Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi, mengatakan Presiden Joko Widodo harus ekstra hati-hati dengan siapa pun yang ditemuinya, termasuk Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Sebab, koalisi Prabowo pun berpotensi menikungnya.
"Politik itu bukan tempat orang berbuat baik, tapi cara bersiasat untuk kepentingan orang banyak," ujarnya, Jumat, 30 Januari 2015.
Jokowi dan Prabowo bertemu di Istana Bogor pada Kamis, 29 Januari, pukul 14.00 WIB. Prabowo mengaku datang ke Istana Bogor untuk silaturahmi dengan Presiden. Pertemuan tersebut merupakan pertama kalinya sejak Jokowi dilantik.
Pertemuan tersebut, menurut Kristiadi, merupakan cara Jokowi mencari dukungan kepada pihak di luar koalisinya sebagai penyeimbang. Di sisi lain, Jokowi dituntut untuk memperhitungkan langkahnya. "Jokowi butuh dukungan, butuh orang yang membenarkan kebijakannya."
Mungkinkah Jokowi akhirnya benar-benar didukung penuh oleh koalisi Prabowo secara permanen lalu diikut oleh perombakan kabinet? Kecil kemungkinannya, kendati dalam politik tak ada yang mustahil. Dalam skala yang jauh lebih kecil, terjadi dalam politik di DKI Jakarta ketika Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kini sudah menjadi Gubernur) berpindah sokongan dari Partai Gerindra ke PDI Perjuangan.
Ahok keluar dari Gerindra dan kini mengandalkann dukungan PDIP. Padahal ia jelas diusung oleh partai yang didirikan oleh Prabowo itu saat mencalonkan sebagai wakil gubernur mendampingi Jokowi.
Sekretaris Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana menilai hal itu manuver itu tak akan mengubah konstelasi politik. Menurut dia, Jokowi tak akan meninggalkan partai yang mengusungnya sebagai presiden. Bila dilakukan bisa geger. “Ini rumit dan bisa menimbulkan dinamika politik yang tidak terkendali,” katanya, Kamis, 29 Januari 2015. | Sumber: tempo.co
Editor: Murdani Abdullah