21 April 2015

Maryani
Maryani
profile
Perempuan tegar dari Nisam
Ihan Nurdin
14 January 2014 - 18:03 pm
Dia adalah perempuan angkatan pertama yang bergabung dengan Aceh Merdeka. Empat tahun keluar masuk hutan, bahkan lebih 2 tahun menghuni penjara seram di Medan.

DESINGAN peluru bersahutan memecah keheningan belantara di daerah Alue Meuh, Sawang, Aceh Utara. Sebutir peluru melesak bagian kiri kerongkongan Yusuf Ali hingga tembus ke kanan. Refleks tangan Panglima Aceh Merdeka Wilayah Pasee ini menutupi lubang di lehernya itu. Darah mengucur melewati sela-sela jemarinya.

Maryani, istri yang selalu bersamanya di dalam hutan, cepat memapah tubuh suaminya yang sempoyongan. Diambilnya senjata M-16 dari tangan Yusuf Ali, lalu disangkut di bahu kirinya. Dia memapah tubuh Yusuf Ali. Mereka berdua berjalan menghindari lokasi tembakan.

Berjarak tiga ratus meter melangkah, Yusuf Ali mulai tersengal-sengal. Di sebongkah kayu kering, dia mengisyaratkan pada istrinya berhenti berjalan. Perempuan itu membaringkan tubuh Yusuf Ali, ia pun luruh di sisinya. Dengan sisa suara yang berdesis, Yusuf Ali menitip pesan, “Cok beudé seutöt rakan (ambil senjata ikut rekan-rekan).” Lalu ia pingsan.

Maryani menduga suaminya meninggal dunia. Lalu dia melipatkan tangan Yusuf Ali di dada laksana jasad. Senjata milik suaminya yang sejak tadi ditenteng disembunyikan di balik rimbunan perdu. Perempuan itu lantas meninggalkan suaminya dan menembus belantara seorang diri.

Sepotong kisah yang terjadi pada Oktober 1991 itu disampaikan Maryani ketika berkunjung ke kantor redaksi The Atjeh Times, Minggu, 28 Juli 2013. Saat ini, Maryani yang akrab disapa Umi Yusuf Ali adalah calon anggota legislatif Partai Aceh. Ia berada di daerah pemilihan dua Kabupaten Aceh Utara.

Adalah Ketua Komite Peralihan Wilayah Pasee Teungku Zulkarnaini Hamzah yang meminta Umi Yusuf Ali meneruskan “perjuangan” almarhum suaminya di parlemen. Ketaatannya pada pemimpin yang selalu diajarkan almarhum Yusuf Ali rupanya sangat melekat di benaknya. Karena itu, begitu diminta maju sebagai caleg, ia pun menurut saja.

***

KISAH hidup Maryani berada di dalam Aceh Merdeka berlangsung sejak 1987.  Dimulai pada Rabu malam, 18 Juni 1987. Itu adalah hari pernikahannya dengan Yusuf Ali yang seorang Panglima Aceh Merdeka. Ketika itu Maryani masih berusia 19 tahun. Meski terpaut usia hingga 20 tahun, Maryani tetap menerima lamaran Yusuf Ali apa adanya.

Apalagi ayahnya, Ali Basyah, merupakan rekan seperjuangan Yusuf Ali. Ia juga tak sedikit pun merasa ragu meski sebelumnya Yusuf Ali pernah dua kali menikah. Ia juga menerima dengan lapang dada ketika mahar yang diberikan Yusuf Ali waktu itu kepadanya hanya uang seratus lima puluh ribu rupiah.

Yusuf Ali sebenarnya bukan tak mampu memberi mahar. Lelaki asal Nisam, Aceh Utara, itu berasal dari keluarga berada. Namun beberapa waktu sebelum menikahi Maryani, biaya untuk mahar ia berikan untuk membiayai perjuangan rekan-rekannya.

Setelah menikah, mereka tak seperti pasangan pengantin baru lainnya. Pasangan ini tak mengenal bulan madu, malah langsung masuk hutan. Di belantara, pasukan sudah menunggu Panglima Yusuf Ali untuk memimpin gerilya.

Sebulan keluar masuk hutan di pedalaman Aceh Timur, mereka pindah ke wilayah Aceh Utara. Mereka berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lainnya. Kawasan Matang Sijuek dan Gunong Geureudong merupakan wilayah lalu lintas pasangan ini.

Setiap detail kejadian masa lalunya masih sangat membekas di benak Maryani. Meski kini usianya sudah 46 tahun, ia masih mengingat dengan jelas setiap adegan yang dilaluinya di hutan.

Maryani bercerita dengan teratur, kesederhanaan terpancar jelas dalam dirinya. Dengan balutan kerudung dan blus ungu yang dipakainya hari itu, ia tampak sangat bersahaja.

