23 March 2015

Suasana pelepasan abu jenazah ateis di Squam Lake. @Ahmady Meuraxa/ATJEHPOSTcom
Suasana pelepasan abu jenazah ateis di Squam Lake. @Ahmady Meuraxa/ATJEHPOSTcom
saleum
Anak Aceh di Tengah Keluarga Ateis Amerika (7)
Ekspansi Rumah Ibadah dan Solidaritas Sesama Ateis
Ahmady Meuraxa
04 August 2014 - 17:45 pm
Dalam hal sosial, Islam adalah agama toleran, tapi dalam hal syariat, Islam sangat ketat.

Komunitas ateis terus memperluas jaringan ke berbagai negara. Solidaritas mereka cukup kuat. Berikut pengalaman saya saat mengikuti prosesi penaburan abu jenazah seorang ateis di New Hamsphire.

Setelah kehadiran ‘gereja’  ateis di Kota Islington, Inggris,  menyusul berbagai kota di Amerika Serikat meresmikan kehadiran gedung yang sama.  Adalah komunitas ateis California yang pertama memprakarsai kehadiran ‘gereja’  ini di Amerika pada Oktober 2013. Dua komedian Inggris  Sanderson Jones dan Pippa Evans tampil sebagai bintang tamu pada acara peresmian gedung itu.

Tak disangka, ‘ibadah’ pertama tersebut mendapat sambutan antusias sekitar 400 orang pengikut ateis.  Tidak hanya dari  California,  banyak juga pengunjung yang datang dari negara bagian lain. Ibu Jessica,  Eliana sengaja terbang ke Los Angeles untuk menghadiri acara tersebut.  Mereka bersatu dalam sebuah keyakinan untuk tidak berkeyakinan. Semuanya bersuka ria, menghentakkan kaki mengikuti irama,  bernyanyi tentang cinta dan kebebasan. Jemaat larut dalam tawa saat mereka diminta bertepuk tangan dan menampar tangan orang di sebelah mereka.

Eliana sangat berbahagia bisa hadir pada acara itu. Kebahagiaan itu ia bagikan kepada Jessica setelah tiba kembali di Amherst. “Usai acara itu, ibu saya semakin percaya kalau sikap kemanusiaan dan ilmu pengetahuan adalah yang utama dalam hidup ini. Agama itu omong kosong. Agama hanya rekayasa manusia sebagai alat politik demi kekuasaan,” ujar Jessica.

Keluarga Eliana sejak lama memang dikenal sebagai pengikut ateis sejati.  Bersama almarhum suaminya  Richard Thompson, mereka menanamkan kepercayaan kepada anak-anaknya untuk tidak percaya kepada hal-hal yang gaib. Eliana sendiri sebenarnya masih keturunan yahudi . Tapi ia pun sama sekali tidak percaya dengan agama nenek moyangnya itu. Baginya, keyakinan hanya ada pada jiwa kemanusiaan, kecerdasan serta perilaku yang baik.

Berbeda dengan  dua Inggris Sanderson Jones dan Pippa Evans yang begitu gencar mengampanyekan ateis, Eliana dan keluarganya hanya menerapkan prinsip ateis bagi mereka sendiri.  Tidak ada gerakan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti jejak mereka sebagai anti agama. Mereka bahkan menghormati saya sebagai penganut agama dan memfasilitasi saya jika bersembahyang di rumahnya.

Suatu ketika keluarga itu pernah diajak menonton konser musik bersama-sama di Downtown, Amherst. Tapi saya tidak bisa berangkat bersama mereka karena tanggung,  waktu djuhur akan tiba.  Saya kuatir akan kesulitan shalat di tengah suasan konser itu.

“Saya harus shalat dulu, setelah itu menyusul dengan taksi” ujar saya. 

Mendengar ini, Eliana justru bersimpati. “Kalau begitu kita berangkat setelah Anda sholat,” katanya. Akhirnya kami pun berangkat pukul 1.00 siang, mundur setengah jam dari waktu yang direncanakan.

Sepekan kemudian keluarga itu kembali mengajak saya menikmati akhir pekan di Squam Lake, New Hampshire. Jaraknya  sekitar tiga jam naik mobil dari Kota Amherst.  Beberapa teman dan tetangga Eliana juga ikut dalam rombongan itu. Yang menarik, semuanya ateis.  Saya sangat antusias ikut dalam rombongan itu, karena saya akan  bisa melihat jalinan pertemanan orang-orang ateis.

