13 April 2015

Pondok tempat Nurhayati tinggal bersama suami dan anaknya di Bukit Amor, Bener Meriah | Foto: YAS/ATJEHPOST.com
Pondok tempat Nurhayati tinggal bersama suami dan anaknya di Bukit Amor, Bener Meriah | Foto: YAS/ATJEHPOST.com
meukat
Romantika di Amor; Kisah Pahit Perempuan Kopi Gayo
Yuswardi A. Suud
19 April 2014 - 20:42 pm
Industri kopi di dataran tinggi Gayo tak lepas dari sentuhan halus para perempuannya. Inilah potret hidup kaum perempuan yang ikut berperan melambungkan nama kopi Gayo di jajaran kopi terlaris dunia.

Jemari perempuan muda itu menari-nari, berpindah dari satu pohon kopi ke pohon lain. Setiap buah kopi yang sudah merah, tak luput dari sentuhan tangannya. Dalam sekejap, biji-biji kopi itu berpindah ke sebuah ember di tangan kirinya.

Pagi itu, Sasmita, perempuan muda pemetik kopi itu, seolah berpacu dengan waktu. Setiap embernya penuh, segera saja ia kosongkan, lalu kembali lagi untuk memenuhi ember berikutnya.

Aku bertemu Sasmita dalam balutan kabut tipis pada sebuah pagi pertengahan Desember lalu. Ia tak sendirian. Bersama kakaknya, Asiah, 28 tahun, ia memetik kopi di ladang Acong, seorang kepala sekolah di kampungnya. Sesekali tangannya menyeka keringat yang mengucur dari dahinya.  Saat sedang memetik kopi, Sasmita seperti melupakan hal-hal lain dalam hidupnya.  Ia tak banyak bicara. Senyumnya hanya sesekali mengembang ketika aku mencoba menggodanya.

Pada usia yang baru 21 tahun, Sasmita harus menerima kenyataan berpisah dengan suami yang menikahinya saat umurnya masih 14 tahun. Anak satu-satunya hasil pernikahan dini itu ikut diboyong sang suami, meninggalkan Sasmita bersama kakaknya dan kedua orang tua mereka di rumah gubuk berlantai papan dan berlantai tanah.

“Kalau tidak kerja begini, dari mana uang untuk makan. Kalau dulu masih ada suami, sekarang kalau tidak cari sendiri dari mana duitnya,” kata Asiah,  sang kakak yang juga bernasib sama dengan Sasmita, ditinggalkan suaminya tiga tahun lalu.

Kebun-kebun kopi di sekitar rumahnya adalah tempat Sasmita dan Asiah bergantung hidup. Sayangnya, musim panen kopi hanya datang setahun sekali, dari bulan Desember hingga Maret. Pada bulan-bulan lain, mereka praktis tak punya pekerjaan lain.

Sebagai buruh pemetik kopi, Sasmita dan Asiah mendapat upah sesuai hasil kerjanya. Makin banyak yang dipetik, makin banyak pula uang yang diperoleh. Saban hari, mereka rata-rata bisa memetik antara 5 sampai 6 kaleng isi 10 kilogram. Setiap kaleng mereka mendapat upah Rp15 ribu.

“Kalau lagi musim panen begini hasilnya lumayan, bisa dapat sampai 70 ribu rupiah sehari. Cukuplah untuk makan,” kata Sasmita sambil terus memetik kopi.

Celakanya, tak setiap musim panen hasilnya melimpah.  Jika sudah begitu, mereka hanya pasrah pada nasib. Sebagai buruh harian, mereka tidak mendapat tunjangan apa pun. “Jika sedang sakit ya tidak kerja. Kalau tidak kerja berarti tidak ada uangnya. Jadi buruh dilarang sakit,” kata Sasmita sambil tertawa getir.

***

Editor: Yuswardi A. SuudHalaman: 12345

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Kepala Bappeda: Tanaman Kopi Gayo Terancam…

Unik, Perampok Bank Berhenti Untuk Ngopi

Brownies dan Roti Pao Rasa Kopi…

Jus Kopi Durian, Cara Lain Menikmati…

Kopi, dari 'Minuman Setan' ke 'Minuman…

HEADLINE

Kabar Gembira! Pameran Batu Akik Kembali Digelar di Aceh

AUTHOR