25 March 2015

Gunongan | Foto: Heri Juanda/ATJEHPOSTcom
reusam
Citra Surga di Gunongan
Dr. Kamal Arif
06 May 2014 - 12:31 pm
Boleh jadi Gunongan telah ada jauh sebelum masa Iskandar Muda, tetapi kemudian ia merevitalisasikan “gunung yang ada di tengah medan luas”

KETIKA pada 2003 saya mewawancarai warga kota untuk penelitian tentang citra Kota Banda Aceh, Gunongan adalah salah satu dari lima objek yang paling sering disebut sebagai rujukan.  Empat lainnya adalah Masjid Raya Baiturrahman, Lonceng Cakra Donya, Rumoh Aceh, dan Pintô Khôp.

Dari bacaan sejarah dan ingatan kolektif masyarakat, Gunongan kita kenal sebagai sebuah situs yang menautkan Aceh dengan Pahang, dan telah ada sejak abad ke-17 saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Setelah menaklukkan Pahang, sultan memboyong seorang putri cantik jelita untuk dijadikan permaisurinya di Aceh, yang kemudian dikenal dengan nama Putroe Phang. Untuk menghibur Putroe Phang yang sangat merindukan suasana pegunungan di kampung halamannya hingga jatuh sakit, dikisahkan sultan kemudian membuat  sebuah Gunongan di dalam Taman Ghairah, di tepian Sungai  Krueng Darôy.

Di dalam manuskrip Bustanussalatin (1638), Ar-Raniry menulis tentang Gunongan. Kutipannya, ”Syahdan dari kanan sungai Dar-ul Isyki itu suatu medan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani. Dan pada sama tengah medan itu sebuah gunung di atasnya menara tempat semanyam, bergelar Gegunungan Menara Permata, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, dan kemuncaknya suasa. Maka apabila kena matahari cemerlanglah cahayanya itu. Adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, Sulaimani dan Yamani. Dan ada pada gegunungan itu suatu guha, pintunya bertingkap perak.”

Jika dulu sebagai tempat bermain dan pemandian permaisuri sultan yang berasal dari Pahang, sekarang Gunongan menjadi tempat wisata situs purbakala. Di dalamnya ada ruang labirin berbentuk spiral yang memiliki anak tangga. Kemasyhuran taman yang dibuat untuk Putroe Phang ini membuat taman itu dinamai Taman Putroe Phang. Namun, saat ini taman Putroe Phang terpisah oleh jalan raya dengan Gunongan. Yang tersisa sekarang hanyalah  sebagian kecil saja dari keseluruhan Taman Bustanussalatin di masa lalu.

Gunung dalam Taman Raja-Raja

Gunongan adalah bangunan yang merupakan bagian dari tatanan Taman Sari Istana yang bernama Taman Ghairah. Penjelasan Gunongan tidak dapat dipisahkan dari taman ini beserta bangunan-bangunan lain di dalamnya karena merupakan suatu kesatuan konsep tata ruang yang utuh. Di dalam Taman Ghairah yang menjadi bagian dari istana sultan ini terdapat 4 bangunan yang masih dapat ditemukan sampai saat ini, yaitu Gunongan, Leusông, Kandang, dan Pintô Khôp.

Gunongan adalah sebuah bangunan yang menyimbolkan dunia gunung. Leusông terbuat dari batu, diperkirakan sebagai tempat duduk batu peterana, yang berada di kaki Gunongan sebelah tenggara. Kandang merupakan makam Sultan Iskandar Thani yang berada di sebelah utara. Keberadaan makam di dalam taman merupakan suatu ungkapan pesan peringatan, kehidupan dunia bersifat fana, yang dituju adalah kehidupan akhirat di dalam surga yang kekal abadi. Lalu Pintô Khôp merupakan sebuah gerbang menuju ke Krueng Darôy, berbentuk kubah yang menghadap ke istana dan berfungsi sebagai penghubung antara taman dan istana.

