21 March 2015

saleum
Menunggu Rakyat Aceh Mengutuk
Murthalamuddin
12 December 2014 - 16:15 pm
Wajar, jika kemudian banyak yang menaruh curiga, sebab mana mungkin tanpa ranup sigapu dibalik perubahan sikap Gubernur Zaini itu.

MINGGU 30 November 2014, saya pulang kampung. Saya lahir di Baktiya, tapi menghabiskan masa kecil di kampung keluarga besar bapak saya di Simpang Mulieng, Syamtalira Aron. Kedua kecamatan itu di Aceh Utara.

Saya tinggal di desa Meucat yang tak jauh dari pusat kecamatan. Simpang Mulieng menjadi ibukota kecamatan Syamtalira Aron setelah ibukota lama yaitu Keude Aron berubah menjadi ladang gas Arun.

Kemarin itu saya kembali menyusuri jalan dari Simpang Cibrek sampai ke lapangan terbang Nibong. Ini sedikit napak tilas masa kecil. Saya jadi teringat ketika berumur lima tahun mengembala lembu dari rumah Keude Simpang Mulieng terus menyusuri jalan raya arah ke barat sampai Simpang Cibrek belok ke jalan line pipa. Sepanjang jalan itu melewati cluster 1 dan 2 sampai lapter Exxon Mobil Oil (Emoi) di Nibong.

Kami memang mengembala sapi di jalan karena musim turun ke sawah tidak ada padang gembala. Jalan operasi Mobil Oil sangat luas. Dari pinggir aspal sampai ke pagar kira kira 30 meter lebarnya. Di bawahnya tertanam pipa gas. Di sinilah kami mengembala sambil menyusuri jalan.

Biasa setelah sampai di lapter Nibong sudah sore. Kami menghalau lembu pulang melalui jalan depan Keude Aron masuk ke gampong Moncrang. Tak jauh dari sana sampailah ke kampung kami. Setiap hari jalur itu saya kunyah sampai kelas 5 SD.

Kemarin saya lihat Keude Arun. Masih belum berubah seperti yang dulu saya lhiat, yaitu keudai kayu yang sudah lapuk. Di antara dua deret pertokoan masih ada lapak ikan dan sayur pas di tengah jalan. Pertokoan ini ada jauh sebelum ladang gas Arun. Hanya ada satu ruko permanen (beton) yang sedang dibangun diujung timur.

Ini menjadi bukti berkah gas alam yang mendunia itu tak berhasil mengangkat masyarakat sekitar. Tak mungkin ada toko itu lagi bila geliat ekonomi kuat di sana. Begitu juga di pusat kecamatan Syamtalira Aron yaitu Simpang Mulieng. Masih banyak toko kayu. Padahal teretak di jalan lintas Banda Aceh-Medan.Artinya tidak ada uang beredar di sana. Bahkan kalah jauh dengan perkembangan ekonomi di ibukota kecamatan pedalaman sekalipun

Kabarnya, pada 2018 nanti konsensi Emoi akan berakhir. Namun cadangan gas masih lumayan. Menurut Dirut PT Pase Energi, Terpiadi A Majid, sisa cadangan gas yang ada bahkan melebihi kebutuhan semua proyek vital di kawasan itu untuk jangka lama. Ada PIM 1, PIM 2, Asean, KKA dan aromatic. Intinya dipastikan pemerintah akan menunjuk operator mengelola blok gas ini. Bisa Emoi atau perusahaan lain.

Tentu saja di sini bagian Aceh juga akan ada. Ada saham partisipasi yang ditawarkan ke Pemerintah Aceh. Kendati tidak gratis, namun tak perlu pula mengelontorkan APBA. Dipastikan pihak perusahaaan energi swasta kepincut ikut serta. Pandai-pandai pemerintah Aceh bernegosiasi untuk mendapat bagian maksimal. Maksimal disini maksudnya adalah sesuai dengan hukum dagang dan diterima pasar. 

