GUBERNUR Aceh Zaini Abdullah menempatkan sejumlah keluarganya sebagai pengambil kebijakan di Pemerintahan Aceh. Sistem nepotisme ini dianggap buruk bagi pemerintahan dan dinilai rawan penyimpangan.

Bagaimana tanggapan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah Prof. Dr. Faisal A Rani, SH., M.Hum mengenai hal ini?

Faisal A. Rani, mengatakan permasalahan yang terjadi di instansi pemerintahan saat ini mencerminkan praktek nepotisme secara bertahap tapi dalam jangka panjang.

“Praktek nepotisme sebenarnya dilakukan oleh salah seorang pejabat nepotis yang merekrut saudara-saudara dari keluarga besarnya untuk menjadi pegawai di instansi tersebut. Namun yang harus ditekankan adalah, adanya asas professionalisme sehingga mampu menumbuhkembangkan sistem pemerintahan yang bersih dari KKN,” ujarnya kepada ATJEHPOST.co, saat ditemui di Kantor Dekan FH Unsyiah, di Banda Aceh, Kamis, 29 Januari 2015.

Pakar Tata Negara Unsyiah ini mengatakan nepotisme umumnya dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan jabatan dan kelanjutan kekuasaan. Prilaku nepotisme dilakukan untuk menjaga kesetiaan dan rasa takluk dari bawahan, dengan timbal balik mendapat kedudukan dan jabatan sebagai balas budi.

Menurutnya, Gubernur Zaini selaku pemegang kekuasaan seharusnya mampu mengubah pola pikirnya dalam membangun Aceh. Salah satu caranya adalah dengan mengedepankan perbaikan moral dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Prilaku nepotisme dapat terjadi karena ada sebagian orang hanya memikirkan sesaat, merebaknya paham materialisme, dan meningkatnya sikap hedonisme, serta lemahnya iman dan kurangnya kesadaran hukum. Jadi bisa dikatakan nepotisme itu dianggap sebagai jalan terbaik untuk mencapai tujuan ini,” ujarnya lagi.[]