20 April 2015

Mahmudi Bin Harun alias Tuan Giok. Foto Irmansyah
Mahmudi Bin Harun alias Tuan Giok. Foto Irmansyah
profile
Tuan Giok Mantan GAM: Pokok Jih Bereh Giok Nyan...
Irman I. Pangeran
01 February 2015 - 20:45 pm
Banyak yang bertanya-tanya: bagaimana ceritanya mantan GAM itu sampai disebut Tuan Giok?

Di Lhokseumawe, ada mantan GAM yang akrab disapa Tuan Giok. Nama aslinya Mahmudi Bin Harun. Ia merupakan anggota DPRK Lhokseumawe dari Partai Aceh (PA) masa jabatan 2009-2014. Tuan Giok lahir dan besar di Gampong Ulee Jalan, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe.

Ketika bansigom Aceh dilanda demam giok sejak beberapa bulan terakhir, berbagai kalangan di Lhokseumawe sering “mengait-ngaitkan” nama Tuan Giok dengan cincin batu giok walau untuk sekadar senda gurau. Misalnya, ada yang mengatakan, “Batu giok kamu tidak bagus. Yang paling bagus giok Ulee Jalan”.

Ada pula yang penasaran: batu giok jenis apakah yang dipakai Tuan Giok, atau jangan-jangan ia malah tidak memakai cincin batu giok? Dan banyak yang bertanya-tanya: bagaimana ceritanya mantan GAM itu sampai disebut Tuan Giok?

***

Pintu rumah Tuan Giok tertutup rapat ketika saya tiba di sana, Minggu, 1 Februari 2015, usai siang. Di teras rumah permanen yang menghadap ke laut itu parkir sebuah mobil X-Trail. Pada dinding teras sebelah kanan terpajang sebuah foto berbingkai. Dalam foto itu dari kiri ke kanan tampak Tuan Giok, Zulkifli atau Bang Zul, Muzakir Manaf atau Mualem (Ketua Umum PA/KPA Pusat, Wakil Gubernur Aceh), dan Tgk. Zulkarnaini Hamzah atau Tgk. Ni (Ketua PA Aceh Utara, Ketua Komite Peralihan Aceh/KPA Wilayah Pase) duduk sambil memanjatkan doa.

Pada dinding yang menjadi pembatas rumah Tuan Giok dengan badan jalan tampak empat foto/lukisan berbingkai cantik. Pertama, foto (alm) Hasan Tiro bersama (alm) Abu Woyla, kedua foto Hasan Tiro, ketiga lukisan Kapal Cakra Donya berbendera Alam Peudeung, dan terakhir foto Muzakir Manaf berseragam Panglima GAM.

Ada pula lukisan kaligrafi Arab terpajang pada dinding teras sebelah kanan, dan lukisan masjid berbingkai menawan tepat di atas pintu rumah Tuan Giok.

Tak lama setelah saya mengucapkan “assalamu’alaikum”, daun pintu rumah itu dibuka dari dalam. Di balik daun pintu muncul seorang pria memakai kain sarung dan bertelanjang dada. Dia adalah Tuan Giok. “Piyoh, siat beh, lon pajoh bu dilee (sebentar ya, saya makan dulu),” kata Tuan Giok yang memegang piring berisi nasi.

Beberapa menit kemudian, Tuan Giok keluar menemui saya yang memang sudah lama saling kenal. Ia kini sudah memakai kaos warna putih.

Wah.., sudah gemuk ya Tuan Giok,” saya bertanya sambil mengulum senyum. Ini merupakan pertemuan pertama saya dengan Tuan Giok setelah masa jabatannya sebagai anggota dewan berakhir.

Seulama hana lee bak dewan, ka tumbon bacut karna kalee watee istirahat,” ujar Tuan Giok yang kemudian duduk dekat saya di kursi kayu di teras rumahnya.

Mata saya kemudian tertuju kepada dua tangan Tuan Giok. “Hana neu pakek euncin batee giok (Anda tidak memakai cincin batu giok?)”

Na, siat beh (ada, sebentar ya),” kata Tuan Giok sambil bangkit dari kursi menyeret kakinya ke dalam rumah.

Tak lama, Tuan Giok keluar lagi, kali ini sudah ada tiga cincin di jari tangannya. Ia menyebut itu cincin batu giok.

“Boleh tau, sejak kapan Tuan Giok memakai cincin batu giok. Setelah ramai orang demam giok, atau jauh hari sebelumnya,” saya bertanya.

Membisu sejenak, Tuan Giok lantas berkata, “Kalau giok nefrit ini saya pakai sejak sekitar tiga tahun lalu, sebelum orang Aceh demam giok”.

“Nefrit ini hadiah dari bapak angkat saya. Giok nefrit dan giok Korea, (warna) hijau daun pisang. Sekarang tinggal nefrit, giok Korea sudah jatuh setelah Pemilu 2014, tidak ketemu lagi,” ujar Tuan Giok.

Dua cincin lainnya yang kini menghiasi jari tangan Tuan Giok dipakai sejak Aceh demam giok. “Ini macan (di jari manis tangan kanan), dan ini toska (jari tengah tangan kiri). Toska ini saya beli karena di antara banyak jenis giok, saya tertarik dengan toska”.

