17 March 2015

Ketua KPPA Pusat Abu Razak ngopi bersama kominitas China Aceh di Peunayong beberapa waktu lalu | Foto: Qahar Muzakar/The Atjeh Times
Ketua KPPA Pusat Abu Razak ngopi bersama kominitas China Aceh di Peunayong beberapa waktu lalu | Foto: Qahar Muzakar/The Atjeh Times
politek
Berharap pada Partai Aceh
01 March 2014 - 18:10 pm
Etnis Tionghoa di Peunayong mempercayakan harapan mereka kepada Partai Aceh untuk diperjuangkan, merawat dan memperkuat perdamaian

KAMARUDIN Abu Bakar dikerumuni orang-orang bermata sipit. Pagi itu, sambil menyeruput kopi Aceh racikan kedai kopi milik warga Tionghoa Peunayong, para lelaki bermata sipit antusias berbincang dengan Aburazak. Ia adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Aceh (DPA) Partai Aceh sekaligus Ketua Komite Pemenangan Partai Aceh (KPPA) untuk pemilu legislatif 2014.

Pagi Jumat, 14 Februari 2014,  di tengah suasana gaduh dan riuh, perbincangan berlangsung santai. Di sebelah meja tempat kopi hitam dan beberapa penganan basah disajikan, orang-orang berlalu lalang. Dialog dalam bahasa Khe (salah satu suku bangsa China) menyeruak dari para pedagang kaki lima di emperan toko dan  di bawah tenda-tenda sederhana itu. Bayangkan saja seperti pasar rakyat di film-film Mandarin.

Maklum, silaturahmi sambil menikmati kopi pagi itu berlangsung di sebuah gang sempit di belakang Pasar Kartini, Peunayong, Kota Banda Aceh.

Lokasi ini memang tempat berkumpulnya para komunitas etnis Tionghoa Peunayong sebelum mereka memulai rutinitas sehari-hari. Umumnya warga Tionghoa Banda Aceh memang mendiami kawasan Peunayong. Mereka antara lain berasal dari suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya. Kegiatan perdagangan di “Pecinan Town” Banda Aceh ini memang didominasi oleh warga Tionghoa.

“Di sini kita selalu ramai. Kita biasa ngopi di sini dari jam tujuh sampai jam sembilan,” kata Yap Min Fo, 37 tahun, salah seorang warga etnis Tionghoa yang ikut berkumpul pagi itu. Ia duduk di meja para perempuan, di antaranya ada Cut Fatma Dahlia, caleg DPRA dari Partai Aceh. Mereka asyik berbincang-bincang akrab, seperti sudah saling kenal.

Di meja lain, Aburazak juga ditemani oleh pengurus Partai Aceh, di antaranya Wen Rimba Raya selaku Wakil Ketua KPPA Pusat, dan Hendra Budiansyah pengurus Partai Aceh Kota Banda Aceh yang juga maju sebagai caleg DPRK Banda Aceh.

“Kalau Aceh ingin maju, kita harus berani lakukan perubahan,” kata Kho Khie Siong kepada Aburazak. Laki-laki yang biasa disapa A Khi itu adalah Ketua HAKKA Aceh, sebuah kelompok Tionghoa Han terbesar di Indonesia. Dengan nada serius, A Khi menyampaikan beberapa masukannya kepada Aburazak untuk diperjuangkan melalui Partai Aceh.

A Khi ditemani beberapa rekannya yang lain, ada A Khek selaku Ketua Komunitas Tionghoa Peunayong, Keuchik Peunayong Sharifuddin Adi, serta sejumlah tokoh Tionghoa Aceh lainnya. Mereka mengaku sudah sejak lama menaruh harapan besar kepada Partai Aceh. Di pemilu legislatif 2009, Partai Aceh unggul dalam perolehan suara di kawasan ini.

“Kita ingin Partai Aceh menang. Perdamaian yang sudah tercipta saat ini sudah sangat bagus,” kata Ha Chi, 63 tahun, warga Kampung Laksana, Banda Aceh. Bagi Ha Chi, kondisi Aceh setelah adanya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia sangat menguntungkan semua masyarakat Aceh, termasuk etnis Tionghoa yang menetap di bumi Serambi Mekah.

Karena itu A Chi berharap kondisi Aceh yang aman dan damai seperti sekarang ini dapat terus berlangsung selama-lamanya. “Kalau Aceh aman, cari uang enak. Jalan ke mana pun gampang. Semua bisa hidup tenang,” kata Ha Chi yang mengaku berprofesi sebagai pedagang di Peunayong. 

Yap Min Fo juga mengaku menaruh harapan yang sama tentang perdamaian Aceh yang berlangsung selamanya. Kepada Aburazak ia memperkenalkan diri, dan mengaku pernah tinggal di kawasan Teupin Raya, Pidie, kampung asal Aburazak.

“Kita ini kan warga Aceh. Lahir dan besar di sini. Kalau Aceh aman, pembangunan berjalan lancar. Tidak ada yang ribut-ribut,” kata dia.

