja hingga berubah.[]

Editor: Nurlis E. Meuko

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

ATJEHPOST.co Pamit Untuk Selamanya

Teror Terhadap ATJEHPOST.co, IPPEMAS: Ini Memperkeruh…

Cerita Operasi Staf Ahli Gubernur Bungkam…

Ikatan Pelajar Aceh di Semarang: Semuanya…

Hadapi Teror, IPPAT: Kami dalam Barisan…

HEADLINE

Asam Keuéung Damai Aceh

AUTHOR

Aceh Hijau Untuk Dunia
atjehpost.co