PRESIDEN Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Banda Aceh, Sayed Fuad, menilai perubahan nilai anggaran di Rencana Kerja Anggaran KUA PPAS tanpa sepengetahuan DPRA oleh SKPA akibat mempertahankan ego eksekutif.
"Pihak ekselutif menampakkan ego dari persaingan sebelumnya, seolah terjadi ego kepentingan. (Perubahan anggaran untuk-red) menampakkan kekuatan supremasi eksekutif," katanya kepada ATJEHPOST.co, Senin, 2 Februari 2015.
Dia berharap permasalahan ini tidak berlarut-larut dan meminta semua pihak harus sinergis demi masa depan Aceh.
"Antara legislatif dan eksekutif memiliki kelebihan dan kekurangan, jadi kelebihan dan kekurangan ini bisa saling menutupi untuk masa depan Aceh yang lebih baik," katanya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh ATJEHPOST.co, Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) melalui Bappeda secara tiba-tiba mengajukan Rancangan Kebijakan Anggaran (RKA) dengan belanja modal untuk PT. Investa sebesar Rp60 miliar dan PDPA Rp20 miliar.
“Kebijakan ini dimasukkan dalam RKA. Sempat terjadi perdebatan alot di Bappeda dengan Banggar DPR Aceh. Namun akhirnya disahkan pada Sabtu 31 Januari 2015,” ujar sumber ATJEHPOST.co di Bappeda Aceh yang minta namanya dirahasiakan ini, Minggu 1 Februari 2015.
Selain itu, kata sumber ini, dalam RKA juga ditambahkan belanja tambahan pegawai sebesar Rp100 miliar lebih. Anggaran ini muncul dari kebijakan Bappeda yang memotong ratusan anggaran kegiatan publik.
“Lebih jelasnya coba tanya sama Pak Abu (Abubakar-Kepala Bappeda),” ujar sumber ini.
Sebagaimana diketahui, TAPA mengusulkan anggaran untuk PT. Investa dalam KUA PPAS sebesar Rp125 miliar.
Sedangkan PDPA sebesar Rp25 miliar. Namun anggaran ini kemudian di-nol-kan oleh Komisi III DPR Aceh.
Sayangnya, Gubernur Zaini kemudian ngotot agar tetap ada alokasi anggaran untuk PT. Investa dan PDPA. Gubernur Zaini meminta PT. Investa dialokasikan sebesar Rp25 miliar dan PDPA sebesar Rp5 miliar.
Jika kebijakan ini tak ditampung, Gubernur Zaini menolak menandatangani nota kesepakatan KUA PPAS. DPR Aceh akhirnya menampung usulan ini tapi dengan syarat pencairan dana baru bisa dilakukan setelah kedua perusahaan ini melakukan pembenahan manajemen.
Namun perkembangan terbaru, modal PT. Investa tiba-tiba naik menjadi Rp60 miliar dan PDPA Rp20 miliar. Kenaikan ini tercantum dalam RKA 2015. Kebijakan ini juga tanpa sepengetahuan dewan.
PT. Investa dan PDPA merupakan dua perusahaan daerah Aceh. Kedua perusahaan ini dijabat oleh keluarga dari Gubernur Zaini. Imran A. Hamid, adik ipar Gubernur Zaini menjabat sebagai direktur di PDPA. Sedangkan komisaris utama PT. Investa adalah Hasbi Abdullah.
Selain PT Investa dan PDPA, pembengkakan anggaran juga terjadi di Korpri Aceh. Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Iskandar Usman Al Farlaky, SHI, mengatakan pagu anggaran Korpri dalam Rincian Kegiatan Anggaran (RKA) SKPA 2015 mengangkangi kesepakatan pembahasan KUA PPAS. Hal ini disampaikan Iskandar Usman Al-Farlaky, ketika dimintai keterangannya mengenai perkembangan pembahasan RKA SKPA dengan mitra Komisi DPR, di sela- sela sidang paripurna satu di gedung DPRA, Sabtu, 31 Januari 2015 sore.
“Kita memang sudah memasuki masa persidangan. Tapi banyak kita temukan pagu dalam RKA yang diajukan pihak Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) tidak sesuai dengan hasil pembahasan masa KUA/PPAS. Ini salah satu bukti inkonsistensi pihak eksekutif dalam pembahasan anggaran dan memaksa kehendak untuk kepetingan mereka,” ujar politisi muda Partai Aceh ini.