“Selama di hutan, apa yang saya lakukan sama dengan yang dilakukan para lelaki, saya memberi penerangan ke masyarakat kampung, saya dibawa ke kampung-kampung oleh anggota,” katanya.

Yusuf Ali memberi kepercayaan penuh baginya. Maryani menanamkan nilai-nilai keacehan tentang negara, hakikat perjuangan, dan juga menegakkan agama kepada masyarakat yang ditemuinya. Ia menyadari apa yang dilakukannya penuh risiko dan bahaya. Namun karena ia sudah bersumpah, Maryani menjalani semua garis takdirnya dengan ikhlas. Maryani termasuk orang yang mengambil sumpah untuk para anggota baru.

Ia tak pernah mengeluh meski di hutan hanya tidur beralaskan daun pisang dan dedaunan. Ia juga tak pernah protes meski selama empat tahun hidupnya dihabiskan di hutan tanpa pernah sekalipun merasakan nikmatnya naik kendaraan.

Di hutan mereka hanya makan seadanya. Tak jarang tubuhnya tergores duri rotan dan belukar. “Selama empat tahun itu saya juga tidak pernah bertemu orang tua saya, mereka hanya hadir di mimpi,” ujarnya.

Bersama yang lainnya Maryani pernah melewati delapan kali Lebaran di hutan. Kadang-kadang terbit rindu pada kedua orang tuanya. Namun begitu ia teringat pada sumpahnya, semangatnya kembali menggelora.

Pernah suatu kali ketika meugang di pedalaman Jeunieb, mereka merayakannya dengan menikmati daging rusa panggang. Saat Ramadan mereka juga merasakan suasana puasa di hutan. Jika memungkinkan mereka juga salat tarawih. Pada pagi hari raya suaminya sering menjadi imam salat Id. “Delapan kali Lebaran saya lalui di hutan, empat kali di dalam penjara,” katanya.

Maryani yang kala itu masih sangat muda memang bukanlah perempuan biasa. Ketulusannya telah mengantarkan ia menjadi pribadi yang tangguh. Maryani tak gampang putus asa meski harus melewati medan yang sangat berat.

Ia pernah mengarungi Krueng Jambo Aye yang lebar dan berarus deras di suatu malam di bulan Desember, padahal dirinya sama sekali tak bisa berenang. Loyalitas dan kesetiaan rekan-rekannyalah yang membuatnya mampu melewati ganasnya arus sungai di musim hujan kala itu. Tubuhnya yang kecil diikat dengan tali, kemudian ditarik dengan seutas tali yang sudah dibentangkan sepanjang sungai. Sementara suaminya menyeberangi sungai dengan cara berenang. Maryani dan yang lainnya hanya berserah diri kepada sang Pencipta.

Ia juga pernah bertemu harimau saat di hutan. Suatu malam hujan turun sangat lebat, Maryani bersama seorang rekannya berteduh di atas pohon kayu tumbang. Di tengah malam yang sunyi tiba-tiba ia melihat sepasang cahaya dari kegelapan terus mengelilinginya.

Ah bukan itu saja, tubuhnya yang kecil juga pernah merasakan ditanam di rumah warga demi menghindari kejaran tentara. “Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui mereka, di dalam tanah diberi lubang kecil untuk udara masuk supaya saya tetap bisa bernafas,” kata Ketua Lembaga Ureung Inong Aceh Samudera ini.

***

SUATU siang 31 Desember 1991, Maryani dan Yusuf Ali sedang beristirahat sambil tiduran di pedalaman Alue Ie Matang Geulumpang Dua. Tepatnya di Gunung Kareung Mirah. Di tengah-tengah mereka tergeletak sepucuk senjata milik Yusuf Ali.

Maryani tak menyangka masih bisa melihat wajah Yusuf Ali setelah ia meninggalkannya dalam keadaan pingsan sebulan 28 hari lalu. Rupanya kala itu Yusuf Ali tidak meninggal dunia seperti yang ia duga. Yusuf Ali yang waktu itu jasadnya sempat dijaga oleh Kopasus berhasil lolos. Suami istri itu kembali bertemu.

Setelah beristirahat beberapa saat, Yusuf Ali bangkit mengambil senjata, lantas ke luar dari kamp. Lima menit kemudian terdengar suara letupan bedil yang membuat Maryani tersentak. Awalnya ia menduga suara itu bersumber dari bunyi patahan pohon kayu. Menyadari itu suara senjata, dia lantas bergulingan menyelamatkan diri ke jurang. Sayup-sayup ia mendengar teriakan suara aparat memanggil namanya.

“Maryani ke sini, Yusuf Ali sudah kena!” katanya menirukan panggilan itu. Maryani tak menghiraukan itu, ia menjauh dan masuk ke dalam hutan. Beberapa hari kemudian baru mengetahui bahwa kamp mereka telah diintai sejak malam hari oleh aparat keamanan. “Setelah seminggu di hutan saya bertemu sama orang kampung,” katanya. Meski begitu Maryani tak percaya suaminya meninggal.