Saya kira mulai sekarang pemerintah Aceh sudah harus mempersiapkan langkah dan mitra yang tepat. Sebab, 2018 takkan lama lagi. Kita harus mengubah persepsi masalalu limpahan sumberdaya alam menjadi kutukan bagi negeri ini. Walaupun tersisa sedikit ini akan jadi pengganjal perut dari kelaparan bila dana otsus migas nanti habis.

Di pastikan hasil dari sini dinikmati masyarakat Aceh. Kami anak Aron dan sekitar akan berbahagia menjadi bagian kenikmatan bagi semua rakyat Aceh. Bila gagal kamilah orang pertama yang akan mengutuk para pemimpin.

Jangan sampai kasus yang menghangat sekarang terulang lagi kemudian hari. Saat ini posisi Aceh di banyak kesempatan sudah hampir hilang. Lihatlah pipa gas yang membentang dari lokasi PT Arun di kecamatan Dewantara sampai ke Pangkalan Susu sudah selesai. Tapi posisi saham Aceh tak jelas. Begitu juga dengan revitalisasi kilang Arun dan turbin listrik eks Arun.

Saya tak kenal dengan investor dari group Ibrahim Risyad. Saya ingin menghitung sederhana semua persoalan saham partisipasi itu. Kita mulai dari turbin. Nilai hibah kira-kira Rp77 miliar. Nah bila untuk menjadi aset produktif turbin ini butuh modal lagi kira kira Rp100 miliar maka nilai ekuitas aset ini menjadi Rp177 miliar. Untuk itu pemerintah Aceh tak keluar duit seperakpun.

Artinya aset itu turbin tetap milik Aceh dan hasilnya saja yang dibagi berdasarkan jumlah saham. Ini artinya Aceh sudah punya aset produktif yang sepenuhnya dimilki. Aceh dapat deviden tanpa harus turun modal dan langsung punya aset yang akuntabel. Tanpa diproduktifkan aset itu hanya "angen". Konon lagi bila setelah 4 tahun diambil kembali. Maka kita "geuti reukueng" sajalah.

Dalam kasus pipa gas kabarnya Aceh mendapat 10% dari total investasi mencapai hampir Rp5 triliun. Nah bila Aceh berhasil masuk dalam usaha ini maka 10% aset ini menjadi milik Aceh. Untuk membeli saham 10% ini uangnya dikeluarkan oleh investor yang digandeng pemerintah Aceh. Tidak ada resiko kerugian yang ditanggung Aceh. Malah kita langsung punya aset dan dapat deviden dari hasil usaha setiap tahun. Bila rugi yang tanggung adalah investor.

Sedangkan dalam revitalisasi kilang arun dari pabrik gas menjadi penampung gas nilai asetnya Rp3 triliun. Dari jumlah ini yang menjadi bagian Aceh Adalah 30%. Artinya ada Rp900 miliar aset Aceh ada di sini. Itupun tentu sahamnya harus dibeli. Tentu saja lagi-lagi tidak menggunakan uang kita. Ada investor yang menanggung semua uang untuk beli saham itu dan segala resiko lainnya.

Intinya Aceh tambah kekayaan produktif sebanyak Rp900 miliar dan terus meningkat seiring meningkatnya nilai ekuitas perusahaan itu. Deviden jelas selama usaha itu menguntungkan. Kalau rugi kita tetap tidak punya resiko.

Begitulah hitung-hitungan awamn yang rujukannya saya ambil dari ekpos yang dilakukan selama ini. Kendati begitu, tetap saja pemahaman yang satya gunakan adalah logika dagang. Saya sedikit sedikit belajar pola dagang moderen walaupun tidak mahir. Ada negosiasi, ada kesepakatan, dan keuntungan yang kita harapkan. Tentu mitra kita juga tak ingin sebuah perikatan bisnis yang konyol. Bahwa ada resiko kerugian itu jamak dalam hitungan bisnis, tentu berbeda jika kerugian itu akibat dari risiko kebodohan.

