26 March 2015

Ilustrasi bom di Pattani | Istimewa
Ilustrasi bom di Pattani | Istimewa
politek
Musibah Patani
Ahmad Latif
13 April 2014 - 15:46 pm
Pemerintah yang mendirikan kerajaan Patani bernama Phya Tu Antara, setelah diislamkan oleh Sheikh Said – seorang ulama yang berasal dari Samudera Pasai -- maka namanya berganti menjadi Sultan Ismail Shah.

PATANI yang dulu terkenal dengan panggilan Patani Raya (Greater Patani) sepertinya sudah ditakdirkan untuk meniti sejarah getir yang panjang. Liku-liku perjalanan sejarahnya penuh dengan kepingan luka yang silih berganti. Ketika keamanan dalam negeri belum pulih akibat perang saudara, datang pula musuh dari utara yang menyerang dengan tujuan untuk menjajah.

Tidak diketahui dengan jelas sejak kapan Patani awal mulai berdiri. Yang tercatat agak lengkap adalah sejarah Patani yang bermula pada periode kesultanan (sultanate), yakni setelah negeri yang semula pernah bernama Langkasuka diisytiharkan pengislamannya secara resmi pada 1457 Masihi (diduga pada tgl 15 Juni 1457).

Pemerintah yang mendirikan kerajaan Patani bernama Phya Tu Antara, setelah diislamkan oleh Sheikh Said – seorang ulama yang berasal dari Samudera Pasai -- maka namanya berganti menjadi Sultan Ismail Shah. Tidak lama selepas raja menganut agama Islam, langkahnya itu disusuli dengan para kerabat, pekerja istana dan mayoritas rakyat jelata Patani Raya.

Dengan lahirnya kesultanan Melayu Islam baru itu maka semakin terbuka cakrawala pemerintahan Islam di Nusantara, yang sebelumnya sudah wujud Kesultanan Acheh, Kesultanan Arakan, Kesultanan Brunei, Kesultanan Maguindanao, Kesultanan Melaka, Kesultanan Sulu dan Kesultanan Ternate.

Sejak Sultan Ismail Shah, yakni Sultan Patani (Islam) yang pertama (1457), selama empat abad lebih Kesultanan Patani Raya mengalami berbagai gelombang pasang surut. Melalui berbagai krisis, bahkan peperangan dengan musuh Siam yang menyerang dari sebelah utara. Juga seperti disebutkan di atas, tidak dapat dielakkan perang saudara.

Dalam rentang waktu tersebut peneraju pemerintahan Patani Raya silih berganti. Bermula dengan para sultan yang berasal dari keturunan Patani (1457 – 1688 M), kemudian di bawah teraju raja keturunan Kelantan (1688 – 1729). Selama sekitar dua setengah abad Kesultanan Patani mengalami kemajuan pesat, baik dalam sektor perkembangan agama Islam maupun bidang pertahanan dan kemakmuran negara.

Pada zaman gemilang itu, selain terkenal dengan nama Patani Darussalam juga dijuluki sebagai Serambi Mekah. Kesultanan Patani tidak hanya kaya raya dan makmur, tapi juga banyak ulama dan cendekiawan dalam berbagai bidang. Di bumi ini lahir sejumlah ulama masyhur dan berjasa di alam Melayu. Institusi pendidikan pondok pertama di alam Melayu lahir di Patani setelah sebelumnya institusi yang sama muncul di Acheh dengan nama ‘dayah’.

Setelah zaman gemilang itu berlalu, Kesultanan Patani masuk fase transisi selama 40 tahun (1776 – 1816). Dalam tempo tersebut Patani mengalami suasana politik yang tidak stabil dan kerap berlaku huru-hara. Ini efek dari perang saudara. Mengetahui kondisi dalam tubuh pemerintahan Patani yang rapuh kerana sedang dilanda krisis interen maka Siam segera memanfaatkannya untuk melakukan serangan demi serangan. Dalam tempo tersebut, sekalipun Patani belum tunduk sepenuhnya di bawah Siam tetapi beberapa wilayahnya sudah mulai lemah dan akhirnya jatuh.