Iskandar mengatakan awalnya Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) awalnya memberikan plafon sebesar Rp 5.667.233.390., untuk DPP Korpri Aceh. Namun dalam pembahasan KUA/PPAS bersama, komisi 1 DPRA keberatan dengan anggaran yang dikelola oleh Korpri.
”Ini kan hanya organisasi pengayuban PNS, sebagai wadah koordinasi dan pembinaan. Kenapa pula harus besar plafonnya. Kita ketahui juga ada ada iuran khusus dari anggota, maka kita bersepakat untuk mengurangi pagu plafonnya agar dialihkan ke kegiatan lain yang lebih bermanfaat,” katanya.
Iskandar mengatakan, Komisi I DPR Aceh kemudian mengurangi pagu anggaran Korpri menjadi Rp.2.667.233.390. Sementara sisa pagu anggaran Korpri yang dipotong dialihkan ke program lain, seperti Rp 2 miliar ke Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Aceh untuk pembangunan kantor keuchik.
DPR Aceh juga mengalihkan Rp 1 miliar anggaran pemotongan Korpri ke Kesbang dan Linmas dalam rangka mendukung sejumlah kegiatan, di antaranya program konsolidasi perdamaian Aceh, serta pemberdayaan masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
”Namun, anehnya dalam penyampaikan dokumen RKA pihak Korpri Aceh mencatat angka di luar kesepakatan pembahasan awal yakni sebesar Rp 6.311.859.833,. Ini sungguh sangat aneh. Untuk apa juga dibahas dengan dewan jika angka plafon sesuka hati pihak eksekutif. Fungsi kita jelas dalam hal budgeting (penganggaran). Ini sangat memaksa kehendak, padahal ada hal lain yang lebih penting,” ujar Iskandar yang juga Ketua Banleg DPR Aceh.
Atas persoalan tersebut, Iskandar menilai, eksekutif telah memaksakan kehendak dan tidak mengindahkan kesepakatan yang dilakukan dengan DPRA. Menurutnya anggaran yang digunakan “haram” karena bukan hasil kesepakatan bersama yang dibahas baik tingkat komisi dan badan anggaran dewan.
Di sisi lain, Iskandar juga mengatakan masih munculnya sejumlah persoalan yang berdampak tidak baik bagi penyerapan belanja anggaran Aceh. Ia mencontohkan di antaranya gubernur melalui tim TAPA masih belum mengajukan proram anggaran yang terperinci dan menyentuh kepada kepentingan publik. Bahkan, kerap kegiatan yang diusul lebih kepada belanja pegawai sehingga persentase kebutuhan publik yang terserap lebih kecil.
Lalu, katanya, alokasi untuk pembangunan infrastruktur fisik sebagaimana juga telah disampaikan dalam pandangan Banggar DPRA, juga menjadi catatan penting yang harus menjadi perhatian gubernur. Menurutnya belum terjadi ploting dana pemerataan pembangunan, berdampak tidak baik bagi keadilan pembangunan yang sustainable di Aceh.
“Kita berharap, usulan masyarakat sebagaimana yang telah disepakati dalam KUA/PPAS agar tidak dikurangi atau diubah tanpa kesepakatan bersama kembali dengan pihak badan anggaran dewan. Konon perubahan anggaran yang dilakukan tidak mebingungkan dan berdasarakan kepetingan sepihak para SKPA,” katanya.
Dia menambahkan, kedepan, agar tidak terjadinya benturan usulan yang serupa di masing- masing SKPA serta lemahnya serapan program yang berimplikasi buruk visi dan misi pemerintah. Maka, kedepan rekomendasi P2K APBA bagi SKPA yang berapor hijau, kuning dan merah agar dapat ditindaklanjuti oleh gubernur.
“Begitu pula dengan jargon pengentasan kemiskinan yang disampaikan dalam nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun anggaran 2015 masih sebatas isapan jempol yang aplikasi di lapangan patut dipertanyakan kembali. Misalnya, pekerjaan pengawasan baik dari dana otsus dan APBA belum sepenuhnya dikerjakan oleh perusahaan lokal. Dampaknya banyak putera/puteri Aceh yang bekerja di perusahaan lokal tidak terberdaya dengan baik,” kata Iskandar Usman Al-Farlaky.[] Laporan: Muzakir Pase
Editor: Boy Nashruddin Agus