20 March 2015

Lafarge
Lafarge
Printed
Menghirup Debu-Debu Lafarge
Murdani Abdullah
27 December 2014 - 08:00 am
Keberadaan pabrik semen di Lhoknga masih disorot negatif. Masih menyisakan debu.

UMURNYA sudah hampir berkepala lima. Namun ototnya masih terlihat kekar. Urat di sekujur tubuh menjalar bagai akar tumbuhan. Kulitnya sawo matang akibat sering terbakar sinar matahari.

Tangan kanannya memegang palu. Ada bekas tanah di sana. Beberapa kali dia mengayun benda itu guna menumbuk batu ukuran besar.

Kemudian terdengar suara, prok! prak! Batu-bata itu pecah, hancur menjadi beberapa potong kecil.

Ali tersenyum senang. Tangan kirinya mencekat peluh yang mulai membasahi wajah.

“Kiban neuchie coba singoh (Bagaimana mau coba sekali-red),” ujar Ali tiba-tiba.

Ya, Kakek Ali merupakan salah seorang pencari batu gunung. Pekerjaan ini dilakoninya jauh sebelum tsunami melanda Aceh. “Ada sekitar 25 tahun. Namun tempatnya yang pindah-pindah. Tergantung ada tidaknya batu gunung,” ujar Ali pertengahan Desember lalu.

Tugas Kakek Ali hanya memecahkan batu besar sehingga berukuran kecil. Batu hasil olahannya akan dibeli oleh pemilik truk kayu. Kemudian dijual kembali untuk warga yang ingin mendirikan bangunan. “Hasilnya cukuplah untuk sehari-hari. Karena kalau ikan tinggal kita cari di laut,” ujarnya sambil menunjuk ke arah Pantai Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.

Ya, lokasi “kerja” Kek Ali memang tak jauh dari Pantai Lhoknga. Tepatnya di Desa Naga Umbang, Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.

“Dulu di sini mudah mencari batu. Namun sejak perusahaan semen berdiri, sudah susah. Beberapa area sudah diklaim milik mereka. Warga tak bisa sembarangan masuk, apalagi mencari batu,” kata Ali lagi dengan nada datar. Tangannya membakar sebatang rokok serta dihirupnya dalam-dalam.

Perusahaan semen yang dimaksud Ali adalah Lafarge Cement Indonesia. Jarak antara pabrik itu dengan lokasi Ali berdiri dapat ditempuh dalam hitungan menit.

Ali mengaku masih ingat benar keadaan Naga Umbang jauh sebelum perusahaan semen berdiri.

“Dulu di sini banyak kebun. Pohonnya pun besar-besar. Namun kini banyak yang sudah tumbang. Saya sering ke sini dibawa ayah saya. Udaranya segar,” katanya.

“Tak ada warga yang kaya karena perusahaan semen. Dari dulu, pekerjaan saya hanya seperti ini,” ujarnya lagi sambil kembali mengayun palu. Prok! prok! prok!

+++

PERUSAHAAN semen di Lhoknga bernama Lafarge Cement Indonesia. Dulunya bernama Semen Andalas Indonesia atau disingkat SAI. PT SAI berdiri sejak 1980 dan mulai melakukan penambangan sejak 1983.

Hasil penelusuran The Atjeh Post, sejak berdirinya, PT SAI hingga 2004 telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar perusahaan, terutama di Desa Naga Umbang.

Usai tsunami menerjang Aceh, Lafarge Cement Indonesia kemudian mengambil alih kepemilikan PT SAI dengan kucuran dana $ 150 juta atau Rp 1,4 triliun untuk pabrik baru, dan $ 17 juta untuk pembuatan terminal pengepakan.

Pabrik yang berlokasi di Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar ini mampu memproduksi 1,6 juta ton semen per tahun. Namun masalah tak juga selesai. Rata-rata masyarakat di sana menderita penyakit Ispa atau sesak pernafasan.

Pencemaran lingkungan dari debu perusahaan tetap terjadi hingga kini. Limbah dan debu tetap mengganggu masyarakat setiap hari.

