21 March 2015

Gubernur Zaini bersama adiknya Muhammad Abdullah dan Hasbi. Dok. ATJEHPOST.co
Gubernur Zaini bersama adiknya Muhammad Abdullah dan Hasbi. Dok. ATJEHPOST.co
meukat
Misi Gagal Mengeruk Uang Rakyat
Yuswardi A. Suud
28 January 2015 - 19:45 pm
Misi dua perusahaan daerah mendapat suntikan modal dari APBA kandas di DPR Aceh. Dewan memilih mengalihkan untuk subsidi listrik bagi rakyat miskin dan membangun irigasi. Bagaimana lika-likunya?

ASAR baru saja lewat ketika Sayed Fakhry melangkah memasuki ruang Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Direktur Utama Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA) itu tak sendirian. Dia ditemani dua direktur lain: Imran A. Hamid dan T.B. Herman. Bersama mereka ikut pula Kepala Biro Ekonomi Setda Aceh Muhammad Raudhi. Imran A. Hamid adalah adik ipar Gubernur Zaini Abdullah.

Di sana mereka berjumpa Komisi III DPR Aceh yang dipimpin Zainuddin dari Partai Aceh. Komisi ini membidangi ekonomi, keuangan, dan keuangan daerah.

Kedatangan Sayed Fakhry pada Jumat kedua Januari 2015 itu untuk memenuhi panggilan dewan. Itu adalah panggilan kedua. Pada panggilan pertama, Sayed yang tinggal di Jakarta tak hadir. 

Pemanggilan terjadi setelah Tim Anggaran Pemerintah Aceh mengusulkan suntikan duit Rp283 miliar untuk memodali lima perusahaan daerah. PDPA diusulkan mendapat Rp20 miliar. Sisanya: Rp125 miliar untuk PT Investasi Aceh, pembiayaan mikro MIF Rp63 miliar, Banda Aceh Rp50 miliar, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Mustaqim Sukamakmur sebesar Rp20 miliar.

DPR Aceh yang sebelumnya sudah mendengar adanya penolakan suntikan modal untuk perusahaan itu merasa perlu memanggil jajaran direksi PDPA. Sayed Fakhry memimpin perusahaan itu sejak Maret 2014, menggantikan Nashruddin Daud yang hanya menjabat setahun. Sebelumnya, Syukri Ibrahim dipecat oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah setelah tiga bulan menjabat, padahal ia menjabat selama empat tahun.

Di hadapan Komisi III DPR Aceh, Sayed menjelaskan pentingnya suntikan modal. Apalagi, PDPA pada Desember lalu telah mendapat hak mengelola Blok Migas Pasee yang membentang dari Aceh Timur hingga perbatasan Aceh Utara-Bireuen. Pengelolaan blok migas ini dikerjakan bersama Triangle Energy yang sudah menguasai blok migas itu sejak beberapa tahun lalu.

Sebagai perusahaan daerah, PDPA juga terlibat dalam proyek regasifikasi Arun. Di proyek ini Pemerintah Aceh mendapat saham 30 persen dan Pertamina 70 persen.  PDPA awalnya telah menggandeng Artanusa Trada, perusahaan milik almarhum Ibrahim Risjad, konglomerat asal Aceh di Jakarta. Sepeninggal Ibrahim Risjad yang ikut memperjuangkan peralihan kilang Arun menjadi terminal penampung gas, perusahaan ini dikelola oleh anaknya.

Awalnya PDPA dan Artanusa telah bersepakat berbagi saham dengan porsi 49 persen untuk PDPA dan 51 persen untuk Artanusa. Selisih 2 persen untuk Artanusa lantaran seluruh modal awal disetor oleh perusahaan ini dengan risiko jaminan asetnya. Sementara PDPA, tak perlu menyetor modal awal.

Namun, lantaran kuatnya intervensi dari adik Gubernur Zaini Abdullah, Muhammad Abdullah dan rekannya di tim Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, kerja sama itu terancam gagal. Muhammad Cs meminta PDPA yang mendapat porsi saham 51 persen. Tentu saja Artanusa menolaknya. Lazimnya dalam bisnis joint venture, pemilik modal adalah pemegang saham terbesar.

Sumber The Atjeh Post di PDPA menyebutkan, Muhammadlah yang menempatkan Sayed Fakhry di perusahaan milik daerah itu.

“Muhammad dan kawan-kawan bukannya tidak tahu soal prinsip bisnis itu, tetapi memang targetnya adalah untuk menggusur Artanusa yang sudah terlibat dari awal,” kata sumber itu. “Muhammad menempatkan Sayed Fakhry menggantikan Nasruddin Daud dengan misi utamanya mendepak Artanusa dari kerja sama itu.”

Muhammad sendiri telah membantah terlibat. Namun, media ini menemukan tekenan Muhammad Abdullah dalam rapat permintaan perubahan komposisi saham dengan Artanusa pada April 2014, sebulan setelah Sayed Fakhry dilantik sebagai bos baru PDPA. Gubernur Zaini kemudian menunjuk Muhammad mencari investor baru untuk bekerja sama dengan PDPA.

