01 April 2015

reusam
Dari Rimba Aceh ke Stockholm; Sebuah Catatan, Sebuah Perjuangan
atjehpost.co
30 January 2015 - 11:45 am
Keinginannya untuk bergabung bersama Aceh Merdeka setelah ia membaca buku 'Atjeh Bak Mata Donya' atau disebut “Aceh di Mata Dunia” karya Hasan Tiro.

“Dr. Husaini merupakan kiriman Tuhan untukku. Ia punya kesetiaan dan keteguhan yang luar biasa, itu nilai yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pejuang dan tentara sekelas Napoleon. Setiap kali saya memutuskan sesuatu, saya meminta pendapat Husaini. Ia mampu memberikan keputusan yang tepat dan mampu mencapai kesimpulan yang sama dengan apa yang saya putuskan. Husaini seperti istilah yang digunakan Nietzsche, layaknya seorang sahabat yang mampu memberikan solusi pada setiap masalah.” (The Price of Freedom, karya Hasan Tiro, halaman 26, edisi 1984.)

Dr. Husaini M. Hasan terlahir dari keluarga pejuang, ayahnya seorang panglima perang pada masa DI/TII yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureuh di Aceh. Keinginannya untuk bergabung bersama Aceh Merdeka setelah ia membaca buku “Atjeh Bak Mata Donya” atau disebut “Aceh di Mata Dunia” karya Hasan Tiro. (Baca: Buku Karangan Eks Sekretaris Negara Aceh Merdeka Diluncurkan di Jakarta)

Ia menjadi salah satu pejuang angkatan Aceh Merdeka-76 yang menyebarluaskan ideologi Aceh Merdeka sebagai bentuk penyadaran kepada masyarakat Aceh yang telah lama mengalami krisis identitas. Kehidupannya yang mapan sebagai seorang dokter di Mobil Oil Indonesia tidak serta merta menahan semangat juangnya, ia rela meninggalkan segala kesuksesan pribadi, dan keluarga tercinta demi sebuah perjuangan dan martabat rakyat Aceh saat itu.

Kemampuannya dalam banyak hal telah membuatnya menjadi teman diskusi yang sepadan dengan Tengku Hasan M. di Tiro selaku Wali Negara (Proklamator Aceh Merdeka). Seperti pernyataan Wali Negara sendiri dalam buku The Price of Freedom (edisi 1982 dan 1984). Kedekatannya dengan Wali Negara dalam ide dan pemikiran, menempatkan ia pada jabatan strategis seperti Menteri Pendidikan, Menteri Penerangan dan terakhir merangkap sebagai Sekretaris Negara Aceh Merdeka.

Selama tiga tahun, Dr. Husaini M. Hasan setia menemani Wali Negara di dalam rimba Aceh, dalam kondisi yang serba kekurangan dan penyerangan sewaktu-waktu dari pihak militer Indonesia saat itu membuat situasi dan keamanan mereka semakin terdesak. Untuk mengatasi hal tersebut, Wali Negara mengeluarkan surat pengangkatan kepada Dr. Husaini M. Hasan sebagai Ambassador Extraordinary And Minister Plenipotentiary yang bertugas melakukan diplomasi dan mencari bantuan ke luar negeri.

Setelah penyerangan militer RI ke asrama Puntjeuk, nyawa Wali Negara semakin terancam. Dr. Husaini M. Hasan menyarankan Wali Negara segera ke luar negeri untuk melakukan diplomasi, sekaligus menyembunyikan keberadaan Wali Negara. Saran yang brilliant dari Dr. Husaini inilah yang kemudian memanjangkan umur dari perjuangan Aceh Merdeka. Setelah Wali Negara berada di luar negeri tampuk pimpinan Aceh Merdeka saat itu dipegang oleh Dr. Mukhtar Yahya Hasbi, sahabat seperjuangan Dr. Husaini M. Hasan.

Berdasarkan hasil perundingan Majelis Menteri Kabinet Aceh Merdeka, maka Dr. Husaini M. Hasan diutus untuk mencari Wali Negara di luar  negeri (Saat itu Wali Negara berada di Maputo, Mozambique). Selama 8 bulan Dr. Husaini berkelana di Malaysia sebagai pendatang illegal, sampai akhirnya mendapat suaka Politik ke Swedia. Ia dan Shaiman Abdullah menjadi orang Aceh Merdeka pertama yang menginjakkan kaki di Swedia. Selama di Swedia-lah kemudian ia melakukan komunikasi, koordinasi dan membenahi kembali perjuangan Aceh Merdeka yang semakin terjepit dengan peraturan darurat militer yang ditetapkan Indonesia.

Selama di Swedia, Dr. Husaini bersama Wali Negara banyak melakukan diplomasi politik, termasuk mengadakan interview di VOA, BBC London, menjalin kerjasama dengan pemimpin RMS, OPM di Holland dan Swedia. Selain itu, ia juga melakukan penjajakan dengan HDC, bahkan bersama petinggi Aceh Merdeka di Swedia ia mendapat kesempatan untuk melakukan perundingan dengan Presiden Gus Dur di Singapura dalam hal penawaran “Islamic State of Atjeh” meski akhirnya pelaksanaannya tidak pernah terjadi karena masalah internal di tubuh GAM Swedia sendiri.

Perjalanan perjuangan Aceh Merdeka ini penuh liku, bahkan berakhir dengan perpecahan dalam tubuh  para petinggi Aceh Merdeka angkatan 76 hingga berlanjut pada generasi sekarang ini. Setelah 30 tahun lebih Dr. Husaini M. Hasan berada di luar negeri, mulai dari Malaysia, Swedia dan terakhir Brisbane, Australia, keinginan beliau untuk kembali ke tanah air semakin kuat. Rasa cinta dan keinginan untuk memberikan sumbangsih saran untuk kemakmuran Aceh masih terus berjaya  di hati beliau.

Keinginan kembali ke tanah kelahiran ini terus berkecamuk, apalagi melihat kondisi Aceh p[asca MoU Helsinki tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Banyak pihak yang masih tetap saling sikut, menuduh, demi sebuah jabatan dan kepentingan kelompok tertentu. Kondisi seperti inilah yang menghambat pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Sehingga, Dr. Husaini merasa perlu mengajak banyak pihak di Aceh, untuk melakukan rekonsiliasi konflik antara sesama Aceh, agar sama--sama memiliki satu tujuan bersama, perdamaian dan kesejahteraan untuk tanah dan rakyat Aceh.[]

Editor: Ihan Nurdin

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Dari Rimba Aceh ke Stockholm; Sebuah…

HEADLINE

Cerita Ribuan Merpati Hindari Kabah

AUTHOR

Gaza; Tentang Kota Tertua di Dunia
nationalgeographic.com