Pada 1613 Sultan Iskandar Muda mengalihkan aliran sungai yang berasal dari Mata Ie ke lingkungan istana. Tujuannya agar air mengalir melintasi Taman Ghairah, kemudian melintasi Gunongan dan Meuligoe Daruddunia (Keraton), dan akhirnya bermuara ke Krueng Aceh di Pante Pirak. “Geuceu”adalah sebuah toponimi yang berarti “dicoret olehnya”, yaitu ketika Sultan Iskandar Muda membuat coretan di tempat itu sebagai perintah untuk membelokkan aliran sungai ke dalam taman istana. Sungai buatan ini diberi nama “Dar-ul Isyki”, yang kemudian lebih populer dengan nama “Krueng Daroy”. Sedangkan  sungai aslinya kemudian menjadi dangkal, sehingga bernama Krueng Doy, berasal dari “dhoe”  yang berarti dangkal.

Sangat mungkin ide ini merupakan upaya sultan mengapresiasikan ide tentang surga dalam ayat (QS: 2:25, 2:266, 3:15,3:136), “…….jannatin tajri mintahtihal anhaar……” (mengalir sungai-sungai di dalamnya) dalam suatu tatanan fisik spasial. Konsep Islamic Garden banyak menggunakan unsur air, seringkali berupa sungai buatan, kolam-kolam dan air mancur, dalam upaya menafsirkan  Taman Firdaus  yang dialiri sungai-sungai. Sungai buatan yang melintasi Taman Sari Gunongan ini menambah keindahan, kesucian, dan kemegahannya sebagai tempat keluarga sultan bersantai dan mensyukuri nikmat di dalamnya. 

Pemberian nama Isyki (=cinta) adalah ungkapan cinta suci kepada sang khalik. Gagasan ”Isyki” dalam tradisi sufi berawal dari keyakinan mereka bahwa  karya seni yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang telah tertidur di dalam hati, baik yang bersifat  duniawi dan indrawi, maupun cinta yang bersifat ruhani, yaitu cinta Ilahi. Keindahan ini merupakan dimensi esoterik dari Islam. Maka, khazanah Tamaddun Aceh yang mengagungkan keislaman terpancar kuat melalui seni arsitektur lanskap di dalam tata ruang Kesultanan Aceh.

Air Krueng Darôy di masa itu bening, segar, dan jernih sekali sehingga orang sakit yang meminumnya akan segera sembuh. Tentang hal ini Ar-Raniry menulis, “Dan ada pada sama tengah taman itu suatu sungai bernama Dar-ul Isyki  berturap dengan batu, terlalu jernih airnya, lagi amat sejuk, barangsiapa meminum dia, sehatlah tubuhnya”. Begitu mujarabnya air Dar-ul Isyki ini sehingga para raja pun senantiasa meminum langsung air sungai itu. Di masa Iskandar Muda, barang siapa yang membuang air kecil di sungai itu dihukum mati.

Ketika Iskandar Tsani naik tahta pada 1636, menantu Sultan Iskandar Muda yang juga berasal dari Pahang ini memperluas Taman Gairah menjadi seribu depa. Ar-Raniry menulis, “Kata sahibuttarikh, pada zaman bagindalah berbuat sesuatu bustan, iaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya, maka ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan neka-neka buah-buahan.

Seluruh Taman yang diperluas dari Taman Ghairah ini diberi nama Bustanussalatin (Taman Raja-Raja). Taman Bustanussalatin demikian luasnya dimulai dari ujung Krueng Darôy di Geuceu hingga ke kawasan  Pintô Khôp, tempat  Taman Putroe Phang sekarang berada.  Sehingga, luasnya  Taman Bustanussalatin itu dapat kita perkirakan meliputi Seutui, Neusu, Kerkhof, Taman Sari, hingga ke kawasan Blang Padang yang dibatasi oleh Krueng Doy, sedemikian luasnya hingga hampir mencapai sepertiga Kota Banda Aceh masa itu. Di dalamnya banyak ditanami pohon buah-buahan, bunga, dan sayuran yang bermacam-macam khasiatnya. Analisis tentang luasnya Bustanussalatin ini saya tulis di dalam buku “Ragam Citra Kota Banda Aceh” terbit 2008, halaman 312-313.

