24 March 2015

Makam Teungku Dibitay @atjehpost
Makam Teungku Dibitay @atjehpost
reusam
Riwayat Kampung Turki di Aceh
Boy Nashruddin Agus
29 January 2014 - 11:40 am
Nama Gampông Bitai berasal dari kata Baital Maqdis di Palestina. Sejarahnya berkaitan erat dengan Turki.

SEBUAH gapura bertuliskan “Selamat Datang di Pemukiman Bulan Sabit Merah, Bitai-Emperom” berdiri kokoh di atas badan jalan. Saat The Atjeh Times berkunjung Senin pekan lalu, suasana Gampông Bitai lengang. Di kiri dan kanan jalan terlihat beberapa rumah dengan lambang bulan sabit di bubungan atap.

Bentuk rumah nyaris seragam. Maklum saja, rumah ini bantuan Turki yang diberikan kepada korban bencana tsunami 2004 lalu. Lambang bulan sabit merupakan bendera Turki. Sekretaris Gampông Bitai Syahrul Bayani mengatakan, negara dari Eropa itu membangun 238 rumah untuk korban tsunami.

Gampông Bitai berada dalam Kecamatan  Jaya Baru, Banda Aceh. Jumlah penduduk 950 jiwa. Desa ini berjarak sekitar empat kilometer dari Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Gampông itu memiliki banyak lorong kecil, salah satunya tertulis Jalan Tgk. Di Bitay. Panjang lorong sekitar 200 meter. Di ujungnya, ada kompleks pemakaman. Di gerbangnya terpampang tugu bertuliskan “Selahaddin Mezarligi, Makam Teungku Di Bitay”.

Dari ratusan makam di dalam kompleks, 25 di antaranya bernisan segi delapan. Nisan-nisan itu berisi ukiran kaligrafi. Selain itu juga ada sebuah makam besar dipasangi keramik. Informasi yang diperoleh dari warga, di makam itulah jasad Sultan Salahuddin dikuburkan. Sultan Salahuddin pernah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Namun, ada juga yang menyebutkan, makam Sultan Salahuddin berada dalam sebuah bangunan di kompleks tersebut.

***

GAMPÔNG Bitai dulunya belantara. Ini kata Razimah, penjaga kompleks makam. Ia mendengar cerita itu dari orang tuanya. Menurut Razimah, berdasarkan tulisan di salah satu makam, di kompleks itu memang terdapat kuburan Sultan Salahuddin. Sultan Salahuddin inilah, kata Razimah, yang dikenal dengan sebutan Teungku Di Bitai yang berasal dari Turki. Keterangan itu berbeda dengan referensi sejarah.

Menurut Razimah, Bitai dulunya pusat pendidikan agama untuk perlengkapan perang. Selain itu, Bitai juga dijadikan tempat pembuatan senjata dan gudangnya dulu ada di Desa Emperoom. “Sedangkan untuk senjata seperti pedang, tombak lainnya dirakit di Gampông Pande,” ujar Razimah.

Saat itu, kata dia, banyak raja dari berbagai pelosok daerah menuntut ilmu agama Islam di Bitai. Salah satunya, Sultan Iskandar Muda, Sultan Deli, Raja Meureuhom Daya, bahkan ulama dari Palestina serta Persia.

***

DARI beberapa catatan sejarah, Bitai didirikan oleh pasukan Turki yang diutus ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam. Kala itu, Khalifah Turki Utsmani berhasil merebut Konstantinopel dari tangan kaum Salib.

Pasukan Turki dipimpin Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi. Ia kemudian dikenal sebagai Tengku Syech Tuan Di Bitai. Namun, belum diketahui pasti tahun berapa pasukan Turki mendarat di Bitai.

Nama Bitai ditabalkan pasukan Turki untuk mengenang asal mereka dari Bayt Al-Maqdis, nama lain Yerussalem tempat Masjid Al-Aqsa di Palestina. Bitai berdekatan dengan Emperoom. Nama Emperoom juga diberikan pasukan Turki, diambil dari kata imparium atau kerajaan.

Merujuk catatan sejarah, Sultan Salahuddin Ibn Ali Malik az Zahir merupakan putra sulung Raja Aceh Sultan Mughayat Syah. Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menyebutkan Sultan Salahuddin memerintah sejak 1528 hingga 1539. Masih menurut Lombard, Sultan Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548.

Sultan Salahuddin berteman dengan Muthalib Ghazi yang diutus Sultan Selim dari Turki. Setelah Salahuddin mangkat, Muthalib Ghazi berwasiat agar ia dimakamkan berdekatan dengan temannya itu di Kompleks Makam Tuanku Di Bitai sekarang.

Sultan Aceh setelah Salahuddin, Alauddin Ibn Ali Malik az Zahir atau Alauddin Riayat Syah al-Qahar, juga pernah mengikat hubungan dengan Turki. Saat itu Turki mengirimkan bantuan dua kapal perang dan 500 pekerja untuk mengelola kapal.

Di antara 500 pekerja, terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal perang ukuran besar dan kecil. Mereka juga mampu membuat meriam ukuran besar. Selain itu, Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan militer lainnya untuk Aceh. Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada 1566 atau 1567. Alat-alat militer ditukar dengan lada Aceh lewat perjanjian dagang yang harmonis. Lada itu diantar delegasi Aceh ke Turki. Para utusan mampu meyakinkan Turki tentang keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di nusantara.

Peneliti sejarah C. R. Boxer mencatat, negosiasi soal keuntungan mengerucut pada armada Portugis di Malaka. Delegasi Aceh, kata Boxer, menilai keuntungan perdagangan dapat tercapai bila Portugis diusir oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki. Inilah sebab, 500 tentara Turki mendarat di Bitai dan mendirikan perkampungan militer di sana.[]

Editor:

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

[FOTO]: Eksotisme Gua Bersejarah yang Disulap…

MUI: Serial King Suleiman Berpotensi Resahkan…

Turki Bakal Ganti Kampus Jadi Kuliyye

Aceh Travelogue to Istanbul Dinilai Bisa…

Setelah 9 Abad, Akhirnya Turki Izinkan…

HEADLINE

Cerita Ribuan Merpati Hindari Kabah

AUTHOR