“Saya beli pada orang jual batu giok. Toska murah. Yang mahal giok nefrit,” kata Tuan Giok lagi.

Ketika saya menanyakan manfaat memakai cincin batu giok selain menjadi hiasan tangan, Tuan Giok berkata, “Untuk peu steril sagai, peu steril emosi”.

Maksudnya?

Tapi na cara-cara jih maka hana perle rayeuk pakek jih. Ubeut jeut ta pakek. Bereh jih. Pokok jih bereh giok nyan,” ujar Tuan Giok lagi.

Saya tertawa kecil, Tuan Giok membalas dengan senyuman. “Ada manfaatnya. Selain mempercantik tangan, hiasan, untuk pendingin. Saya simpan giok dalam kamar mandi, bak air, dalam rumah. Memang giok untuk peleupie, peusteril bumoe”.

***

Lantas, bagaimana ceritanya sampai Anda dipanggil Tuan Giok?

“Saya dipanggil Tuan Giok sejak masih siswa SMP 1 Lhokseumawe, tahun 1980-an. Yang memberikan nama panggilan ke saya Tuan Giok pertama itu si Bung, abang leting di sekolah,” ujar ayah tiga anak ini.

Tuan Giok melanjutkan, “Sebenarnya tidak ada hubungannya saya dipanggil Tuan Giok dengan batu giok. Saya dipanggil Tuan Giok oleh abang leting sekolah karena wajah saya mirip pelawak Bagiok (S. Bagio). Waktu itu kan baru ada tivi (televisi), muncul si Bagiok”.

Saya kembali terkekeh, Tuan Giok hanya tersenyum tipis. “Saya kira ada kaitannya dengan batu giok. Lalu kenapa dipanggil tuan, bukannya Bagio?”

Tuan Giok menceritakan, ketika ia masih pelajar SMP, (alm) ayahnya Harun merupakan seorang tauke (toke) ikan di Ulee Jalan. Harun semasa hidupnya menjadi pemasok ikan dari Lhokseumawe ke Banda Aceh hingga Padang, Sumatera Barat.

“Saat itu sekitar tahun 1980-an, setahun sekali ayah saya bayar zakat hasil jual ikan. Ayah menyuruh saya membagikan zakat dalam bentuk uang yang sudah dimasukkan dalam amplop, kalau dengan uang sekarang totalnya 10 sampai 15 juta. Saya bagikan kepada masyarakat di Ulee Jalan, Ujong Blang, Hagu Barat Laut, dan Banda Masen (Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe),” kata Tuan Giok.

Ketika mendatangi rumah-rumah warga untuk menyerahkan uang itu, kata Tuan Giok, dirinya bertemu si Bung. “Si Bung bilang saya seperti seorang tuan (anak toke), dikira saya banyak uang, makanya dipanggil Tuan Giok”.

Nama panggilan itu, kata Tuan Giok, melekat pada dirinya hingga ia bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1990-an. Mulanya, ia sebagai penghubung GAM di Ulee Jalan dan gampong tetangga. Tuan Giok yang pernah menjadi pegawai honorer Kantor Camat Banda Sakti setelah ia tamat SMA ini, kemudian menjabat Mukim GAM Sagoe Haji Limpa.

“Saya kemudian dipercaya menjadi Ulee Sagoe GAM Cot Kupula sampai akhirnya menjadi anggota dewan Lhokseumawe dari PA,” ujarnya.

Gagal terpilih kembali menjadi anggota DPRK Lhokseumawe pada Pemilu 2014, Tuan Giok kini fokus mengembangkan kebun sawit dan pinang di Batee Pila, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. Istri Tuan Giok merupakan warga asal Batee Pila. 

***

Walaupun nama panggilannya tidak ada hubungan dengan batu giok, Tuan Giok mengaku menyukai batu giok. Ia merasa senang melihat banyak warga di berbagai kabupaten/kota di Aceh kini menjadi perajin cincin batu giok.

“Pemerintah daerah harus memberdayakan para perajin cicin giok, ditempatkan pada lokasi khusus agar lebih rapi, minimal dibantu peralatan,” ujar Tuan Giok. “Bek masyarakat lahee keudroe jih mantong meunan. Giok nyan jinoe kajeut keu salah saboh mata pencaharian bansa Aceh”.

Tuan Giok berharap potensi batu giok yang melimpah di Aceh dikelola dengan baik agar membawa manfaat bagi daerah. “Dan perlu dipikirkan bagaimana agar pertambangan giok itu jangan sampai merusak lingkungan, maka penting bagi pemerintah dan dewan segera membuat qanun,” katanya.

“Saran saya juga kepada bansa Aceh, jangan sampai ‘lembu punya susu kerbau punya nama’, batu giok punya Aceh sertifikat punya Medan atau daerah lainnya. Jadi giok Aceh harus dipatenkan agar tidak diklaim menjadi milik orang lain,” ujar Tuan Giok.[]

Editor: Murdani Abdullah

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Tuan Giok Mantan GAM: Pokok Jih…

HEADLINE

Ini Raeni, Anak Tukang Becak Peraih Beasiswa ke Inggris

AUTHOR