Pada masa penyerangan Belanda 1874, Taman Bustanussalatin ini digunakan sebagai kuta (benteng) pertahanan, di antaranya terdapat Kota (Kotta) Goenoengan, Kota Koeboeran Radja, Kota Rantang Blang Padang, dan Kota Peutjoet. Ketika  Belanda berhasil merebut Keraton pada penyerangan itu, para serdadu Belanda dengan angkuh berfoto bersama di atas “Kotta Goenoengan” yang berhasil didudukinya.

Segera setelah itu, tatanan arsitektur lanskap Taman Bustanussalatin yang penuh makna, padu, dan asri itu dirusak oleh Belanda dengan membuat pola jaringan jalan baru dan fungsi-fungsi baru untuk keperluan militer yang membuat citra tata ruang  taman dan keraton Kesultanan Aceh menjadi  hilang, tercerai-berai.

Belanda sengaja melakukan perubahan radikal pada tata ruang Kota Koetaradja. Bagian selatan Krueng Aceh dijadikan pusat daerah militer Belanda. Kawasan ”Dalam” keraton dihilangkan untuk menghapus kekuasaan kesultanan di Aceh. Peutjoet menjadi Kerkhof, tempat pemakaman serdadu Belanda yang tewas. Stasiun kereta api ditempatkan pada bekas alun-alun “Medan Khayyali”, antara masjid dan keraton. Di sekitarnya menjadi perumahan militer. Pasar dipindahkan dari Pante Pirak (lokasi Korps Polisi Militer sekarang) ke belakang Masjid Raya Baiturrahman. Makam Raja-Raja Kandang XII disembunyikan dalam tangsi, dan makam Sultan Iskandar Muda dibenam di bawah kantor pemerintahan sehingga lenyaplah citra dan karisma tatanan ruang Kesultanan Aceh.

Satu-satunya posisi “Dalam” yang dipertahankan adalah letak pendopo tempat kediaman kepala pemerintahan Belanda di Aceh yang persis berada di lokasi istana sultan. Namun menurut  Jongejans, seorang bekas Residen Belanda di Aceh (1938), pendopo ini tidak berwibawa karena halaman depannya terlampau sempit.

Kondisi tata ruang Belanda inilah yang terus berlanjut di kawasan ini hingga sekarang. Akibatnya, tata ruang Kesultanan Aceh masa lalu menjadi sulit dipahami. Namun meski tata ruang ”Dalam” kesultanan dan taman sari Bustanussalatin telah terpenggal-penggal dirusak oleh kolonial Belanda, sosok Gunongan tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Kandang Sultan Iskandar Thani yang berada di dekat Gunongan pun demikian. Berbeda dengan perlakuan terhadap Makam Iskandar Muda, kandang ini tidak dirusak oleh Belanda. Hal ini dikarenakan tidak ada catatan Iskandar Tsani memerangi kolonialisme, sedangkan Sultan Iskandar Muda merupakan simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme Eropa (Portugis).

Gunongan ada sebelum Iskandar Muda?

Syeikh Nuruddin Ar-Raniry yang menjadi mufti kesultanan di masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani, tidak menyebut angka tahun  pembuatan Gunongan. Ia hanya menyebut “Ada sebuah gunung di medan yang luas”. Boleh jadi Gunongan telah ada jauh sebelum masa Iskandar Muda, tetapi kemudian ia merevitalisasikan “gunung yang ada di tengah medan luas” itu dan menghiasinya dengan berbagai batu permata, emas, perak, serta suasa,  untuk membujuk sang Permaisuri  Putroe Phang agar merasa betah di dalam taman yang nyaman, sambil menikmati panorama taman gunung seperti di Pahang.

