24 March 2015

@viva.co.id
@viva.co.id
saleum
100 Hari Kerja
[OPINI]: Jokowi Tidak Tegas, Stabilitas Negara Terancam
atjehpost.co
28 January 2015 - 10:45 am
Jokowi yang katanya merakyat, justru menjadi pemimpin yang tidak mendengar jeritan suara rakyat kecil

PEMERINTAHAN Joko Widodo-JK memasuki 100 hari masa kerja pada Rabu, 28 Januari 2015. Seperti halnya pemimpin di dunia, Jokowi-JK memiliki visi yang menjadi prioritas di masa awal pemerintahan mereka. Namun popularitas Jokowi yang semula dielu-elukan mendatangkan perubahan ke arah lebih baik justru menurun. Salah satu dasarnya adalah kebijakan pemangkasan subsidi bahan bakar minyak di tengah harga minyak dunia turun.

Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh, Darlis Aziz, S.Pd.I, S.I.Kom menjabarkan beberapa kinerja 100 hari Jokowi-JK yang dinilai jauh panggang dari api. Berikut kutipan lengkap surat KAMMI Aceh untuk 100 hari kerja Jokowi-JK:

#100 Hari Jokowi-JK :
“Ketidaktegasan Presiden Membawa kepada Instabilitas Negara”

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada hari ini Rabu, 28 Januari 2015 menjadi salah satu momentum bagi seluruh gerakan Mahasiswa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat untuk menyatakan suaranya atas kinerja 100 hari pemerintahan Jokowi-JK dan sudah seharusnya sebagai bagian dari rakyat yang diberikan kelebihan nalar intelektual, mahasiswa harus kembali mengingatkan akan sebuah kesadaran. Kesadaran akan pentingnya mengingatkan pemimpin untuk selalu mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan ataupun kepentingan-kepentingan lain yang justru menimbulkan dampak negatif terhadap Rakyat Indonesia.

Teringat oleh kita bahwa Presiden kita mempunyai beberapa visi yang kemudian menjadi prioritas kerja pemerintahan Jokowi. Sembilan agenda perubahan  yang disebut Nawa Cita, hal ini menunjukkan adanya komitmen dari pemerintah Jokowi-JK untuk membawa Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Namun seiring waktu berjalan , harapan Indonesia yang berdaulat, mandiri, berkepribadian itu mulai sirna.

Harapan itu mulai sirna setelah beberapa pekan pasca dilantik, presiden kita menaikkan harga BBM dengan alasan besarnya kerugian negara akibat subsidi untuk BBM. Padahal, kita ketahui bersama saat itu harga minyak dunia sedang turun drastis. Bahkan alasan jebolnya anggaran pemerintah tidak terbukti karena dasar kebijakan pemerintah adalah subsidi BBM termasuk dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membeli BBM dari hasil pengeboran Pertamina di Indonesia.

Banyak kalangan masyarakat kelas bawah berteriak menolak kenaikan harga BBM yang berdampak langsung pada kenaikan harga kebutuhan komoditi pokok, namun Jokowi tak bergeming. Jokowi yang katanya merakyat, justru menjadi pemimpin yang tidak mendengar jeritan suara rakyat kecil. Yang parah adalah ketika jatuh korban dari demonstran, Jokowi hanya berkomentar: itu #BukanUrusanSaya.

Walau kini harga BBM di turunkan, kembali jelas Pemerintah kita melakukan peminggiran ekonomi rakyat dengan kebijakannya menyerahkan harga BBM kepada mekanisme harga pasar dunia. Liberalisasi harga BBM yang dilakukan pemerintah akan menyebabkan semakin ekspansifnya SPBU asing masuk ke dalam negeri juga berdampak langsung pada SPBU lokal. Bahkan Hiswana Migas sudah mewanti-wanti dampak liberalisasi harga BBM ini. Menurut mereka, ada 5.300 SPBU lokal yang terancam kehilangan pelanggan karena pelepasan harga BBM ke pasar dunia cenderung menguntungkan SPBU asing.

Penentuan Harga BBM yang mengikuti harga pasar akan tetapi tidak diikuti dengan kontrol terhadap harga kebutuhan komoditi pokok justru akan memicu terjadinya ketidakpastian ekonomi. Sebagai contoh penurunan harga BBM beberapa waktu lalu ternyata tidak berdampak pada penurunan biaya transportasi umum dan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat.

Selain itu harga minyak mentah dunia penuh ketidakpastian, Pemerintahan Jokowi-JK bisa dibilang beruntung. Kebijakan liberalisasi harga BBM ini diambil saat harga minyak dunia sedang turun ke level terendahnya yang mencapai 55 dolar AS per barel. Bagaimana bila harga minyak mentah kembali di atas 80 dolar AS per barel? Kalau itu yang terjadi, harga Premium bisa jadi melewati Rp 10 ribu per liter. Kenaikan harga kebutuhan pokok, dan lain-lain akan meroket dan ini sangat rentan dampaknya terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah. [1]

Selanjutnya, kenaikan harga elpiji 12 kilogram beberapa waktu lalu sebesar Rp 1.500/kg atau Rp 18.000/kg,  semakin menambah beban  berat masyarakat khususnya pelaku UMKM yang bergerak di sektor perdagangan. Kenaikan harga elpiji ini telah menyebabkan terjadinya migrasi penggunaaan gas elpiji dari 12 kilogram ke 3 kilogram sehingga sempat muncul kelangkaan elpiji 3 kg di beberapa daerah.[2]

Belum lagi kita berbicara masalah aset Negara yang seharusnya bisa menjadi sumber kemakmuran Negara yang justru semakin “diserahkan” kepada asing. Sebagai contoh adalah kontrak karya PT Freeport Indonesia, yang semula berakhir pada 2021, menjadi lebih panjang lagi, yakni hingga tahun 2041.

