27 March 2015

Masjid Teungku Di Anjong @ATJEHPOST.co/Heri Juanda
Masjid Teungku Di Anjong @ATJEHPOST.co/Heri Juanda
reusam
Masjid di Aceh Ini Pernah Jadi Pusat Manasik Haji di Asia Tenggara
Ihan Nurdin
05 September 2014 - 17:20 pm
Masjid ini didirikan pada abad ke-18 oleh seorang ulama besar yang berasal dari Yaman

MUSIM haji kembali tiba. Tahun ini ada 3.045 calon jamaah haji berasal dari Aceh. Mereka mulai diberangkatkan sejak 19-26 September 2014 yang terbagi menjadi tujuh kelompok terbang.

Sebelum berangkat ke tanah suci untuk menunaikan perkara kelima rukun Islam itu, seseorang yang berniat berhaji haruslah mengetahui tata cara menjalankan ibadah haji dengan benar yang dikenal dengan istilah manasik haji.

Masyarakat Aceh yang ingin menunaikan ibadah haji umumnya belajar manasik haji di dayah (pesantren) atau di masjid. Sejak dulu, dayah dan masjid dikenal sebagai institusi penting bagi masyarakat Aceh. Bahkan, julukan Serambi Mekkah yang ditabalkan pada provinsi di ujung barat Indonesia ini merupakan ‘sumbangan’ dari aktivitas manasik haji yang dilakukan seorang ulama Aceh pada abad ke-18.

Sebelum berangkat ke tanah suci Mekkah melalui jalur laut di Selat Malaka, calon jamaah haji dari seluruh Nusantara dan Semenanjung Malaya pada masa itu terlebih dahulu belajar manasik haji di dayah milik Teungku Di Anjong. Dayah itu terletak di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Letaknya persis di mulut Selat Malaka yang bersebelahan dengan Krueng Aceh. Di dayah itu Teugku Di Anjong juga mengajar mengaji kepada murid-muridnya.

Nama asli ulama tersebut adalah Al Quth Al Habib Sayyid Abu Bakar bin Husin Bilfaqih. Jejak ulama besar ini dapat kita lihat dari keberadaan Masjid Teungku Di Anjong. Bangunan bergaya lama yang didominasi warna putih dan hijau ini terdiri dari tiga lantai yang membentuk kerucut. Dibandingkan dengan model masjid lainnya di Banda Aceh, bentuk dan bangunan masjid ini terbilang unik.

 Sebelum hancur oleh terjangan tsunami, seluruh bangunan masjid terbuat dari kayu, lantainya terbuat dari tegel berbahan dasar tanah, dan atapnya terbuat dari seng yang mempunyai ketebalan sampai dua centimeter.

Setelah tsunami, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh merenovasi masjid ini. Seluruh bangunannya dibuat dari beton. Tiang-tiang yang dulunya berasal dari kayu berganti menjadi tiang-tiang beton berdiameter 50 centimeter. Ada 12 tiang yang berfungsi sebagai peyangga bangunan masjid. 

Sebelum direnovasi lantai masjid ini dulunya tidak rata seperti sekarang. Di bagian belakang posisinya lebih tinggi 50 centimeter. Ada dua anak tangga yang bisa digunakan untuk turun ke bagian yang lebih rendah. Seluruh jendela masjid dari lantai pertama sampai lantai ke tiga terbuat dari kayu berukuran lebar.

Awalnya masyarakat setempat menyebut masjid ini dengan sebutan dayah. Baru pada tahun 1978 status dayah berganti menjadi masjid yang terdiri dari tiga lantai. Masing-masing lantai memiliki makna tersendiri. Lantai pertama disebut sebagai hakikat, lantai kedua disebut tarekat dan lantai ketiga disebut makfirat. Selain fungsinya sebagai tempat ibadah, namun ada juga masyarakat yang datang ke masjid ini untuk melepaskan nazar.

Letak Masjid ini persis di depan SD N 17 Peulanggahan Banda Aceh,  berada di sisi barat Krueng Aceh. Mencapai masjid ini pun sangat mudah, karena letaknya tidak terlalu jauh dengan pusat kota, dan berada di dekat jalan lintasan utama menuju ke Gampong Jawa. Akses ke sini bisa dengan menggunakan roda empat atau kendaraan roda dua.

Nama Masjid Teungku Di Anjong diberikan masyarakat Peulanggahan sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan terhadap ulama pendiri masjid ini. Berdiri di atas tanah seluas empat hektar, tak hanya ada bangunan masjid saja dikompleks ini, tetapi juga ada makam Teungku Di Kandang dan makam-makam lainnya yang terdiri dari sahabat-sahabatnya.

Berdasarkan catatan prasasti yang ada di kompleks masjid, masjid ini didirikan oleh Teungku Di Anjong pada abad ke 18.Teungku Di Ajong adalah sosok ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah, sekitar tahun 1760 sampai 1781 Masehi.

Beliau adalah sosok ulama tasawuf dan berperan sebagai ulama fiqih yang membimbing manasik haji bagi calon jamaah haji dari seluruh wilayah Nusantara dan Asia Tenggara. Untuk menampung para jamaah dari berbagai negara tersebut, TeungkuDi Anjong membangun semacam asrama yang dikenal dengan sebutan Rumoh Raya. Konon inilah hal ihwal ditabalkannya julukan Aceh Serambi Mekah.

Di Rumoh Raya inilah para jamaah berkumpul sebelum akhirnya mereka berangkat menuju Mekkah dengan pelayaran yang dimulai dari Krueng Aceh. Konon katanya, asal muasal Gampong Peulanggahan berasal dari kata persinggahan, karena daerah ini banyak dilalui atau disinggahi oleh para jamaah yang hendak melalukan ibadah haji ke tanah suci.

Sekarang, untuk mengenang Teungku Di Anjong maka setiap tanggal 14 Ramadhan selalu diadakan acara Haul atau peringatan hari wafatnya ulama yang berasal dari Hadhramaut, Yaman. Menurut catatan, beliau datang ke Aceh pada tahun 1642 Masehi untuk menyebarkan dakwah Islam. Wafat pada tanggal 14 Ramadhan 1100 Hijirah.

Masjid ini dahulunya tak hanya berfungsi sebagai balai pengajian dan pusat peribadatan saja. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, majid ini dijadikan sebagai markas oleh laskar Aceh dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan dari jajahan Belanda.[]

Editor: Ihan Nurdin

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

[Foto] Ketua Dekranasda Aceh Beri Selamat…

Kloter Pertama Jamaah Calon Haji Aceh…

Jamaah Haji Indonesia Banyak Tersesat di…

5 Masjid yang Harus Dikunjungi Ketika…

Ini Vitamin yang Perlu Dikonsumsi Jamaah…

HEADLINE

LP Lhokseumawe yang Bernilai Sejarah

AUTHOR