Saya ingin katakana, kita pun di sini harus memahami sebuah bisnis. Jadi bisnis yang rasional. Bukan “dong ceukang” pada sebuah bisnis yang tak rasional seperti saat ini. Aset itu menjadi ada bila ada sejumlah uang yang disetor sebagai pembelian saham induk. Bila transaksi itu tidak ada maka Aceh" cet buleuen ngon puteng sadeuep". 

Herannya sampai sekarang pemerintah Aceh tidak jelas posisinya. Bila pun baru masuk belakangan, jelas harus menyetor lebih banyak uang karena ekuitas perusahaan induk menjadi meningkat seiring beroperasinya perusahaan ini.

Saat ini, Pemerintah Aceh meminta saham mayoritas. Dan investor menolaknya. Nah pasti pemerintah punya pembanding atau orang yang mengiming-iming. Seharusnya ini kesempatan bagi Tim ESDM atau gank Muhammad bin Abdullah (adik kandung Gubernur Aceh Zaini Abdullah) untuk menunjukkan taringnya dengan membawa investor yang mau memberi saham mayoritas itu. Tapi sampai sekarang mengapa masih gelap gulita.

Muhammad sekarang layaknya " bieng bak babah bubee". Ingat ini bukan porsi warisan keluarga sehingga bisa sesuka hatinya, ini hak rakyat Aceh. Bila gagal nanti maka rakyat Aceh akan menghukum keluarga ini dan mengutuk pengkhianat sampai semua keturunan mereka sampai kiamat. Apakah seluruh gank Muhammad di Tim ESDM termasuk yang di PDPA tak sadar dan tak takut akan hal yang akan diterimanya nanti di kemudian hari. Pengalaman sejarah ini sudah dirasakan oleh Panglima Tibang dan keluarganya. Apakah hendak diulangi lagi?

Yang paling aneh adalah sikap Gubernur yang plin plan. Semula ia menerbitkan surat dukungan sampai dua kali sebagai penegasan, belakangan malah dibatalkannya sendiri secara lisan. Apakah beliau tak sadar sedang menjerumuskan diri menjadi pengkhianat bagi Aceh bila nanti gagal. Selama 38 tahun lalu beliau adalah pejuang Aceh. Mengapa sekarang beliau sedang berusaha menjadi pecundang? 

Mengapa ia sekarang begitu primordialnya? Apakah kelemahan ini yang dimanfaatkan orang lain untuk menghancurkan masa depan Aceh. Atau mungkin sedang menggunting dalam lipatan, seperti kasus Trangle Pase yang semula sangat ditentangnya kemudian malah disanjungnya setelah melibatkan  adik kandungnya, Muhammad Abdullah.

Wajar, jika kemudian banyak yang menaruh curiga “mana mungkin tanpa ranup sigapu” dibalik perubahan sikap Gubernur Zaini itu. Semula membenci kemudian menyanjung, tentu perubahan sikap ini memiliki nilai tinggi. Selebihnya silahkan pembaca menilai sendiri.

Lalu, pantaskah kita diam atas nasib Aceh yang diambang kehilangan aset triliunan karena ulah segelintir orang? Semoga prasangka buruk saya ini tidaklah benar. []

Editor: Nurlis E. Meuko

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

PDPA Mau 'Dibunuh', Bosnya Loncat ke…

DPR Aceh: Tak Perlu Pansus BUMA,…

Aktivis Desak DPR Aceh Segera Bentuk…

FPMPA Minta Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh…

IPPAT Minta DPR Aceh Segera Bentuk…

HEADLINE

Di Mana Aceh dalam Masterplan Ekonomi Indonesia?

AUTHOR

Mengupas Aceh Timur
Murdani Abdullah