Hari pertama kami di Squam Lake, rombongan lebih banyak bermain menikmati keindahan danau. Ada yang bakar ikan, naik sampan, berlayar, ada yang bernyanyi dan berdansa. Suasana gembira terasa kental saat makan malam bersama.  Saya terheran-heran, karena mereka semua menikmati makan malam dengan anggur putih sebagai airnya. Saya ditawari, tapi saya memilih air putih. Aneh, baru kali ini saya melihat ada orang makan malam dengan minuman keras sebagai airnya.

Kejutan terjadi pada hari kedua, ketika pagi hari Jessica memberi saya topi merah terbuat dari kertas. 

“Kamu pakai yang ini ya,” ujarnya.

“Untuk apa?” Tanya saya.

“Kita ke tengah danau menebur abu jenazah ayah saya. Itupun kalau kamu mau ikut!”

Saya sempat heran, kenapa mesti pakai topi kertas. Tapi saya tentu sangat tertarik mengikuti acara itu. Ini kesempatan emas melihat langsung prosesi penaburan abu jenazah versi ateis. Yang ditabur adalah abu janazah Richard Thompson, ayah Jessica yang meninggal Februrari 2014 lalu. Jenazahnya sudah dikremasi, namun sebagian abunya masih disimpan di rumah Eliana.

Sebagian dari abu itu sebenarnya sudah ditaburkan ke tengah Danau Squam pada Maret lalu. Namun keluarga Eliana rupanya tidak ingin menaburkan semuanya sekaligus. Hanya sebagian yang telah mereka taburkan pada prosesi pertama. Sisanya disimpan di rumah untuk kemudian ditaburkan lagi di Squam Lake pada kunjungan berikutnya.

Kunjungan ke Squam Lake kali ini merupakan kali kedua untuk penaburan abu  setelah yang pertama pada Maret lalu yang tidak saya ikuti.  Ketika itu saya belum tinggal bersama keluarga Eliana. Tentu saya sangat tertarik bergabung untuk prosesi ini. Tapi yang membuat saya sedikit  ragu ketika Jessica meminta saya memakai topi kertas berwarga merah.  Saya melihat anggota rombongan lain juga memakai topi kertas yang sama, meski warnanya berbeda-beda. Saya tidak paham mengapa harus memakai topi kertas ini.  Untuk menjawab keraguan, saya bertanya langsung kepada Jessica.

“Apakah memakai topi ini merupakan keharusan? Apakah ini bagian dari kepercayaan ateis?”

Bagi saya pertanyaan ini penting, karena sebagai muslim, haram bagi saya membaur diri untuk ritual kepercayaan lain. Sebatas observasi, tentu bisa saja. Islam sangat menghormati agama orang lain, tapi tegas melarang umatnya mencampur baurkan ritual Islam dengan agama lain. Dalam hal sosial, Islam adalah agama toleran, tapi dalam hal syariat, Islam sangat ketat.

Situasi ini sejak dulu sudah saya terapkan dalam keluarga saya. Istri saya seorang muallaf keturunan China. Sanak familinya banyak yang beragama budha. Jika ada familinya yang meninggal dunia, biasanya istri saya datang menjenguk dan ikut dalam prosesi pemakaman. Jika prosesi itu masih sebatas adat, ia ikut bergabung. Tapi jika berbau ritual agama, ia pasti memisahkan diri. Saya sangat bersyukur, sebab istri saya sangat memahami ini. Ia tahu kapan bergabung dengan sanak familinya dan di mana harus memisahkan diri.

Masalah ini terkait pula dengan topi yang harus dipakai untuk penaburan jenazah Richard Thompson itu. Saya ingin memastikan apakah topi ini bagian dari ritual ateis atau sekedar aksesoris semata.

“Topi ini hanya untuk artistis saja. Anda bisa pakai, bisa pula tidak. Ini bukan keharusan, bukan pula ritual kami. Sebagai ateis kami tidak punya ritual tetap. Hanya suka-suka saja,”  jelas Jessica. Mendengar jawaban itu, saya akhirnya memakai topi keras tersebut dan ikut berbaur dengan mereka naik sampan menuju ke tengah danau.

