21 March 2015

Peserta pemilu 2014
Peserta pemilu 2014
saleum
Pemilu Aceh dan Libido Konflik
Murthalamuddin
29 March 2014 - 16:50 pm
Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai proses demokrasi telah salah ditafsir. Kampanye hanya menjadi panggung adu hujat. Libido konflik kembali mencuat. Politisi hanya bisa menepuk dada, lalu menunjuk muka lawan, tanpa mampu merangkul. Saatnya kawan menjadi lawan, pun sebaliknya.

Politik tak menjamin kelanggengan pertemanan, tak pula keabadian permusuhan. Semua berlaku berdasarkan kepentingan. Pemilu merupakan panggung kepentingan itu dipertaruhkan. Celakanya, kepentingan  itu telah menonjok kesantunan, mengipas bara lama, hingga libido konflik dan kekerasan jadi tontonan.

Sepekan lagi kita akan sampai pada puncak demokrasi; Pemilu legislatif, 9 April 2014. Kita berharap semoga proses demokrasi ini tidak memperlebar ruang perbedaan dan pertikaian sesama orang Aceh. Menilik suasana Aceh hari ini, sepertinya Pemilu tidak hanya menjadi ajang adu program. Pemilu tidak menjadi proses demokrasi saja tapi juga menjadi pemicu syahwat konflik sesama kita.

Sadarkah kita perdamaian yang sedang kita nikmati saat ini hasil perjuangan penuh darah. Oleh karenanya kita harus menyadari bahwa perilaku yang sedang dilakoni sejumlah pihak di Aceh merupakan hasil bentukan masa lalu. Di masa damai ini seharusnya kita mulai mengobati diri untuk tidak lagi bertingkah seperti masa lampau.

Dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa perilaku menyimpang tidak lepas dari bentukan hasil pengalaman masa lalu. Dalam konteks Aceh, para aktivis dan orang orang kritis di Aceh tetap produktif untuk mengerahkan daya pikir membangun eksistensi diri dengan pola masa konflik. Saling menjelek-jelekan, saling hina menghina dan caci maki.

Lihatlah dan survei para pengguna media sosial di Aceh, lalu bandingkan dengan daerah lain. Di Aceh pertarungan atau perbedaan pendapat selalu meruncing dan berubah menjadi saling fitnah dan menjatuhkan. Di daerah lain perbedaan pendapat juga sengit tapi rasional dan jarang masuk ke ranah pribadi.

Perdamaian ini hanya sebuah proses. Sebagai salah satu punca menuju Aceh yang dicita-citakan para pejuang dulu. Artinya sebagai sebuah proses bisa kita tamsilkan ibarat menanam padi yang belum tiba panen. Bila masa "seumula" kita sudah saling cakar bagaimana mungkin merawat tanaman "perdamaian”. Tanpa perawatan yang baik dan benar tentu tidak akan ada panen yang baik dan melimpah. Oleh karenanya semua pihak harus mengubah pola pikir dan pola tindak.

Semua kita punya peran, baik pada masa konflik dan damai. Termasuk kelompok yang hari ini menghujat dan mencaci maki Pemerintah Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Sepanjang masa rehab rekon tsunami, misalnya para pelaku utamanya adalah mereka para kaum intelektual dan mantan aktivis masa perang.

Bila kita jujur,  kita semua yang pernah punya peran di masa itu baik di lembaga BRR, Pemerintah dan NGO nasional maupun internasional, bisa kita sebutkan gagal dalam menerjemahkan perjuangan. Secara kontektual, kita disibukkan dengan "peng grik". Bukannya tidak ada yang sukses, tapi saya berani mengatakan sebagian besar dari mereka ketika itu sibuk dengan "urusan pruet droe".

Ketika para aktivis itu selesai melakukan program pada masa rehab-rekon, rakyat dan negeri ini pun kembali terpuruk. Lucunya kini, para pelaku (aktivis) kembali terpuruk secara ekonomi dan sosial. Sangat sedikit yang sukses sampai sekarang. Kita telah gagal memanfaatkan momentum itu untuk mensejahterakan Aceh dan menyejahterakan diri kita. Sebuah kekonyolan yang amat sangat disesali.

Saat ini sejumlah mereka yang kembali gagal, mencoba mencari “musuh” baru. Dulu Jakarta adalah musuh bersama. Saat ini sepertinya Jakarta terlalu jauh dan sulit dijangkau. Sehingga perdamaian yang belum diimplementasi Jakarta pun tak menarik untuk dikritisi oleh para aktivis.

Akhir-akhir ini, terlihat bahwa musuh terdekat adalah Pemerintah kita dan kawan kawan kita yang bersama mereka. Sehingga kemudian musuh terdekat harus segera “dijebak” agar libido konflik yang sangat terasa di masa lalu kembali tajam. Lihat panggung panggung kampanye dan media sosial. Si penghujat dan objek yang dihujat seperti kucing bertemu anjing. Padahal, di masa lalu, mereka "meureuguem meureuguem kreh”,  intimnya bukan main. Sekarang untuk kepentingan jangka pendek, saling menghujat.

Haruskah semua ini dilanggengkan? Apa tujuan dan manfaat? Dalam jangka pendek apakah mendatangkan kepuasan batin. Ataukah kita harus mereposisi peran masing masing untuk kembali berjuang dalam koridor damai.

Lawan kita masih tetap sama yakni kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan sejumlah konsensi perdamaian yang belum kita terima dari pemerintah pusat. Kalau perlu, mari kita buka panggung panggung orasi di Jakarta dan di Aceh supaya mereka yang masih menzalimi Aceh sadar, bahwa aktivis Aceh belum “mati”.

Kita gunakan semua energi kritis kita untuk mendobrak Jakarta agar segera Aceh mendapat haknya. Ingat hak itu telah dilegalkan menjadi UU-RI. Diusul dan disahkan oleh Jakarta. Bukan qanun Aceh. Kenapa mesti takut kita meminta hak kita yang sudah kita bayar.

Mungkin sejarah Aceh kembali terulang. Kita kompak bila musuh menyerbu. Tapi ketika musuh pulang, mata pedang dan muka bengis kita arahkan kepada rekan seperjuangan. Itulah aktivis, tak jauh beda aktivis perang dan aktivis damai. Semoga sejarah tidak berulang di zaman modern ini. []

Murthalamuddin adalah Plt Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh dan mantan jurnalis.

Editor: Yuswardi A. Suud

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Gamawan Siap Bantu KPU Gelar Pemungutan…

Pesawat Jatuh, Calon Presiden Brasil Tewas

Hadapi Gugatan Prabowo-Hatta, KIP Aceh Utara…

Erdogan Olok-olok Pesaingnya Sebab Tidak Tahu…

Prabowo-Hatta Unggul di Aceh Selatan

HEADLINE

Cerita Dahlan Iskan Mencium Tangan Bupati Rocky di Aceh Timur

AUTHOR