KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memprioritaskan pengungkapan kasus boat mesin Cina dari Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Aceh.
Hal ini merupakan tindaklanjut dari KPK terkait laporan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengenai kasus pengadaan boat di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh. Kasus tersebut kini menjadi salah satu prioritas KPK.
"Sudah masuk Pulbaket, pengumpulan data-data laporan," ujar Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, Rabu, 28 Mei 2014.
Dia mengatakan, meski masih mengumpulkan data-data laporan namun KPK menjadikan kasus ini sebagai prioritas. Namun, kata Askhal, untuk target kapan kasus ini akan membutuhkan waktu.
"Pengumpulan data dugaan korupsi di DKP ini membutuhkan waktu. Tapi GeRAK telah menerima surat resmi dari KPK terkait kasus ini," katanya.
Sebelumnya, DKP Aceh diduga dililit masalah. Di Banda Aceh, nelayan penerima boat bantuan harus merogoh kocek hingga Rp200 juta untuk menambah fasilitas. Sementara di Aceh Timur, sebuah kelompok nelayan menuding telah terjadi penggelembungan harga (mark up) dalam pembuatan boat.
"Setelah kita terima, nelayan harus mengeluarkan biaya hingga Rp200 juta untuk memperbaikinya lagi, seperti diperbaiki bak, perbaiki katrol, jika tidak ketika melaut mesinnya lompat-lompat, dan kami tidak bisa menggunakan seperti itu," kata Tabrani Sulaiman alias Abu Salam, Panglima Laot Lhok Krueng Aceh, Banda Aceh, Jumat 16 Mei 2014.
Sebenarnya, kata Tabrani, bantuan yang diberikan sudah baik, namun banyak fasilitas boat yang harus dilengkapi lagi oleh nelayan. "Beda memang boat bantuan dengan boat pribadi,boat bantuan banyak yang tidak sesuai dengan keinginan kita," ujarnya.
Begitupun, selama ini banyak pemberian boat tidak tepat sasaran. Sebenarnya yang berhak menerima adalah orang pesisir. Namun, kenyataannya banyak yang terima orang yang berasal dari daratan.
"Mereka bangga menerima boat itu, ketika ingin menggunakan tidak tahu caranya. Sementara kami (masyarakat pesisir) satu baut kurang kami terima," katanya.
Jika demikian, nelayan Aceh tidak akan berkembang. "Kalau mau beri harus tepat sasaran," ujarnya.
Persoalan lain adalah, ketika pembuatan boat para kontraktor tidak pernah melibatkan para nelayan. "Seharusnya pemerintah memanggil nelayan, karena nelayan mengetahui apa yang kurang dan yang harus ditambah," katanya.
Dia berharap, pemerintah bisa bijak dalam memberi bantuan boat kepada nelayan. "Jangan kepada nelayan disuruh potong ternak lembu, sementara orang daratan disuruh melaut. Tidak akan jalan itu," ujar dia lagi dalam bahasa Aceh.
Sementara itu, salah satu Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) nelayan, Syarifuddin Ishak kepada ATJEHPOSTcom beberapa waktu lalu, juga menuding adanya dugaan mark up terkait pengadaan boat bantuan ini.
"Hasil perkiraan kita, pembuatan boat tersebut hanya menghabiskan biaya sekitar Rp700 juta. Sementara informasi yang kita peroleh, anggaran untuk pembuatan boat bantuan itu lebih kurang berkisar Rp1,5 miliar dan bersumber dana dari Otsus tahun 2013. Dan adapun perusahaan yang melaksanakan pembuatan boat ini adalah CV Bandar Nusa Grup," kata Syarifuddin Ishak kepada wartawan, Rabu 26 Februari 2014 lalu.
Informasi yang diperoleh ATJEHPOSTcom, kasus boat bantuan ini sudah didengar oleh Gubernur Zaini. Bahkan Doto Zaini juga sudah memanggil Kepala DKP Aceh, Raihanah.
“Kepala DKP Aceh sempat menangis karena mendapat teguran keras dari Doto Zaini,” ujar sumber ATJEHPOSTcom di lingkup Pemerintah Aceh.
Sedangkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh yang sebelumnya dilaporkan sempat menangani kasus boat ini telah menghentikan pemeriksaan proyek pengadaan boat 'mesin Cina' dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Pihaknya berpendapat, dalam pengadaan itu tim verifikasi tidak menemukan indikator yang merugikan negara.
"Pemeriksaannya sudah kita hentikan karena tidak ada temuan," kata Asisten Intelijen Kejati Aceh, M. Ravik SH,. MM, kepada ATJEHPOSTcom, Selasa, 20 Mei 2014.
Berita terkait:
Kapal Ikan Bermesin Cina dari DKP Aceh: Rontok Sebelum Beroperasi