Zaman kejatuhan Patani bermula ketika Siam menundukkan Kesultanan Patani dan memaksanya bernaung di bawah pemerintahan Bangkok. Pada tahap awal, Siam belum mencabut secara mutlak kekuasaan para Sultan tetapi dibuatnya para penguasa Melayu itu menjadi tidak berdaya. Mengadu domba supaya sesama Sultan saling tidak akur dan saling membenci. Siam juga berhasil memecahkan Kesultanan Patani menjadi tujuh negeri kecil (Patani, Legeh, Nongchik, Raman, Teluban, Jalor dan Jambu). Setelah itu, beberapa negeri kecil itu berubah menjadi sekadar amphoe (distrik) dan namanya pun ditulis mengikut ejaan Thai (Siam). Seperti Legeh menjadi Rangek, Teluban (Saiburi), Jalor atau Jala (Yala) dan Jambu (Yaring).

Untuk menundukkan Patani sehingga para sultannya tidak mempunyai kekuasaan di wilayah negerinya, Siam terpaksa mengambil waktu selama 85 tahun (1816 – 1901). Setelah membagi-bagi kesultanan Patani menjadi tujuh negeri kecil maka Siam mulai melantik pemerintahan bonekanya untuk mudah mengawal dan mengawasi serta melaksanakan program assimilasi (baca: siamisasi).

Terhitung mulai tahun 1902, bangsa Melayu Patani resmi dijajah oleh bangsa Siam (Thai). Dan sejak itu pula perlawanan bangsa Patani untuk merdeka dan merebut kembali tampuk pemerintahan dari tangan Siam tidak pernah berhenti. Api perlawanan itu terkadang nampak tidak terlalu marak, dan pada suatu ketika membuat penjajah Bangkok tidur tidak nyenyak.

Seperti terjadi sejak Januari 2004, hampir tidak ada hari tanpa letupan bom dan tembak menembak di antara pejuang kemerdekaan Patani dan aparat keamanan Siam. Dan perlawanan ini sukar dihadapi kerana para pejuang tidak mengibarkan bendera kelompok mereka. Bahkan siapakah pemimpin utama – termasuk jaringannya -- yang mengatur semua gerakan perlawanan itu, sejauh ini tidak diketahui Bangkok.

Patani memang sudah ditakdirkan untuk menderita panjang. Kalau saja bumi yang kini dikenali sebagai ‘Empat Provinsi Selatan Thai’ itu gersang, tidak bersahabat dengan segala jenis tanaman dan tidak mempunyai sumber alam, mungkin Siam tidak pernah berfikir untuk berperang dengan biaya yang sangat mahal itu. Karena hasil bumi dan kekayaan alam yang dimiliki Patani membuat Siam sanggup berperang berpuluh-puluh tahun – sekalipun kalah beberapa kali – dalam usaha untuk menjajahnya.

Di luar pantai sepanjang teritorial asal Patani Raya terdapat sumber minyak dan gas alam yang belum dieksplorasi diperkirakan jauh lebih banyak daripada yang dimiliki negara Brunei Darussalam. Dan kekayaan bumi yang luar biasa itu sepertinya sengaja dirahasiakan regim Bangkok. Apatah lagi, dalam keadaan Patani yang sedang bergolak sekarang ini, Siam tidak mahu ambil resiko mengadakan proyek-proyek besar di tanah jajahannya itu.

Sebuah sumber yang dekat dengan pembuat polisi Bangkok berhubung dengan masalah Empat Provinsi Sempadan Selatan menyebut bahwa pemerintah Thai menggunakan berbagai agensi untuk mengumpulkan informasi tentang tokoh-tokoh yang berada di belakang kejadian huru-hara di Patani sejak beberapa tahun belakangan ini. Sebab apa yang berlaku kini seperti disiarkan dalam media Thai yang terbit di Bangkok, hampir tiap hari darah menyimbah bumi Patani.

Bedanya dengan perang gerila periode 70 dan 80-an yang angkatan tentara Siam selalu berada di pihak yang menang. Tentara dengan persenjataan yang lebih canggih dan logistik yang cukup selalu berada di atas angin. Sementara para pejuang pembebasan Patani terpaksa berpindah randah dari satu bukit ke bukit lain untuk menyelamatkan diri. Belum lagi dukungan masyarakat yang sangat minim. Belum lagi kekalahan dalam persaingan senjata. Belum lagi rendahnya tingkat pendidikan ketentaraan dan ketrampilan bermain senjata.

Bahwa perjuangan untuk mengusir penjajah tidak cukup hanya dengan mengobarkan semangat perlawanan tanpa ditunjangi oleh faktor pelengkap lainnya. Semisal, kemahiran mengatur strategi perlawanan dan penyergapan. Kemahiran dalam bermain senjata yang boleh mengatasi musuh, dalam keadaan apa pun. Sesering mungkin menyerang musuh, dan sedapat mungkin mengelak dari diserang. Sebanyak mungkin menyebarkan informasi kepada massa rakyat tentang kemajuan dan kemenangan di medan tempur.