Begitu keluar dari hutan, malam harinya menjelang tengah malam bersama rekannya Zakaria dan Teungku Mukhtar Darussalam ia naik bis menuju Banda Aceh. Mereka bertiga akan berangkat ke Jeuram yang waktu itu masih masuk wilayah Aceh Barat. Di bis itulah Maryani mendengar kabar selentingan mengenai kematian suaminya Teungku Yusuf Ali. Waktu itu dengan perasaan yang bercampur aduk, antara percaya dan tidak yang ia pikirkan bagaimana caranya bisa sampai ke Aceh Barat.

“Sepanjang perjalanan ada pemeriksaan KTP, tapi saya alhamdulillah tidak sekalipun terjaring razia sampai hari ini,” kata Maryani yang pernah menjadi murid Abu Panton itu.

Nasib baik sempat berpihak padanya. Sehari sampai di Gampông Cot, Jeuram, ia langsung mendapat pekerjaan di tempat pembibitan kelapa sawit. Di Jeuram, Maryani yang tak sempat punya anak dengan Yusuf Ali menumpang di rumah seorang warga. Ia terpaksa mengelabui mereka untuk menutupi jati dirinya. Malam harinya ia tidur di barak bersama para pekerja lainnya. Masa-masa itu dimanfaatkan Maryani untuk mengajari mereka membaca Alquran. Hingga sebulan kemudian jati dirinya pun terkuak setelah salah seorang rekannya menyerahkan diri dan memberi tahu keberadaannya.

Si pembocor rahasia itu tergiur dengan tawaran dari aparat, siapa pun yang bisa menangkap Maryani, orang itu bisa menikahinya.

Tentara mengepungnya saat buang hajat. Ia ingat betul hari itu Rabu, 14 Februari 1992. Maryani mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari Gerakan Aceh Merdeka. “Saya tidak tahu dibawa ke tempat apa, tapi di sana saya ditanya habis-habisan. Di Banda Aceh saya juga sempat diperiksa dokter karena mengaku kepala saya sakit. Setelah diperiksa hasilnya tidak ada karena memang saya tidak sakit,” tutur Maryani sambil tertawa.

Semalam di Banda Aceh, Maryani dibawa ke pos militer Rancong, Lhokseumawe. Tiba di Rancong ia melihat orang-orang cukup ramai, termasuk awak media. Di sana ia kembali diinterogasi, tetapi diperlakukan secara baik. Maryani mengaku tak pernah dipukul atau diperlakukan dengan kasar. Bahkan sebulan pertama di Rancong, ia kerap dibawa ke rumah makan Bangladesh.

“Di rumah  makan itu saya sering dijamu dengan menu-menu mewah, tapi saya hanya mengambil sayur rebus dan peyek udang. Mereka juga membawa saya ke supermarket untuk membeli barang-barang kebutuhan saya, saya hanya mengambil seperlunya saja, mukena satu dan baju dua pasang. Hanya itu, saya tahu mereka berusaha membujuk saya.”

Lima bulan delapan hari berlalu ia lantas dibawa ke penjara Gaperta Medan. Ia juga sempat dikurung di penjara Jalan Gandhi, Medan, selama tiga hari. Di sini Maryani menyaksikan bagaimana buruknya perlakuan yang diterima para tahanan. Mereka diberi makan dalam wadah piring kotor, dengan nasi yang bercampur sekam karena tidak dibersihkan. Lauknya hanya ikan asin dan sama sekali tak mampu menerbitkan selera makannya.

“Di Jalan Gandhi itu ada kolam yang berisikan lintah,” kata Maryani. “Saya pernah didirikan di mulut pintu kolam itu dan disuruh menyanyikan lagu Garuda Pancasila, di kolam itu benar atau tidak jawaban kita tetap saja diceburkan ke kolam,” ujarnya lagi.

Namun sayang, Maryani tak dapat menyanyikan lagu itu. Saat diinterogasi oleh aparat, ia mengaku tak mengetahui lagu itu karena tidak bersekolah. Saat ditanya mengapa tidak sekolah, ia pun menjawab orang tuanya tidak sanggup membiayai. “Akhirnya saya hanya menghafal surah Yasin saja,” kenang Maryani.

Belakangan Maryani dikembalikan ke penjara Gaperta, ditempatkan di sebuah sel yang luas. Di lantai darah berceceran, tanpa alas apa pun ia terpaksa mendekam di sana. Di dalam sel itu ingatan Maryani terkenang pada almarhum kakeknya Nek Puteh yang pernah dipenjara bersama adiknya di tempat yang sama. Sang kakek mengembuskan nafas terakhirnya di sel tahanan yang mengerikan itu. Dari dalam sel Maryani juga bisa leluasa melihat para tahanan lain yang sedang menjalani pemeriksaan. Lima bulan kemudian ia dikembalikan ke Rancong.

