13 April 2015

Fatma cicit Syaikh Al Kalaliy memperlihatkan foto leluhurnya. @Irman I. Pangeran/atjehpost.co
Fatma cicit Syaikh Al Kalaliy memperlihatkan foto leluhurnya. @Irman I. Pangeran/atjehpost.co
reusam
Kampung Arab di Lhokseumawe
Irman I. Pangeran
30 August 2014 - 18:10 pm
“Saya sempat tinggal di rumah itu saat masih kecil, tinggal bersama ibu saya. Saat berpergian, dulu kami naik sado yang ditarik dengan kuda. Sado peninggalan Al-Kalaliy,” ujar Fatma.

Rumah beton itu memiliki pekarangan amat luas. Di halaman rumah tumbuh subur pohon kelapa, mangga, sawo, bak mee (asam jawa), kedondong, dan lainnya. Ada pula balai pengajian, tempat wuduk, dan leusong atau peralatan tradisional untuk menumbuk padi.

Di muka kompleks rumah itu ada pintu gerbang terbuat dari kayu tebal dan lebar. Pintu gerbang tersebut baru dapat dibuka jika ditarik menggunakan tali oleh dua orang dewasa. Di bagian tengah pintu gerbang, ada pintu kecil seukuran badan anak kecil.

Itulah kompleks rumah Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy, ulama yang juga saudagar keturunan Arab di Lhokseumawe. “Setelah Al-Kalaliy meninggal dunia tahun 1946, rumah itu ditempati ibu saya, Sarah, salah seorang cucu Al-Kalaliy,” kata Fatma, 54 tahun, ditemui di rumahnya, Lorong Panti Asuhan, Desa Hagu Selatan, Lhokseumawe, belum lama ini.

“Saya sempat tinggal di rumah itu saat masih kecil, tinggal bersama ibu saya. Saat berpergian, dulu kami naik sado yang ditarik dengan kuda. Sado peninggalan Al-Kalaliy,” ujar Fatma.

Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ia pernah bertamu ke rumah Al-Kalaliy pada tahun 1930. Dalam sebuah artikelnya yang dimuat majalah Panji Masyarakat tahun 1976, Hamka menyebut ketika itu ia masih berusia 22 tahun, mendampingi ayahnya, Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam perjalanan melawat ke Aceh.

“Sempat kami singgah di Lhokseumawe. Syaikh Muhammad Salim bin Al-Kalali menjamu makan ayahku di rumah beliau. Kelihatan beliau sudah tua,” tulis Hamka.

Lokasi rumah yang pernah dikunjungi Hamka dan merupakan tempat Fatma menghabiskan masa kecilnya itu kemudian beralih menjadi Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. “Tanah lokasi rumah Al-Kalaliy diwakafkan oleh Hamidah, salah seorang anak Al-Kalaliy untuk panti asuhan anak yatim sekitar tahun 1960-an,” ujar Fatma.

Panti Asuhan Muhammadiyah di Desa Hagu Selatan didirikan tahun 1968. “Lokasi musalla sekarang, dalam kompleks panti asuhan, dulunya rumah Al-Kalaliy,” kata Ustadz Baihaqi, mantan pimpinan panti asuhan yang menetap di tempat itu sejak 1990 silam.

Kawasan Hagu Selatan saat ini dulunya dikenal sebagai Kampung Arab. Sebab banyak keturunan Al-Kalaliy yang menetap di desa ini. Sampai sekarangpun, sebagian warga Hagu Selatan menyebut keturunan Al-Kalaliy yang masih hidup sebagai orang Arab. “Ada orang Arab yang tinggal di sini, kami memanggilnya Buk Fat (Fatma, cicit Al-Kalaliy),” kata Saifuddin, 30 tahun, warga Lorong Panti Asuhan, Hagu Selatan.  

Menurut Fatma, Lorong Panti Asuhan sekarang dulunya berupa jalan setapak. Di bibir jalan setapak itu tepatnya di ujung sebelah barat, dulunya ada rumoh (rumah) Aceh milik Al-Kalaliy. Rumoh Aceh tersebut kemudian dibongkar oleh Khaidir, salah seorang cucu Al-Kalaliy. Khaidir, kata Fatma, lantas membangun rumah beton dan dijual kepada orang lain.

“Dulu dari Kampung Jawa sampai Desa Hagu Barat Laut (Hagu Selatan berada di antara dua desa itu), ada kebun kelapa milik Al-Kalaliy. Semasa hidupnya, selain mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat, beliau juga saudagar. Rumah saya ini, dulunya gudang kopra Al-Kalaliy,” ujar Fatma.

Jarak rumah Fatma dengan panti asuhan (bekas rumah Al-Kalaliy) hanya dipisahkan Lorong Panti Asuhan.

Maulana Al-Fajri dan Husaini Usman, warga Keude Aceh dan Kutablang, Lhokseumawe juga menyebut dulunya kebun kelapa terbentang dari Kampung Jawa, Hagu Selatan hingga Hagu Barat Laut.

“Saat masih kecil, saya sering bermain ke Hagu Selatan. Di sana luas sekali kebun kelapa, dan kawasan itu disebut Kampung Arab karena banyak orang keturunan Arab, keluarga Al-Kalaliy,” kata Husani Usman, 49 tahun.

Selain memiliki kebun kelapa, Al-Kalaliy memelihara kerbau cukup banyak. “Al-Kalaliy ekspor kopra (daging kelapa yang dikeringkan), pinang, dan kulit kerbau ke Penang Malaysia lewat Pelabuhan Lhokseumawe (Pantai KP3 Lhokseumawe sekarang),” kata Abdul Azis, 80 tahun, salah seorang cucu Al-Kalaliy yang sekarang menetap di dekat Pantai Hagu Selatan.

Al-Kalaliy juga bergerak di bidang impor. “Beliau bawa pulang kain dari Penang untuk dijual di Lhokseumawe dan sekitarnya,” ujar Abdul Azis.

Hamka menyebut Al-Kalaliy memiliki usaha dan harta benda di Cirebon, Jawa Barat, selain cabang usaha ekspor impor di Lhokseumawe. “Di Pulau Pinang dia mempunyai usaha yang diberi nama Pulau Pinang Al-Kalali & Co,” tulis Hamka dalam salah satu artikelnya yang dimuat majalah Panji Masyarakat tahun 1976.

Menurut Abdul Azis, cabang usaha ekspor impor Al-Kalaliy di Lhokseumawe lenyap tanpa bekas setelah Al-Kalaliy tiada. Yang tersisa di Hagu Selatan hanya makam dan beberapa orang  keturunannya. Sebutan “Kampung Arab” pun tinggal kenangan.[]

Baca juga:

Syaikh Al-Kalaliy Pembaharu yang Terlupakan

Al-Kalaliy Direktur Majalah Islam Pertama di Asia Tenggara

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Kampung Arab di Lhokseumawe

Al-Kalaliy, Direktur Majalah Islam Pertama di…

HEADLINE

Cara Orang Aceh Tempo Dulu Menamakan Sebuah Gampong

AUTHOR

Berziarah ke Makam Pocut Baren
Boy Nashruddin Agus

Jejak Kuil yang Telah Lama Hilang…
nationalgeographic.com