Kini taktik perang gerilya sudah berubah. Mereka tak lagi hidup di hutan-hutan seperti dulu. Daerah operasi mereka adalah di mana terdapat kelibat orang-orang berseragam hijau. Dan, yang nampak agak kentara ialah para pejuang yang syahid di medan perang ternyata anak-anak muda yang berpendidikan baik, tidak mempunyai catatan kriminal agama.  Tidak sedikit dari kalangan para syuhada – kalau boleh disebut begitu – adalah para guru agama Islam dan pengurus masjid yang berasal  dari latar belakang keluarga baik-baik.

Sejak awal 1970-an, Patani – yang meliputi provinsi Pattani, Yala, Narathiwat (Menara), Satun (Setul)  dan sebagian dari provinsi Songkhla (Senggora) – memang sudah bergolak. Sudah muncul gerakan-gerakan atau perlawanan penduduk Melayu yang beragama Islam terhadap penguasa Thai penganut Buddha. Itulah penentangan masyarakat selatan terhadap Bangkok. Pada tahap pertama masih samar-samar apakah perlawanan itu didorong oleh keinginan untuk memisahkan diri (baca: merdeka) atau sekadar melampiaskan rasa ketidak-puasan penduduk terhadap berbagai diskriminasi dan sistem yang diterap-paksakan di wilayah mereka.

Terhitung sejak bangsa Melayu Patani melancarkan gerakan perlawanan terhadap pemerintah Bangkok pada Januari 2004 sehingga peristiwa pengeboman terbaru di ibukota provinsi Yala beberapa hari lalu, sudah sekitar 5,000 orang menjadi korban. Dan perlawanan Melayu Muslim terhadap Thai Buddha belum nampak tanda-tanda akan mereda. Bahkan sejak beberapa bulan belakangan ini frekuensi serangan gerilya cenderung meningkat.

Berikut ini dua buah puisi karya Ismail Jaafar (Anant Okris, putera Patani) untuk menggambarkan sebagian dari masyarakat Patani yang dihimpit kemiskinan hidup. Yang jelas, tidak semua orang Patani miskin. Ada pengusaha Melayu Patani yang sukses sehingga mampu membangunkan perkampungan Islam yang lengkap dengan masjid dan sekolah dalam satu kompleks. Tidak sedikit petani Islam yang berhasil dalam bidangnya.[]


Patani’s Summer

Chek Minoh, a widow of three children

Returned home late and straight to her kitchen

While a few fish caught in the rice field ditch

The children jumped with a thought they’re rich

 

The fish and rice cooked, all four surrounded it

The mother said in the hot summer mid

The water dried up and fish were seldom

Children must not eat them all, but save some

 

The youngest couldn’t understand the mother

And took a big bite. “Mother,” cried the elder.

“Ahmad ate a big bite of fish. See, there?!”

The eldest stopped chewing to give a stare

The reproches, to the young, weren’t understand

He kept on eating, enjoying his food.

The mother was happy to see him eat,

But for the long dryness she’d to defeat.

 

 

Timoh’s School Shirt

“Timoh, you’re wearing a torn shirt again”

“Teacher, I told mother and she cried again,”

“But, this public school must keep the strict rules,”

“Please punish me,  for I can’t obey all the rules.”

“Mother, I was punished again today,”

“My white prayer gown was made your shirt today.”

“But you have to pray, God will punish you.”

“Yes, dear, but let not the teacher punish you.”

 

“Timoh, you’re the last one wearing a good shirt.”

“Teacher, I’am glad all my friend got a good shirt.”

“Yes, finally each student wears a good shirt.”

“Oh, at last proper gown was made a good shirt.”

.

Ahmad Latif, Kelantan, Malaysia, dapat dihubungi di alief175@yahoo.com

 

Editor: Yuswardi A. Suud

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Mahasiswa dan Pemuda Aceh Gelar Aksi…

Delegasi Peoples Colleges Pattani Belajar Tangani…

20 Pemuda Pattani Belajar Penanganan Konflik…

Musibah Patani

Damai Setengah Hati

HEADLINE

Gubernur Bahas Ultimatum Cooling Down dengan Uni Eropa

AUTHOR