Tak hanya itu, eksploitasi air dalam skala besar karena penggunaan batubara oleh perusahaan tersebut menyebabkan debit air yang diambil dari Sungai Pucok Krueng yang terletak tak jauh dari Naga Umbang menurun drastis.

“Pepohonan mati, air menjadi keruh, dan banyak masyarakat menderita Ispa,” ujar Raihal Fajri, tokoh masyarakat Lhoknga.

Raihal Fajri menilai, keberadaan Lafarge di Aceh hanya meninggalkan efek negatif bagi masyarakat. “Hanya meninggalkan debu dan limbah,” kata aktivis LSM ini.

Raihal mengatakan, keberadaan PT Lafarge Cement Indonesia di daerahnya tidak memberi efek positif bagi Lhoknga dan Aceh pada umumnya.

“Hanya menyedot kekayaan alam Aceh dan kemudian dibawa ke Sumatera Utara. Di sana itu, ada kantor perwakilan Lafarge Indonesia, sedangkan yang ada di Lhoknga itu hanya pabrik,” ujar alumnus UIN Ar-Raniry ini.

“Istilahnya, hanya pabrik dan limbah untuk Aceh,” kata Raihal lagi.

Karena hanya pabrik, ujar Raihal lagi, Aceh juga tak mendapat apa pun, termasuk pajak. “Karena kantor perwakilan Lafarge berada di Medan, maka pajak pun mengalir ke sana. Masalah mereka bayar pajak atau tidak, itu hanya Lafarge dan Tuhan yang tahu,” ujarnya lagi.

Dirinya meminta Pemerintah Aceh bersikap tegas terhadap Lafarge Cement Indonesia. Salah satunya dengan meminta perusahaan tersebut mendirikan kantor di Aceh sesuai dengan harapan Gubernur Aceh Zaini Abdullah.

“Kalau hanya meninggalkan debu dan limbah untuk Aceh, untuk apa dipertahankan?” ujar Raihal Fajri.

 +++++

CERITA tentang PT Lafarge Cement Indonesia di Lhoknga tak hanya soal debu. Perusahaan itu ternyata juga kurang berkontribusi terhadap Aceh.

Di Indonesia, Lafarge Cement Indonesia berkantor pusat di Jakarta dan kantor perwakilan di Sumatera Utara. Dengan kata lain, pajak Lafarge Cement Indonesia hanya masuk untuk Jakarta dan Sumatera Utara, sedangkan di Aceh hanya pabrik untuk mengolah material tambang.

Hal ini diakui oleh pimpinan Lafarge Cement Indonesia saat bersilaturahmi dengan sejumlah wartawan media cetak, online dan elektronik di The Pade Hotel, Aceh Besar, awal Oktober 2014 lalu.

Saat itu hadir Mr. Antony Ricolfi selaku Country Lafarge Cement Indonesia, Mr Dae-Ho lee selaku Plant Manager Lafarge Indonesia, dan beberapa staf lainnya. “Di Lhoknga hanya pabrik,” ujar Mr. Antony Ricolfi.

Anehnya, Antony juga mengaku hasil tambang Aceh setelah pengepakan kembali dijual ke masyarakat Aceh. “Mayoritas di Aceh dan sebahagian kecil di Sumatera Utara. Saya menargetkan satu dari tiga penduduk di Aceh pasti membeli semen kita,” ujar Antony Ricolfi.

Antony juga mengatakan perusahaan itu saat ini sedang memproduksi semen sebanyak 1,6 juta ton per tahun melalui pabriknya di Lhoknga. Ke depan rencananya akan ditambah menjadi 2,1 juta ton per tahun.

Penambahan ini tentu saja disertai dengan peningkatan eksploitasi bahan baku semen dari lokasi tambang yang juga merupakan perkampungan penduduk, Desa Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga.

Dengan kata lain, bahan baku diambil dari Aceh, kemudian dikemas dengan rapi, lalu dijual kembali ke masyarakat Aceh dengan harga yang membumbung tinggi, sedangkan pajaknya mengalir ke luar daerah.