Robert Wessing meragukan Gunongan dibangun pada masa kesultanan di abad ke-17. Ia kemudian membuat analisis yang mendalam dan hasilnya ditulis dalam jurnal Archipel No. 35, (1988) bertajuk “The Gunongan in Banda Aceh: Agni’s Fire in Allah Paradise?” Tulisan itu dapat dibaca terjemahannya dalam Jurnal IAIN Ar-Raniry 73, Tahun 1998, yang menganalisis secara detail, panjang lebar, dan membandingkannya dengan beberapa bangunan purbakala yang sejenis di belahan dunia lain.

Wessing akhirnya menyimpulkan, kemungkinan Gunongan telah ada sejak era Lamuri, sebelum Islam. Ia menyebut ada referensi menarik dalam pembahasan Mark Dion 1970 berjudul Sumatra through Portuguese Eyes: Excerpts from “Joao de Barros’ Decade da Asia”  yang terbit pada 1552 dan menyebutkan, “Di Aceh ada kuil besar tempat penyembahan berhala yang terkenal karena emasnya.”

Namun tidak ada data yang memastikan bahwa kuil yang dimaksud adalah Gunongan. Lagi pula di masa Tamaddun Islam di Aceh yang kosmopolit, memang ada kuil Hindu dan juga gereja di Aceh. Bahkan dalam bukunya Witnesses to Sumatera, Anthony Reid (1995) menulis, dalam catatan Francois Martin seorang pedagang Prancis yang datang ke Aceh pada 1602, bahwa ada kuil dan masyarakat Hindu di Aceh. Disebutkan pula, “Dan bila seorang suami meninggal dan dikremasi, maka ada seorang istrinya yang ikut terjun ke dalam api.” Cerita ini mirip sekali dengan kisah Dewi Madrim, istri kedua Pandu yang terjun ke dalam api saat Pandu dikremasi dalam kisah Mahabharata. Itu terjadi di Aceh pada 1602 saat Saidil Mukammil menjadi sultan. Hingga sekarang pun Kuil Hindu di Gampông Keudah masih ada.

Gunongan adalah simbol gunung yang merupakan bagian dari Istana Kesultanan Aceh. Tingginya mencapai 9,5 m, terdiri dari tiga lantai, dan berbentuk bunga. Bentuk denah Gunongan adalah segi 10. Dari arah selatan terdapat gerbang pintu masuk yang dulu disebutkan daun pintunya terbuat dari perak. Bentuknya anggun, dilengkapi dengan hiasan dari berbagai budaya. Namun Wessing melihat, adanya unsur air dan teratai (seroja) dalam arsitektur bangunan dan lanskap Gunongan menunjukkan hadirnya simbol Hindu yang kuat.

Arketipe Gunongan

Ada tiga arketipe yang berhubungan dengan keberadaan Gunongan, yaitu arketipe Piramida berupa dunia gunung, arketipe Labirin berupa ruang spiral yang terdapat di dalam bangunan Gunongan, dan arketipe Darussalam atau alam surgawi the earthly paradise, yang merupakan tempat Gunongan berada yang direpresentasikan dalam bentuk Taman Bustanussalatin.

Arketipe merupakan citra warisan leluhur yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif kita. Kesadaran itu baru timbul bila ada perhatian dan keinginan. Bila ingatan kolektif masyarakat melupakan sesuatu, berarti mereka berada dalam situasi ketidaksadaran kolektif. Meskipun objek Gunongan dan julukan Darussalam amat populer, tidak serta-merta masyarakat memahami benar maknanya sehingga tetap saja diperlukan upaya untuk mendapatkan makna terdalam dari arketipe tersebut  agar diperoleh pengertian esensial yang mampu mengarahkan perancangan arsitektur ke depan.

Arketipe Piramida

Piramida adalah salah satu arketipe ruang pokok yang digambarkan Mimi Lobell dalam teori Arketipe Ruang. Piramida merupakan representasi dari dunia gunung. Karena itu, bentuk bangunan piramid bersifat universal, ada di mana-mana, tetapi muncul dalam berbagai varian bentuknya.