Lôn aneuk Aceh,” ujar laki-laki tua bermata sipit itu penuh semangat. Namanya A Liong, lebih dikenal dengan panggilan A Liong Es Krim. Ketika The Atjeh Times mengajaknya berbincang dengan bahasa Indonesia, A Liong menyahut dengan bahasa Aceh.

A Liong, salah seorang warga etnis Tionghoa Peunayong lainnya juga mengatakan dirinya siap mendukung Partai Aceh. “Orang Aceh, ya Partai Aceh,” kata A Liong. Disinggung soal bahasa Acehnya yang fasih, buru-buru ia menjawab, “Masak tinggal di Aceh enggak bisa bahasa Aceh!” kata laki-laki yang mengaku lahir di Aceh itu.

Umumnya para perwakilan etnis Tionghoa yang mengikuti silaturahmi dengan pengurus Partai Aceh pagi itu menyampaikan harapan yang sama tentang kelanggengan perdamaian Aceh. Tentu saja, tanpa kondisi Aceh damai sekarang ini, sulit bagi para etnis Tionghoa Aceh pada umumnya, dan khususnya di Banda Aceh, untuk menjalani hari-hari mereka. Apalagi dalam dunia bisnis, kondisi daerah yang aman dan nyaman tentu menjadi syarat utama.

“Iya itu penting,” kata Aburazak menanggapi masukan yang disampaikan para perwakilan masyarakat etnis Tionghoa kepadanya. Menurutnya, harapan yang disampaikan warga etnis Tionghoa tersebut juga merupakan harapan masyarakat Aceh pada umumnya. Harapan itu sejalan dengan komitmen Partai Aceh untuk terus menjaga dan memperkuat perdamaian.

“Sejak konflik dulu, kita dengan orang China ini tidak ada masalah apa-apa, aman selalu. Dan sekarang Partai Aceh selalu membuka diri untuk siapa saja, termasuk orang China,” kata Abu Razak. “Dan kita harap orang-orang China kelahiran Aceh yang sudah berhasil di luar, kita himbau kepada mereka untuk pulang ke Aceh dan menjalankan bisnisnya.”

Khususnya di Aceh, keberadaan warga etnis Tionghoa bukanlah hal baru. Begitu pula umumnya di seluruh Indonesia dan hampir di seluruh negara di dunia. Banyak warga etnis Tionghoa di Aceh yang mengaku turun-temurun menetap di daerah yang kini menerapkan syariat Islam. Banyak juga dari mereka yang kini telah memeluk Islam.

Bagi yang masih menganut agama lama, menjadi minoritas di Aceh yang terkenal dengan aturan Islam yang kuat tidak menjadi kendala menjalani kehidupan sehari-hari mereka. "Selama ini kita nyaman-nyaman saja. Kan pemberlakuannya bukan untuk nonmuslim, meskipun begitu, sebagai nonmuslim kita menjaga juga," ujar A Khi. Bagi dia dan rekan-rekannya yang lain, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Warga Aceh juga membuka diri terhadap warga etnis Tionghoa. Hendra Budiansyah, caleg Partai Aceh yang merupakan anak almarhum Cut Nur Asikin itu mengaku memiliki banyak teman dari etnis Tionghoa saat dulu bersekolah di SMP 9 Peunayong, Banda Aceh.

Dalam keseharian pun Hendra mengaku sering berhubungan dengan beberapa kolega bisnisnya dari etnis Tionghoa. “Dunia perhotelan di Peunayong kan ramai yang dikelola oleh orang China. Kita sering komunikasi dengan mereka. Ya, kebanyakan memang  dalam kegiatan bisnis,” kata Hendra.

Atas dukungan yang diberikan oleh warga etnis kepada Partai Aceh, khususnya kepada dirinya yang maju sebagai caleg DPRK Banda Aceh, Hendra mengatakan bahwa dirinya mengaku memiliki harapan yang sama. Ke depan ia akan memperjuangkan harapan-harapan yang disampaikan itu.

Cut Fatma Dahlia juga mengaku sering berkomunikasi dengan beberapa warga etnis Tionghoa Peunayong. Beberapa waktu lalu misalnya, ia diundang pada acara pembagian sembako yang diadakan di kawasan Peunayong. Pada kesempatan lain juga pernah dilaksanakan acara donor darah.

“Dari dulu kita memang akrab dengan mereka,” kata Cut Fatma yang maju sebagai caleg Partai Aceh Dapil I, meliputi Banda Aceh, Sabang, dan Aceh Besar.[]

Editor:

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Adi Laweung Ajak Mahasiswa Bikin Penelitian…

Mahasiswa LPSR Teliti Perdamaian Aceh

[SURAT]: Pemerintah Pusat Ingkari Aceh

Mualem Lantik Pengurus Baru DPW PA…

[FOTO]: Wagub Mualem Kunjungi Pembangunan Masjid…

HEADLINE

Kata Mereka tentang Dinasti Gubernur Zaini

AUTHOR