21 March 2015

Cassanemo Resort di Sabang
Cassanemo Resort di Sabang
saleum
Insiden Cassanemo
Ketika Korban Kekerasan Justru Disudutkan Ramai-ramai
Yuswardi A. Suud
03 January 2015 - 18:00 pm
Para pendukung tindak kekerasan atas nama agama merasa wajar korban diperlakukan seperti itu lantaran melanggar syariat.

"Semoga mbak yang jadi korban di Sabang itu wktu ditangkep tetap make jilbab. Amien. Cut msh (masih) islam kan? Kjdian msh di Aceh kan?," tulis Ismi Laila Wisudana di Twitternya, pada 1 Januari 2015. 

Status itu dibuat mengomentari insiden pengusiran turis di Cassanemo Sabang pada malam pergantian tahun dari 2014 ke 2014. Dalam insiden itu, seorang gadis bernama Cut Tya Syahara mengaku menjadi korban tindak kekerasan. Ia mengatakan dirinya diinjak dan sempat disetrum. 

"Kak Inong yg thormat, msh ingt kasus Florence di Jogja? Jgn sampai wrga Aceh jd nuntut hanya krn kesaksian sblh sisi yg bikin nama Aceh jlk (jelek)," tambah Ismi Laila keesokan harinya. 

Tidak hanya Ismi Laila yang menyudutkan korban yang sesama perempuan. Seorang mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Moharriadi Syafari, alih-alih mengecam tindak kekerasan terhadap wisatawan, perempuan pula, ia malah mengatakan,"lembek kali orang Sabang..hehehe...Saya sedang memanas-manasi memprovokasi..hahaha... Sabang masih Aceh...sdh ada Qanun tentang Kepariwisataan Aceh. Kalau mau berbikini di dalam kamar dg suami sendiri...bilang sama turis jangan di depan anak2 kami." 

Status itu muncul di laman Facebook salah satu pentolan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aceh ini, mengomentari pemberitaan media ini yang berjudul "Benarkah Ada Anggota Dewan PKS Dibalik Insiden Casanemo Sabang?"

Masih banyak hujatan lain di media sosial seperti Facebook dan Twitter yang tidak berempati terhadap korban kekerasan. Yang terjadi malah tindak kekerasan seolah dibenarkan atas nama syariat. Setelah mengalami kekerasan fisik, Cut Tya harus mengalami kekerasan verbal. 

Di akun Twitternya, Cut Tya menulis,"Banyak yang menyalahkan nama saya. Embel-embel bangsawan. Saya ingin menjadi Cut yg bukan seperti kalian pikirkan. Terimakasih kalau cerdas." 

"Intinya begini, ada yang salah dengan orang yang mempergunakan suatu kebijakan dengan tindakan tidak manusiawi. Bukan soal Islam atau tidak," tambah Cut Tya. 

Awalnya sempat ada tuduhan Cut Tya sedang menebar fitnah. Namun, media ini menemukan kesaksian sejumlah turis seperti Ayin Azmi asal Malaysia dan Rob van der Meulen dari Belanda. 

Dalam kesaksiannya, Ayin Azmi mengatakan suasana malam itu menakutkan. Sejumlah pemuda kampung datang dengan senjata penyetrum yang disebutnya taser gun. (Baca: Turis Asal Malaysia: Malam Menakutkan di Casanemo Sabang)

Turis Belanda Rob van der Meulen dalam kesaksikannya setelah penyerangan itu mengatakan,"ada 18 orang muda menyerbu properti Casanemo pada pukul 00:20, 1 Januari 2015. Saya menyaksikan salah satu penyerang membuat video menggunakan tablet putih. Satu orang membawa Taser (atau stun gun) dan ditodongkan secara acak pada orang-orang untuk menakut-nakuti mereka sementara meneriakkan sesuatu seperti "tidak ada pesta untuk Muslim ". Lainnya berteriak pada kami "bangun, bangun!".

Dalam gelap, kata Rob, ia melihat lampu listrik biru dan mendengarkan suara dari senjata penyetrum seperti disebutkan dalam kesaksian Cut Tya. 

"Semua orang bergegas menaiki tangga menghindari penyerang. Para tamu panik, banyak sepatu atau sandal ditinggalkan di pantai."

Rob melanjutkan,"...saya melihat seorang gadis Indonesia tampak terguncang dan terluka sekitar 30 menit kemudian di restoran Casanemo. Dia menunjukkan kulit yang terbakar di punggung dan bahu dari sengatan listrik. Saya juga melihat foto yang dibuat oleh tamu lain di mana gadis itu terbaring di meja, rupanya dia tidak sadar atau sedang shock berat."

Rob mengatakan, ketika memutuskan ke Aceh, dia sangat senang dan memperhatikan aturan dan adat istiadat setempat termasuk dalam hal berpakaian, penggunaan alkohol, dan perilaku personal. Namun, tindakan polisi membuatnya bingung tentang kapasitas dan niat polisi untuk melindungi tamu dan wisatawan di Sabang. 

"Sementara saya telah memiliki pengalaman yang benar-benar hebat di Pulau Weh. Bertemu begitu banyak orang yang benar-benar ramah dan menikmati keindahan yang menakjubkan dari pulau itu. Saya harus mengakui saya keberatan merekomendasikan tempat ini kepada wisatawan lain setelah apa yang terjadi. Saya sangat sedih tentang hal ini mengingat pulau ini punya begitu banyak potensi," tutup Rob van der Meulen dalam sebuah postingan di forum wisata. 


***

Insiden ini jelas mencoreng citra Sabang. Seperti diakui oleh Wali Kota Sabang, Zulkifli M Adam, ia mendapat kabar para turis  menunda kunjungan ke Sabang gara-gara kasus itu. 

