TERLETAK di pusat kota Banda Aceh, kediaman dinas Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, ini tak begitu jauh dari Masjid Raya Baiturrahman.
Jika di daerah lain menyebut pendopo, di Aceh akrab dengan nama meuligo yang bermakna mahligai. Bangunan ini peninggalan sejarah, bekas istana Sultan Aceh yang kemudian dibangun lagi pada masa penjajahan Belanda pada 1881.
Berbahan baku kayu besi, istana di kompleks kerajaan Aceh ini jadilah rumah petinggi Belanda. Adalah Gubernur Militer dan Civil, Letnan Jenderal K. Van der Heijden yang pertamakali bermukim di sini. Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), rumah ini sempat dihuni Dai Nippon, Jenderal Mayor Syozaburo Lino.
Dari situlah, para petinggi penjajah mengatur scenario penghancuran Aceh. Menggerogoti dari berbagai sisi, seperti membungkam politik, melumpuhkan ekonomi, membabat alam, juga menista kebudayaan, dan mencoba menghancurkan ajaran Islam di Aceh. Tentu ada yang menjadi hamba sahaya, penjilat penjajah, dan juga cuak.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, meuligo menjadi rumah dinas gubernur Aceh. Di sinilah Gubernur Aceh Zaini Abdullah kini berada, setelah sebelumnya ia bermukim di Swedia selama puluhan tahun.
Sebelum rezim Zaini berkuasa, sangat mudah masuk ke tempat bersejarah itu. Gerbang terbuka lebar. Penjaganya ramah-ramah, bahkan mampu menuntun pengunjung yang ingin tahu cerita sejarah Meuligo Aceh.
Bahkan siapapun bebas masuk ke dalam halaman walaupun hanya buat menumpang shalat di mushala yang dibangun di atas Krueng Daroy di belakang Meuligo.
Kini, gerbangnya tertutup rapat. “Mau cari siapa!” seorang petugas menghardik wartawan The Atjeh Post berdiri di dekat gerbang, sekitar pukul 15.15 WIB, pertengahan Januari 2015 lalu.
Bertampang sangar, dan kelihatannya sangat irit senyum. “Hana ureung (tidak ada orang),” spontan dia menjawab saat bertanya Gubernur Zaini.
Ditanya soal Akhyar, seorang ajudan yang sekaligus keponakan Niazah A. Hamid, istri Gubernur Zaini. “Akhyar hana ciet (Akhyar tidak ada juga),” katanya lagi. Telepon selular Akhyar tidak aktif. Begitu juga Muzakir A. Hamid, adik ipar Zaini yang juga staf khusus gubernur Aceh.
Meminta izin masuk ke dalam, si penjaga langsung menggelengkan kepalanya. Tangannya mengisyaratkan agar segera beranjak dari gerbang.
Menuju ke bagian depan meuligo. Di sini ada dua gerbang, yang semuanya tertutup. Hanya bisa melihat kursi yang berjejer di kiri kanan beranda depan. Pos jaga yang berada di sebelah kiri halaman, agak masuk ke dalam. Jadi kalau mau minta izin masuk, harus berteriak dari luar. Jelas percuma saja, selain tak ada yang menghiraukan, salah-salah bisa ditabok penjaga pula.
Zaini memfungsikan rumah dinas ini sekaligus menjadi tempat kerja. Di sinilah Zaini memimpin rapat-rapat yang dianggap penting. Sedangkan ke kantor Gubernur Aceh yang terletak di Lampineung, Banda Aceh, Zaini hampir-hampir tak pernah berkunjung, kecuali untuk melantik pejabat saja.
***
Editor: Murdani AbdullahHalaman: 123