Gunongan yang terletak di Taman Ghairah, di tepi Krueng Darôy, termasuk salah satu varian bentuk arketipe Piramida itu. Bentuk atap Meru (atap tumpang bersusun tiga) seperti yang dimiliki Masjid Indrapuri merupakan bentuk masjid tradisional yang banyak terdapat di seluruh nusantara. Gunongan juga suatu representasi arketipe Piramida yang berbentuk gunung dan berlantai tiga.  

Bila benar dugaan Gunongan telah ada sejak zaman Lamuri pra-Islam, di zaman Hindu, Gunongan adalah gunung kosmik, tiruan atau perwujudan dari Gunung Meru. Tiruan dari Meru ini menunjukkan tripartit secara vertikal dan diwujudkan sebagai undak-undakan, dan pada Gunongan diwujudkan dengan tiga lantai. Meru juga melambangkan kekuasaan atau kemenangan penguasa.

Sebagai bangunan dengan tiga undak-undakan, Gunongan memiliki banyak kesamaan dengan Meru.  Gunongan sebagai gunung kosmik yang terletak di tengah taman surgawi ini, merupakan pertemuan antara surga dan dunia, suatu tempat yang pantas menjadi replika dari Meru. Gunung berfungsi sebagai pembatas antara dunia yang dihuni dan yang tidak, serta memisahkan antara manusia dan bukan manusia. Ini juga berlaku pada Meru yang digunakan sebagai pembatas antara dunia sehari-hari dan dunia supranatural. Ada hubungan antara dunia kosmos dan “dunia dalam skala yang lebih kecil” (jagat alit-jagat ageng). Pusat dunia ini adalah  Gunung Meru, dan Surga Indra terletak di sana. Kata indra juga ada dalam khazanah lanskap Gunongan. Pintu Khôp  bernama Pintu Biram Inderabangsa, yang berarti pintu mutiara keindraan atau kedewaan.

Arketipe Labirin

Interior Gunongan memiliki arketipe bentuk Labirin yang ditampilkan dengan adanya tangga spiral yang menuju ke dua arah, yang satu berlawanan dengan arah jarum jam menuju bumi, yang satu lagi awalnya mengikuti arah ini, tetapi kemudian berganti mengikuti arah jarum jam menuju ke puncak sehingga bentuknya seperti  spiral ganda (Gambar 1). Bentuk spiral dengan arah berlawanan jarum jam digunakan sebagai jalan ke dunia bawah tanah. Jalur perjalanan yang berliku merepresentasikan liku-liku perjalanan manusia dalam menggapai pusat. Spiral mengarah kepada dunia supranatural, dunia bawah tanah dan langit, serta berkaitan dengan kekuatan yang menghidupkan kosmos, berhubungan dengan kesuburan dan kemakmuran.

Labirin sebagai suatu arketipe, walaupun terpisah oleh jarak dan waktu di segala ragam budaya di seluruh penjuru dunia dan bentuknya mengalami perkembangan, tetap bertahan dengan esensi yang sama. Dari dulu hingga sekarang, desain labirin tetap mempesona karena pola universalnya yang dibuat di dalam dunia collective unconsciousness dan telah diturunkan kepada manusia selama berabad-abad.

Arketipe Darussalam

Setiap nama, gelar, ataupun simbol yang dapat memunculkan konsepsi arsitektural dapat dikategorikan ke dalam arketipe arsitektural. Misalnya ”Darussalam” yang berarti ”negeri damai” atau negeri surga adalah suatu konsep firdausi (earthly paradise). Karena merupakan konsepsi Taman Firdaus, ”Darussalam” adalah arketipe arsitektural yang terdapat di mana-mana di dunia (Yerusalem, Brunei Darussalam, Aceh Darussalam, dsb.). Bahkan ”Indrapatra” (yang berarti ”negeri sentosa”) memiliki makna yang serupa. Paparan lebih jauh tentang ini dapat dibaca dalam artikel saya di majalah The Atjeh Vol. 1, berjudul “Aceh Lhèe Sagoe: Arketipe yang Terpendam”.