Menurut Wali Kota, manajemen Casanemo telah meminta izin untuk mengadakan acara di malam tahun baru. Ia pun mengingatkan manajemen Casanemo agar tidak melanggar syariat. 

Namun yang terjadi kemudian, seperti kata Kapolres Sabang AKBP Nurmeiningsih, insiden di pantai Casanemo dipicu akibat tidak meratanya pembagian uang parkir untuk pemuda setempat. 

"Saat itu ada sekitar 10-an pemuda yang meminta musik dihentikan, sebab berdasarkan hasil pantauan anggota saya di lapangan, faktor ini dipicu akibat tidak kebagian parkir," kata Nurmeiningsih.

Ia mengatakan, lantaran kesal, disebarlah isu adanya tarian telanjang di Casa Nemo. "Itu (tarian telanjang) fitnah besar sebab saat kejadian saya sedang di sana untuk melakukan pengamanan pergantian tahun," ujarnya.

Aroma adanya unsur persaingan bisnis juga diungkapkan seorang pelaku wisata Sabang yang mengomentari pemberitaan media ini di Facebooknya. 

***

Sabang di Pulau Weh sejatinya sudah lama akrab dengan dunia wisata. Pulau di ujung Sumatera itu dikenal menyimpan pesona bawah laut yang fantastis. Para penyelam dibuat terkagum-kagum. Itu sebabnya, Kementerian Pariwisata menetapkan Sabang sebagai salah satu tujuan wisata Indonesia. 

Perkara bikini seperti yang disindir oleh Moharriadi dari PKS itu, sudah lama akrab dengan orang Sabang. Itu pun hanya diizinkan di lokasi tertentu bagi turis asing, tidak untuk turis lokal. Bahkan, jika turun ke kampung pun turis-turis asing itu diwajibkan berbusana sopan. Jika pun mau dilarang, mestinya ada aturan main yang jelas sehingga turis bisa menyesuaikan diri sepert dikatakan Rob, turis Belanda itu. 

Namun, insiden kekerasan ini kemudian dibalut dengan isu syariat Islam. Para pendukung tindak kekerasan atas nama agama, seperti Ismi Laila, merasa wajar korban diperlakukan seperti itu lantaran melanggar syariat seperti tidak memakai jilbab. 

Padahal, jika itu perkaranya, Nabi Muhammad SAW pernah menunjukkan kepada kita bahwa kekerasan bukanlah solusi. Itu terjadi dalam Piagam Madinah. Dalam perjanjian ini, Rasulullah bahkan berdamai dengan Yahudi yang setia kepada Negara. Hak-haknya dijamin, dengan catatan sama-sama saling menjaga untuk hidup damai. (Baca: Piagam Madinah, Cara Rasulullah Hentikan Kekerasan)

Dalam konteks insiden Sabang, jika pun ada kaitannya dengan pelanggaran syariat, tidak ada aturan yang mengizinkan tindakan main hakim sendiri. Apalagi sampai membawa-bawa alat setrum segala. Kami berpendapat, kekerasan dalam bentuk apapun tetap tidak bisa ditolerir. Jika ada kesalahan, selesaikan lewat mekanisme yang berlaku, bukan main hakim sendiri. 

Aturan mainnya jelas: pelanggaran syariat adalah wewenang Wilayatul Hisbah. Itupun tidak boleh ada tindak kekerasan. Ini pernah diutarakan oleh Kepala Dinas Syariat Islam dalam kasus penyemprotan cat di celana seorang perempuan yang dinilai memakai celana ketat yang sesuai syariat di Aceh Utara. (Baca: Kadis Syariat Islam: WH Tidak Punya Wewenang Eksekusi Pelanggar di Lokasi)

Jika memang serius menjadikan Sabang sebagai tujuan wisata, mestinya kasus main hakim sendiri seperti ini tidak boleh terulang. Walikota Sabang mesti duduk dengan unsur Muspida, menegaskan komitmen bagaimana mengelola Sabang sebagai daerah tujuan wisata. 

Tanpa mengenyampingkan proses hukum yang diinginkan korban, pernyataan maaf dan upaya mencari solusi damai dari tetua di kampung itu patut kita apresiasi. Namun korban juga berhak meminta proses hukum karena persoalan sudah masuk ke ranah kriminal. Kasus ini juga sudah dilaporkan ke polisi oleh korban. 

Untuk mencegah kasus serupa terulang, langkah yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan membuat aturan tegas dan formal tentang pariwisata. Tetapkan secara terbuka apa boleh dan tidak boleh dilakukan para turis. Lalu, pajang aturan main itu di tempat-tempat terbuka dan bisa dibaca banyak orang. Jika perlu, bentuk polisi pariwisata untuk mengawasinya. Dengan begitu, kearifan lokal tetap terjaga, wisatawan pun nyaman. 

Kita berharap tindak kekerasan seperti dialami Cut Tya tidak terulang lagi. Yang dibutuhkannya hanya sedikit empati sebagai sesama manusia. Mahatma Gandhi, yang Hindu itu, semasa hidupnya pernah berkata,"akar kekerasan adalah: kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.[]

Editor: Yuswardi A. Suud

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

LBH Minta Pemko Sabang Segera Selesaikan…

Insiden Casanemo

LBH Tempuh Jalur Hukum Terkait Kasus…

Mediasi Insiden Casanemo Sabang Belum Capai…

Polres Sabang Hadirkan Warga yang Terlibat…

HEADLINE

Ada Masalah Lagi di Arun?

AUTHOR

Teumuntuk bak Uroe Raya
Safriandi A. Rosmanuddin