Nama Syahrizal Syahbuddin bukanlah nama yang asing bagi pendukung Persija Jakarta. Sejak 2013, pemain yang kini berusia 21 tahun tersebut, telah menjadi bek andalan tim berjuluk ‘Macan Kemayoran’.
Dua musim di Persija, Syahrizal menorehkan 2231 menit bermain dari 33 pertandingan yang dijalaninya. Jumlah tersebut terbilang sangat banyak untuk ukuran pemain yang usianya masih muda ini. Namun, jika menilik kemampuannya, akanlah sangat wajar Syahrizal mendapat banyak kesempatan bermain. Saat kontraknya bersama Persija tak diperpanjang pun dengan cepat mendapat pinangan dari Mitra Kukar.
Satu hal yang mungkin tak diketahui banyak orang, Syahrizal pernah menimba ilmu di Paraguay pada periode 2008 hingga 2011. Bahkan ia direkrut oleh klub Divisi II Paraguay, Trinidense.
Syahrizal adalah salah satu dari sekian banyak pemuda Aceh alumni Paraguay yang kemudian berhasil memunculkan namanya di kancah sepakbola Indonesia. Namun, apakah keberhasilan Syahrizal menembus tim utama papan atas ISL ini menjadi bukti keberhasil program tersebut? Tidak, jika dilihat dari sudut pandang rakyat Aceh.
Awalnya, Syahrizal dan ke-29 temannya dikirim ke Paraguay bertujuan untuk memajukan sepakbola Aceh yang semakin terpuruk dari masa ke masa. Lewat Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Aceh, program ini digagas mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf. Tentunya pemain-pemain ini diproyeksikan untuk mengangkat kembali marwah sepakbola Aceh di masa depan.
Namun, program ini tak bisa dilanjutkan karena tak adanya biaya lanjutan. Maklum, program ini telah menghabiskan sekitar 42,5 milyar rupiah selama tiga tahun program ini berjalan. Karena tak berjalan sesuai rencana, akhirnya para pemain ini pun tercerai berai setelah kembali ke Indonesia pada 2012.
Tak jelasnya program ini dimanfaatkan oleh beberapa klub di luar Aceh pada saat ini. Selain Syahrizal yang membela Persija setelah tak mendapatkan kepastian masa depan, Zikri Akbar pun mengadu peruntungannya bersama Persita Tangerang sejak 2013.
Namun, nasib pemain yang pernah bergabung dengan CASLA, tim Divisi I Argentina, ini tak semujur Syahrizal. Karena selama dua musim bebaju ‘Pendekar Cisadane’, ia hanya bermain sebanyak 16 kali. Padahal, menurut Sergio Sanchez, pelatih tim Aceh kala di Paraguay, Zikri memiliki kemampuan untuk bermain di Liga Eropa jika berkembang dengan baik.
Jalwandi adalah pemain berikutnya yang kini mulai berkiprah di ISL. Ia menyusul Zikri Akbar dengan bergabung Persita pada musim lalu. Namun setali tiga uang dengan Zikri Akbar. Jalwandi yang ketika bermain di Paraguay membela Fernandi de la Mora, klub Divisi II, tak mendapatkan kesempatan bermain yang cukup. Ia hanya melakoni enam pertandingan dan lima di antaranya masuk sebagai pemain pengganti.
Di tempat lain, Rahmanuddin yang satu tim bersama Syahrizal di Trinidense, kini menjadi kiper ketiga di Semen Padang. Jika Rahmanuddin bermain di tim senior, Rahmad Maulana dan Muarif yang juga pernah direkrut Trinidense dan Fernandi de la Mora, bermain untuk Semen Padang U-21 yang menjadi juara ISL U-21 musim ini.
Bryan Muharram dan Zoel Fadli yang satu tim bersama Muarif dan Jalwandi di Fernandi de la Mora, kini bermain di tim Divisi Utama. Bryan yang bisa bermain di posisi bek atau pun gelandang bermain untuk Persitara Jakarta Utara, sementara Zoel Fadli yang juga pemain tengah, bermain untuk klub Jakarta lainnya, Villa 2000.
Tentunya hal di atas sangat disayangkan bisa terjadi karena tak sesuai dengan tujuan awal pembentukan tim pemuda Aceh ke Paraguay. Justru sebaliknya, para pemuda Aceh alumni Paraguay ini malah berkarir di tim luar Aceh. Dari sekian banyak pemain, hanya beberapa pemain saja yang kemudian bermain untuk klub Aceh.
Andri Muliadi, Randy Rizki, dan Hadina Rivaldi, kini membela Persiraja Banda Aceh di Divisi Utama. Sementara itu, Taufiq Aqsor dan Andrea Lirival, membela Bank Aceh. Sisanya, hanya bermain untuk klub-klub lokal yang tak berkompetisi di kompetisi resmi Liga Indonesia.
Padahal, pemain lainnya pun sebenarnya memiliki potensi yang cukup baik. Saat di Paraguay, mereka yang kala itu berusia di bawah 15 tahun, berhasil mengalahkan timnas U-15 Paraguay dengan skor 1-0.
Tak hanya itu, anak-anak berbakat ini pun menjadi juara pada kompetisi Arafura Games yang digelar di Australia pada 2011. Bahkan ketika itu, puja-puji dilemparkan dari penonton, “Tim Aceh bermain luar biasa, mereka memainkan sepakbola yang indah,” ujar salah seorang penonton berkewarganegaraan Australia seperti yang dikutip dari Tribunnews.com.
Lalu, ketika berusia 18 dan 19 tahun, beberapa pemain tim Aceh lulusan Paraguay ini sempat mengantarkan PSSB Bireun finish di urutan ke-5 pada Divisi Utama Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) pada musim 2011-2012.
Maka dari itu, sangatlah aneh jika pada akhirnya bibit-bibit unggul Aceh ini dinikmati oleh bukan klub Aceh. Sebenarnya, banyak pihak yang menyarankan agar tim Aceh alumni Paraguay ini dibentuk dalam satu tim, lalu diikutsertakan dalam kompetisi-kompetisi resmi di Indonesia. Mereka juga disarankan untuk dipersiapakan sebagai tim Aceh pada PON 2016. Namun, karena program yang tak jelas dan tak ada dukungan lanjutan dari pemangku kebijakan, para pemain Aceh lulusan Paraguay ini pun akhirnya harus menentukan masa depannya sendiri.
Syahrizal, Zikri Akbar, Jalwandi, Rahmanuddin, Rahmad Maulana dan Muarif adalah sedikit pemuda Aceh lulusan Paraguay yang beruntung karena kini bisa melanjutkan karir bersama tim ISL. Bagaimana dengan belasan rekan setim lainnya? Talenta-talenta berbakat mereka terancam sia-sia.
Editor: Murdani Abdullah