Nilai-nilai sejarah, estetik, ilmiah, dan sosial sesuatu benda, ataupun suatu tradisi, bersifat fana, dapat mengalami perubahan menurut kurun waktu dan tempat tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai paradigma yang berkembang dalam masyarakat. Namun secara naluriah, manusia ingin mempertahankan sesuatu yang dianggapnya bernilai, dan pada puncaknya menjadi pusaka. Gunongan adalah pusaka penting budaya Aceh, tetapi juga mengalami transformasi.

Bila di era kesultanan arketipe Darussalam ditafsirkan sebagai Taman Surga yang dicitrakan dalam bentuk Bustanussalatin, pada era Gubernur Ali Hasjmy konsep Taman Firdaus dimunculkan kembali dalam bentuk Kopelma (kota pelajar dan mahasiswa) Darussalam. Di sana, berdiri dua universitas, yaitu Syiah Kuala dan Ar-Raniry, mengabadikan dua tokoh ulama, mufti Kesultanan Aceh.

Di tengah-tengah  medan luas Kota Darussalam ini dibangun pula sebuah tugu yang bentuk dasarnya terinspirasi dari bentuk Gunongan dengan puncak mahkotanya lebih tinggi menjulang, diberi nama Tugu Darussalam. Rancangan bentuk Tugu Darussalam merupakan transformasi dari bentuk Gunongan yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi tugu yang amat khas. Pada tugu itu terdapat prasasti tulisan Bung Karno saat peresmian Kopelma Darussalam pada 2 September 1959 yang berbunyi, “Tekad bulat melahirkan perbuatan jang njata, Darussalam menudju kepada pelaksanaan tjita-tjita”.

Darussalam yang dahulu direpresentasikan dengan Bustanussalatin, kini pindah tempat dan berganti menjadi Kampus Darussalam yang memiliki makna ideal yang sama, tetapi direpresentasikan dengan cara yang berbeda. Citra Gunongan yang dulu menjadi tempat para putri istana bercengkerama menikmati keindahan taman, kini menjadi suatu tugu cita-cita pendidikan pada sebuah kampus. Demikian pula bentuk arsitektur Pintô Khôp kini sering dimunculkan kembali dalam bentuk gerbang seperti pada rancangan Gerbang Taman Makam Pahlawan dan Gerbang Kampus Darussalam.

Beberapa ahli berpendapat, Gunongan di Taman Ghairah lebih dari sekadar tempat bermain dan bercengkerama para putri raja. Dari sosok dan ciri-cirinya ia memiliki arti kosmologis tertinggi, tempat surga dan dunia bertemu, menjadi tempat suci dan sakral, sebuah tempat ritual yang khidmat.  Namun periode klasik Hindu-Budha memang ditenggelamkan oleh karisma Tamaddun Kesultanan Aceh. Minimnya data arkeologis menyebabkan pembuktian peninggalan periode klasik itu sering simpang siur.

Andaipun benar Gunongan telah ada sejak masa para Islam, justru kearifan lokal budaya Aceh terbukti lagi: karya arsitektur zaman klasik  itu tidak dirusak, bahkan diperindah, lebih hidup dan  tetap berfungsi dengan baik di masa kesultanan, dengan menghilangkan fungsinya yang bertentangan dengan akidah.

Bila diduga semula ia pernah menjadi tempat meditasi atau pemujaan para dewa, fungsinya di masa Islam berubah secara perlahan. Dengan kepiawaiannya menulis kitab Bustanussalatin, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry telah mampu menukar fungsinya menjadi taman bermain dan tempat pemandian putri raja dan dayang-dayangnya di dalam Taman Bustanussalatin, sebuah replika surga yang damai dan sejahtera.[] sumber: Majalah The Atjeh

* Kamal Arif adalah penulis buku Ragam Citra Kota Banda Aceh dan Arsitek Universitas Parahyangan

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Ghairah Putri Mandi

Citra Surga di Gunongan

HEADLINE

Potret Kehidupan Mualaf di Belanda

AUTHOR