Sayangnya, terkait hal ini sejumlah pejabat Aceh bungkam. Mereka enggan berkomentar mengenai pajak Lafarge Cement Indonesia. “Belum bisa berkomentar,” ujar Kepala Dinas Pertambangan Aceh, Said Ikhsan.

Kepala Biro Ekonomi Setda Aceh, Dr. Muhammad Raudhi, M.Si. mengatakan, belum memahami secara detail mengenai keberadaan PT Lafarge di Aceh. "Sejauh ini saya belum mengetahui tentang keberadaan PT Lafarge karena kami hanya menerima laporan umum saja," ujar Muhammad Raudhi.

Menurut Muhammad, ia hanya mengetahui keberadaan PT tersebut sejak diganti namanya menjadi PT Lafarge. "Sejauh ini yang mengetahui masalah kontribusi itu dinas perpajakan karena kami hanya menerima laporan umum saja secara resmi," ujarnya lagi.

Sebelumnya, Kepala Humas Kantor Wilayah Ditjen Pajak Aceh, Mahmud Yunus juga pernah mengatakan PT Lafarge Cement Indonesia merupakan Perusahaan Modal Asing (PMA).

Menurutnya, setiap pajak yang dikeluarkan perusahaan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kantor Pajak Aceh. “Saya tidak bisa beri keterangan masalah pajak pabrik semen itu (PT Lafarge Cement Indonesia), dan masalah pajak itu rahasia sebuah perusahaan,” kata Mahmud Yunus saat ditemui di ruang kerjanya di Kantor Ditjen Pajak Provinsi Aceh, Jumat, 29 Agustus 2014 lalu.

Dia mengatakan yang berhak memberikan keterangan masalah pajak PMA hanya kantor Pajak Pusat di Jakarta.

Terkait kondisi ini, anggota DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky, mengatakan sikap yang ditunjukkan Lafarge Cement Indonesia sangat tidak etis. Imbas dari kebijakan ini mengakibatkan pemasukan pajak untuk Aceh dinilai minim atau tidak ada sama sekali.

“Itu sangat tidak etis. Istilahnya, berak di Aceh, tapi rumah di Sumatera Utara,” ujar Iskandar, Jumat, 21 November 2014.

Seharusnya, kata Iskandar, Aceh mendapat nilai tawar yang lebih tinggi. Pasalnya, lokasi eksploitasi bahan baku semen Andalas selama ini berada di Lhoknga. “Masak kekayaan alam Aceh diambil, tetapi Aceh tidak mendapat berkah apa pun. Seharusnya pajak tetap mengalir untuk Aceh,” katanya.

Kata Iskandar, PT Lafarge Cement Indonesia juga harus menyalurkan zakar melalui Baitul Mal Aceh. Tujuannya, agar masyarakat miskin di Aceh juga turut merasakan hasil alamnya.

“Kalau itu pun tidak ada, berarti eksekutif harus menegur perusahaan ini. Komitmen kita, setiap perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam Aceh harus memiliki kantor di Aceh, bukan cuma pabrik,” ujarnya.

++++

KEK Ali mengaku tak mengharapkan apa-apa dari pabrik Lafarge Cement Indonesia di Lhoknga. Dia hanya tak ingin pekerjaannya diganggu.

Meunyoe nyoe diganggu, nyan barô tapeuleumah ata awai (kalau ini diganggu. Baru kita perlihatkan ilmu dulu),” ujarnya sambil memperagakan gerak silat.

Kek Ali memiliki 3 orang anak. Istrinya meninggal saat tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.

Anaknya tertua hanya lulusan SMA dan kini telah berkeluarga serta pindah ke tempat tinggal istrinya. Adapun dua anaknya yang lain sedang menempuh pendidikan di salah satu  universitas di Kota Banda Aceh.

“Yang laki-laki biasanya sering membantu saya di sini. Kebetulan tak datang. Sedangkan yang tua pernah melamar di pabrik semen, namun tak lolos entah karena apa,” ujarnya.[]

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Menghirup Debu-Debu Lafarge

HEADLINE

KONI Aceh; Momentum untuk Melaju

AUTHOR

Mengenal Dewan Aceh Dari PAN
Boy Nashruddin Agus