Setelah Lima belas menit mendayung, kami akhirnya sampai ke tengah.  Semua biduk disatukan dengan tali agar tidak terpisahkan oleh ombak. Setelah itu prosesi pun dimulai.  Adalah Eliana yang mengawalinya dengan pidato singkat tentang pesan-pesan suaminya sebelum meninggal.  Wanita tua itu terlihat sedih. Terkadang ia menunduk mengatasi suaranya yang terputus-putus karena tangis. Hanya lima menit ia berbicara. Hal utama yang ia sampaikan adalah pesan Richard agar  hiduplah dengan damai, dan jangah menyakiti orang lain.

Usai Eliana memberi sambutan, lalu disusul  sambutan dari rekan-rekan mereka. Semuanya  menceritakan kisah berkesan bersama Richard semasa hidupnya.

Setelah itu penaburan abu jenazah dimulai.  Eliana yang pertama. Ia mengambil segenggam abu  jenazah yang ada di kaleng dengan tangan telanjang, lalu ditaburkan ke tengah sungai.  Selanjutnya kaleng abu itu diberikan kepada Jessica, dan Jessica melakukan hal yang sama. Rekan dan sahabat mereka yang lain juga mendapat giliran. 

Saya sempat ditawarkan, tapi saya tolak.  Tidak semua abu di dalam kaleng itu ditaburkan ke danau. Masih banyak abu tersisa dan di bawa pulang untuk disimpan di rumah Eliana.  Rencananya mereka kembali menaburkan abu itu di Squam Lake pada pertengahan 2015.

Saya sendiri heran mengapa penaburan abu tidak sekaligus saja, seperti tradisi orang India.  Lagi-lagi Jessica menjadi sasaran pertanyaan saya.  Jawabanya sederhana.  “Itu maunya ibu saya. Tidak ada aturan yang pasti, ya suka-suka kami.” Katanya.

Soal prosesi di tengah danau itupun bukan merupakan tradisi ateis. “Kami mau seperti itu, ya, kami laksanakan. Yang penting tidak ada yang terusik,”tambah Jessica.  Pemilihan Squam Lake sebagai tempat penaburan abu janazah  juga atas keputusan bersama keluarga itu, mengingat semasa hidupnya Richard Thompson sangat menyukai danau itu. Ia kerap mengajak keluarga dan sahabatnya  menghabiskan liburan di danau itu.

Richard adalah seorang professor ahli fisika di Univeritas Massachusetts. Ia seorang yang cukup terpandang di Amherst. Punya banyak teman,  dan seorang pengikut ateis fanatik. Ia kerap menjadi pembicara pada pertemuan komunitas ateis di kota itu. Setelah kepergiannya, giliran Eliana yang kerap menggantikan posisinya sebagai tokoh ateis di Amherst.

Eliana turut pula mendukung hadirnya ‘gereja-geraja’ ateis di Amerika. Setelah mengikuti pembukaan gereja ateis pertama di California pada Oktober 2013, Elinana turut pula mendukung pendirian  rumah ibadah  ateis di kota lain, seperti  di San Diego, Nashville , New York dan kota-kota lain di Amerika. Sampai 2014, paling tidak sudah ada sekitar 20 ‘rumah ibadah’ ateis di Amerika Serikat, atau sekitar 30 rumah ibadah di seluruh dunia.

Lewat pertemuan mingguan di rumah ibadah ini, sesama ateis Amerika  aktif membina persahabatan dan memperluas komunitas mereka.  Pada tahun mendatang, diperkirakan komunitas  ini terus berkembang di negeri Paman Sam itu. ***

Penulis sedang mengikuti fellowship toleransi dan kebebasan beragama di Massachusetts, Amerika.

Baca juga:

BAGIAN 1: Mereka Menolak Tuhan dan Mengagungkan Energi  

BAGIAN 2: Bermula dari Kekecewaan Terhadap Perilaku Umat Beragama  

BAGIAN 3: Pernikahan dan Kematian bagi Orang Ateis

BAGIAN 4: Pengikut Ateis Kini Terbesar Ketiga di Dunia setelah Islam 

BAGIAN 5: Cara Ateis Membangun Jaringan

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Ekspansi Rumah Ibadah dan Solidaritas Sesama…

Komunitas Ateis Juga Punya Gereja

Cara Ateis Membangun Silaturrahmi dan Menjaring…

Pengikut Ateis Kini Terbesar Ketiga di…

Pernikahan dan Kematian bagi Orang Ateis

HEADLINE

Tujuh Tahun Hasil UN Aceh Dibawah Rata-rata Nasional

AUTHOR