SENYUMNYA mengembang. Dari ja-rak beberapa meter saya melihat sorot matanya yang berbinar. Berbalut longdress ungu motif bunga-bunga, dipadu kerudung polos warna senada, kesan feminim begitu kental dalam dirinya.
Gadis yang ada di depan saya itu adalah Inong Banda Aceh 2014. Namanya Zahratul Fajri, akrab disapa Era. Orangnya supel dan mudah bergaul, itulah kesan yang saya dapatkan setelah dua kali bertatap muka dengannya. Petang Senin, 31 Maret lalu saya dan Era berjanji bertemu di tempat wisata favoritnya, Kapal Apung.
Sesaat kemudian kami segera memasuki pintu gerbang dan menyusuri jembatan tajuk di sisi sebelah kiri, berdekatan dengan lokasi Taman Edukasi. Bagi gadis yang dinobatkan sebagai Inong Banda Aceh (Duta Wisata) pada 22 Maret 2014 lalu ini, objek wisata tsunami Kapal Apung sangatlah istimewa.
“Ini salah satu bukti bahwa bencana tsunami yang pernah melanda Aceh, khususnya Banda Aceh sangat dahsyat,” katanya.
Yang dikatakan Era memang benar. Awalnya kapal besar ini berada di perairan Ulee Lheue Banda Aceh. Namun tsunami yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004 lalu telah menyeret kapal yang bobotnya 2,6 ribu ton itu terdampar hingga empat kilometer jauhnya. Kini, kapal yang awalnya berfungsi sebagai kapal generator listrik itu berada tepat di tengah-tengah pemukiman padat penduduk di Gampông Punge, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.
Setelah Kapal Apung menjadi salah satu objek wisata andalan tsunami, Era lantas menjadikannya sebagai destinasi wisata favorit. Sebenarnya, jauh sebelum ia mengemban tugas sebagai seorang duta wisata, Era juga sudah melakoni tugas sebagai promotor wisata. “Era pernah beberapa kali membawa tamu bule ke tempat ini,” katanya.
Awal April lalu putri pasangan Zardan Araby dan Zuraini Mahyidin ini baru saja menyelesaikan program coas-nya di Badan Layanan Umum Daerah Zainoel Abidin, Banda Aceh. Agustus 2014 mendatang Era akan diwisuda sebagai dokter. Setelah itu gadis kelahiran Banda Aceh 23 Januari 1991 ini baru akan mulai meniti kariernya di dunia kesehatan.
“Era ingin menjadi akademisi dan klinisi (praktisi kesehatan),” ia membeberkan rencana karirnya di masa mendatang.
Selidik punya selidik, ternyata ada kebiasaan-kebiasaan yang berubah dari gadis semampai ini sejak menjadi duta wisata. Selama menyelesaikan program coas misalnya, rekan-rekan dan dokter tempat ia bertugas lebih sering memanggilnya dengan sebutan ‘duta’. Bukan menyebut langsung namanya.
“Yang biasanya suka heboh sekarang lebih dijaga lagi sikapnya,” ujarnya tertawa.
Era juga bersyukur orang-orang di sekelilingnya sangat mendukung aktivitas barunya.
“Beberapa dokter spesialis di rumah sakit ikut memberi ucapan selamat begitu tahu Era terpilih sebagai Inong Banda Aceh 2014,” kata gadis yang bercita-cita ingin jadi Menteri Kesehatan ini.
Pembantu Dekan III FK Unsyiah juga ikut memberi ucapan selamat kepadanya. Bahkan sang Dekan langsung menelepon orang tuanya setelah mengetahui kabar tersebut.
Bagi Era apresiasi yang diberikan orang-orang di sekitarnya adalah pelecut bagi dirinya dalam menjalankan tugas dengan baik.
Dalam menjalankan tugasnya selama setahun mendatang, Era berpasangan dengan Agam Fathur Maulana. Kedua anak muda ini sama-sama senang berorganisasi. Rasa tidak puas dan keinginan untuk terus mencari tantangan barulah yang mengantarkan keduanya pada posisi sekarang.
Era dan Fathur Maulana juga memiliki latar belakang akademis dari dunia kesehatan. Jika Era sudah menyelesaikan studinya di Prog-ram Studi Kedokteran, Fathur masih tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Psikologi di fakultas yang sama. Saat ini agam kelahiran Lhokseumawe, 23 Oktober 1991 ini sudah duduk di semester delapan. Ia juga sedang bersiap-siap untuk menyelesaikan tugas akhirnya.
“Rencananya ingin mengangkat psikologi kebencanaan untuk membuat skripsi,” ujar penyuka traveling ini.
Ketertarikannya pada mitigasi bencana rupanya menjadi motivasi awal dalam mengikuti seleksi calon Agam Inong Banda Aceh yang dibuat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh, pada Februari lalu. Fathur ingin proses edukasi kebencanaan bisa dimaksimalkan me-lalui sejumlah objek wisata tsunami yang ada di Banda Aceh. Ini tak lain karena Aceh berada di lokasi yang rawan terjadinya gempa bumi.
“Saya juga ingin membuat Sahabat Museum,” kata Agam Banda Aceh yang bercita-cita jadi praktisi kebencanaan ini.
Keinginan ini menurutnya berawal dari kegelisahannya melihat minimnya minat masyarakat untuk berkunjung ke Museum Aceh. Padahal, museum menyimpan berbagai kekayaan sejarah yang perlu diketahui oleh generasi muda saat ini. Mereka yang tergabung dalam Sahabat Museum ini nantinya akan menjadi relawan yang bertugas sebagai tour guide.
Setelah didaulat sebagai Agam Inong Banda Aceh 2014, keduanya mulai menyusun rencana. Divisi-divisi untuk memudahkan pembagian tugas dan tanggung jawab dibentuk, misalnya divisi Historical Tourism, Tsunami, Spiritual, Art & Cultural, dan lain-lain. Selamat bertugas ya![] sumber: Majalah Diwana Koetaradja
Editor: Boy Nashruddin Agus