***

DUA puluh bulan di Rancong Maryani akhirnya dibebaskan. Setelah melapor ke Komando Distrik Militer di Langsa, dan ke Komando Rayon Militer, ia kembali ke rumah orang tuanya di Keude Geureubak setelah empat tahun tak pernah bertemu. Maryani pun kembali memulai kehidupan barunya.

Hanya berselang empat hari setelah ia dibebaskan, Maryani dilamar Amiruddin. Rekan sejawatnya di Rancong. Amiruddin yang waktu itu masih dipenjara diberi izin untuk melamar Maryani. Tiga bulan kemudian, pada 1994 keduanya menikah. Ada hal menggelitik yang hingga kini terus dikenang perempuan itu pada pernikahan keduanya, yaitu hadiah Alquran yang diberikan oleh militer Rancong untuk hadiah perkawinannya. Setelah menikah, pasangan ini diwajibkan melapor seminggu sekali.

Namun, kehidupan manis tampaknya masih belum berpihak pada Maryani yang sudah mempunyai dua anak bersama Amiruddin. Pada 14 Desember 1997, Amiruddin meninggal dunia setelah ditembak oleh anggota Kopasus setelah beberapa hari sebelumnya sempat ditangkap dan disiksa.

Saat menceritakan kejadian yang menimpa suaminya ini, suara Maryani agak bergetar. Raut wajahnya sempat berubah. Pada 1998 ia pindah ke Matang Sijuek Lhoksukon dan menjadi tukang masak di sana. Dua tahun kemudian ia kembali menikah dengan seorang tentara GAM, M. Yusuf Nuh. Keduanya kini hidup sederhana di Nisam Antara, Aceh Utara.

Dalam hidupnya, ada seorang yang sangat diingat oleh Maryani. Orang itu adalah Ampon Bentara, warga Jungka Gajah, Aceh Utara. Dulu Maryani dan pasukan lainnya pernah menetap di rumah Ampon Bentara. Belasan tahun kemudian sekitar 2005 lalu ia bertemu dengan cucu salah satu tokoh Aceh Merdeka itu, Cut Meutia, caleg Partai Aceh untuk DPRA.

Sama seperti Maryani, Cut Meutia yang biasa dipanggil Farah ini juga tak menyangka bakal bertemu dengan istri almarhum Yusuf Ali. Di matanya kehadiran Maryani tak ubahnya bagai “suplemen” yang mengobarkan semangat kaum muda. Di usianya yang tak lagi muda, Maryani tetap konsisten dan selalu energik untuk meneruskan perjuangan kedua suaminya yang telah almarhum.

“Jarang kita mendapat perempuan yang ikhlas seperti beliau, yang banyak sekarang adalah perempuan yang “menjual” suaminya yang menjadi korban konflik. Perempuan muda harus belajar dari orang-orang seperti Umi,” kata Farah yang ikut menemani Umi Yusuf Ali pekan lalu.

Di pengujung pertemuan, Maryani sempat menyinggung beberapa hal yang perlu diperbaiki di masa perdamaian ini, misalnya tingkat kesejahteraan dan perekonomian masyarakat yang perlu ditingkatkan lagi. Inilah yang membuat niatnya untuk maju ke parlemen kian membuncah. Maryani yang banyak menghabiskan waktunya di kampung-kampung bersama rakyat kecil tahu betul bagaimana kondisi kehidupan mereka. Ia ingin sekali membantu masyarakat yang telah membantu perjuangan GAM di masa lalu dengan ketulusan dan keikhlasannya.

“Siapa pun yang terpilih nanti bagi saya tidak masalah, yang penting  mereka yang terpilih harus benar-benar membantu masyarakat, jika pun nanti tidak terpilih, saya siap membantu mereka yang lolos untuk peutimang masyarakat,” ujarnya.

Tak terasa waktu terus bergerak. Beberapa jam berbincang dengan Maryani rasanya sangat sebentar sekali. Waktu berbuka puasa hampir menjelang, Maryani pun pamit. Di balik ucapan terakhirnya seolah tertinggal semangat dan heroismenya di sini.[]

Editor:

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

ATJEHPOST.co Pamit Untuk Selamanya

Kebijakan Menteri Susi Lumpuhkan Aktivitas Nelayan…

Caisar YKS Kini Jual Aneka Makanan

Aceh Selatan Dilanda Hujan Debu

Jokowi Minta Polri Hentikan Kriminalisasi KPK

HEADLINE

Menelisik Jejak Mendagri Tjahjo Kumolo Soal Aceh

AUTHOR