Perihal ini juga menjadi salah satu pertanyaan yang diajukan Komisi III DPR Aceh dalam pertemuan hari itu. “Sayed Fakhry menjawab bahwa Artanusa sudah mundur dari kerja sama di proyek regasifikasi Arun itu,” kata Kautsar Muhammad Yus, salah satu anggota Komisi III DPR Aceh yang hadir dalam pertemuan itu.

Namun, kata Kautsar, Sayed tak merincikan penyebab mundurnya Artanusa.

Catatan media ini, Sayed juga tak merincikan penyebab mundurnya Artanusa dalam surat yang dikirimkan ke Pertagas, anak perusahaan Pertamina.  Padahal, Artanusa masih bersedia melanjutkan kerja sama dengan catatan memegang 51 persen saham seperti tertuang dalam akta notaris pembentukan perusahaan bersama dengan PDPA yang diberi nama PT Aceh Terminal Gas.

Kepada The Atjeh Post, Kautsar mengatakan bahwa porsi saham 49 persen untuk Pemerintah Aceh melalui PDPA sudah sangat menguntungkan. “Tanpa suntikan modal pun kerja sama itu seharusnya sudah bisa berjalan. Keuntungan sudah di depan mata,” kata Kautsar.

Walhasil, hingga kini PDPA belum mendapatkan investor baru. Padahal, Februari mendatang Pertagas merencanakan memulai penjualan gas komersial setelah berhasil melakukan ujicoba mengalirkan gas dari Arun ke Belawan pada pertengahan Desember lalu.

“Jadi memang terlihat sekali PDPA itu tidak menjalankan perusahaan dengan profesional. Bahkan perencanaan bisnisnya pun tidak ada,” kata Kautsar.

Hal lain, sejak dibentuk pada 1994, PDPA belum menyetorkan keuntungan kepada pemerintah daerah. Bahkan, suntikan modal lebih dari Rp5 miliar pada periode sebelumnya tidak menghasilkan sepersen pun untuk pendapatan asli daerah.

Ketika Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf membentuk PT Investasi Aceh lewat Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2011, posisinya sebenarnya untuk menggantikan PDPA yang dianggap tak layak lagi dipertahankan.

Ketika pertemuan berakhir menjelang Magrib, Kautsar dan rekan-rekannya di Komisi III DPR Aceh sudah punya kesimpulan apa yang harus dilakukan. Sementara Sayed Fakhry tidak menjawab panggilan telepon dari media ini.

***

Meskipun mengusulkan suntikan modal Rp283 miliar untuk lima perusahaan daerah, Pemerintah Aceh tak punya target pendapatan dari perusahaan itu. Ini terlihat dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA PPAS). Tak ada penyebutan secara tegas berapa target pendapatan dari kucuran modal itu.

Disebutkan, target pendapatan Aceh 2015 sebesar Rp11,77 triliun. Pendapatan ini diproyeksikan bersumber dari Pendapatan Asli Aceh sebesar Rp1,78 triliun, Dana Perimbangan Rp1,66 triliun (angka dibulatkan), Dana Otonomi Khusus Rp7,06 triliun (angka dibulatkan), Dana Tambahan Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas Rp600,71 miliar, dana penyesuaian Rp 603,38 miliar, dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp65,34 miliar.

Pada item pendapatan lain-lain yang sah, disebutkan bersumber dari pendapatan dana hibah dari Pemerintah Microfinance for innovation Fund (IMF) yang merupakan dana transito sebesar Rp63,8 miliar, dan pendapatan hibah dari badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri sebesar Rp1,53 miliar.

Tidak adanya penekanan target pendapatan dari BUMA yang disuntik modalnya itu tentu saja menimbulkan pertanyaan. Sebab, dalam dokumen itu juga disebutkan salah satu upaya untuk mencapai target pendapatan adalah "dengan mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Aceh terutama BPD Aceh untuk memberikan kontribusi kepada Pemerintah Aceh."

Pada poin itu jelas terlihat Pemerintah Aceh mengharapkan pendapatan dari BPD Aceh (Bank Aceh). Sementara jika melihat porsi suntikan modal yang diusulkan yang paling besar justru Rp125 miliar. Begitu pula dengan PDPA yang telah mendapat jatah pengelolaan blok migas Pasee tidak dibebani target pendapatan.

Editor: Murdani AbdullahHalaman: 1234

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

PDPA Mau 'Dibunuh', Bosnya Loncat ke…

DPR Aceh: Tak Perlu Pansus BUMA,…

Aktivis Desak DPR Aceh Segera Bentuk…

FPMPA Minta Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh…

IPPAT Minta DPR Aceh Segera Bentuk…

HEADLINE

Dahlan Iskan: Tidak Ada Alasan Mati Lampu di Aceh

AUTHOR