Masalah hukum dan pemberantasan korupsi

Salah satu poin dalam visi dan platform kerja Presiden Jokowi yang termaktub dalam nawacita adalah masalah martabat bangsa dan penegakan hukum, disitu tertulis bahwa “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.”

Nampaknya hal ini akan menjadi hal sangat sulit untuk di wujudkan. Memang nawacita adalah gambaran umum terkait hal yang ingin dicapai Jokowi-Jk dalam masa lima tahun mereka menjabat. Namun hal itu sepertinya akan menjadi wacana saja ketika dalam seratus hari ini saja presiden Jokowi melakukan serangkaian kebijakan di bidang penegakan hukum yang justru jauh dari kata reformasi penegakan hukum.

Mulai dari pengangkatan Jaksa Agung yang jelas mempunyai hubungan dengan partai politik koalisi Jokowi, sampai dengan pengangkatan Kapolri dimana nama yang diajukan oleh presiden adalah seorang yang terindikasi mempunyai rekening tak wajar alias rekening gendut. Indikasi Calon Kapolri memiliki cacat terbukti pada tanggal 13 Januari 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan status tersangka Komjen Budi Gunawan atas dugaan suap dan gratifikasi saat menjadi kepala biro pembinaan karir Polri.

Hal ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Presiden Jokowi yang baru seumur jagung. Hingga saat ini belum ada keputusan lebih lanjut mengenai status pencalonan Komjen Budi Gunawan setelah mendapatkan label tersangka dari KPK. Hal menyedihkan ketika pada tanggal 15 Januari 2015 Dewan Perwakilan Rakyat juga memuluskan langkah Budi Gunawan menuju kursi Kapolri.

Belum selesai dengan masalah pecalonan Kapolri publik dikejutkan dengan kasus penangkapan Komisioner KPK oleh Bareskrim Mabes Polri pada tanggal 23 januari 2015. Bambang disangkakan dengan pasal 242 juncto pasal 55 KUHP tentang menyuruh saksi untuk memberikan keterangan palsu di depan sidang pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini kasus sengketa pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada 2010. Bambang terancam hukuman pidana sekitar 7 tahun penjara.

Hal ini membuat kisruh antara dua lembaga yakni KPK melawan Polri. Ada indikasi bahwa hal ini merupakan hal yang bertujuan untuk melemahkan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia, padahal jokowi pernah berjanji untuk menguatkan KPK.

Seharusnya presiden Jokowi harus bertindak tegas dalam masalah ini sebab jika berlarut-larut masalah ini dapat menghambat reformasi hukum di Negara Indonesia dan akan membawa Instabilitas dalam Negeri Indonesia. Namun pada dasarnya di dalam tubuh Kepolisian tidak semua anggotanya jujur dan bersih namun tidak juga KPK benar-benar bersih dengan campur tangan kepentingan politik partai politik, sehingga lagi-lagi kedua institusi ini harus ‘di bersihkan’.

Janji perampingan kabinet dan tidak ada transaksi politik dalam penentuan menteri dalam Kabinet hanya omong kosong. Pada kenyataanya jumlah menteri dan menteri korrdinator sama dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagi-bagi kursi menteri dengan partai pengusung dan pendukung jelas terlihat dengan komposisi menteri yang berimbang jumlah dari kalangan professional dengan titipan partai politik.

Hal ini menyebabkan presiden terkesan hanya memenuhi “balas budi” sehingga kecakapan dan profesionalitas para Menteri tak terlalu menjadi prioritas. Akibatnya, dalam seratus hari kepemimpinan Jokowi, kita tidak melihat kinerja kabinet kerja bentukan pemerintahan Jokowi-JK ini bekerja dengan maksimal.

Dari analisis yang disampaikan diatas kami dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Wilayah Aceh (KAMMI) Wilayah Aceh menuntut Presiden Jokowi untuk:

  1. Turunkan harga-harga kebutuhan komoditi pokok
  2. Batalkan kebijakan liberalisasi harga BBM
  3. Nasionalisasikan aset-aset penting bangsa yang berkaitan dengan kesejahteraan dan hajat hidup Rakyat Indonesia
  4. Tegas dalam upaya reformasi hukum dan pemberantasan korupsi, Bersihkan Institusi-institusi penegak hukum yang ada (Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan lain-lain) dari koruptor dan kepentingan partai politik manapun
  5. Pecat dan ganti menteri yang tidak berkompeten di bidangnya ataupun yang tidak memberikan kontribusi apapun dalam seratus hari pertama pemerintahan Kabinet Kerja.

Dan yang paling hakiki dari semua ini adalah bagaimana kami menginginkan presiden yang tegas, profesional, benar-benar pro rakyat dan tidak tunduk dari intervensi manapun, baik dari dalam maupun luar negeri.  Presiden yang berdiri diatas kaki sendiri, penyambung lidah rakyat dan bukan petugas partai semata.

Banda Aceh, 28 Januari 2015,

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Wialayah Aceh

Darlis Aziz, S.Pd.I.,S.I.Kom

[1] http://www.jawapos.com/baca/artikel/7619/Harga-BBM-Naik-Rp-3000-Per-Liter

[2] http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/12/30/nhdsou17-mencermati-kebijakan-bbm-2015

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

[OPINI]: Jokowi Tidak Tegas, Stabilitas Negara…

HEADLINE

Tak Ada 'Hati' untuk Daffa

AUTHOR

Gampông lam Klèk-Klok
Safriandi A. Rosmanuddin

Bunyi Bahasa Aceh II
Safriandi A. Rosmanuddin