24 March 2015

@Ahmady Meuraxa
@Ahmady Meuraxa
saleum
Anak Aceh di Tengah Keluarga Ateis (tulisan 1)
Mereka Menolak Tuhan dan Mengagungkan Energi
Ahmady Meuraxa
30 July 2014 - 15:30 pm
Pada kenyataanya, agama di KTP itu hanyalah bohong-bohongan.

Mungkinkah komunitas ateis hadir di Indonesia? Pertanyaan ini begitu deras mengalir belakangan ini seiring hadirnya tuntutan agar Pemerintah Indonesia menghapus kolom agama pada KTP. Di bawah kepemimpinan Jokowi, besar kemungkinan ide ini akan diterapkan  sebagai respon atas tuntutan para pejuang kesetaraan yang meminta masalah agama tidak dikait-kaitkan dengan identitas kependudukan.

Alasannya, karena kolom agama cenderung melanggaran hak warga  yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia. Akibatnya, banyak warga yang ateis atau tidak beragama atau menganut aliran kepercayaan tertentu, terpaksa membubuhkan agama di KTP nya demi lancarnya urusan administrasi. Pada kenyataanya, agama di KTP itu hanyalah bohong-bohongan.

Tuntutan ini sepertinya mulai mendapat respon dari pemerintah.  Rencana penghilangan  kolom agama ini bahkan sudah dibahas di Kementerian Dalam Negeri.  Besar kemungkinan segera dilakukan. Malah sebelum keputusan resmi pencabutan kolom agama itu disampaikan ke publik,  belum lama ini Kementerian Dalam Negeri  mengumumkan kepada warga bahwa warga diperbolehkan mengosongkan kolom agama saat mengisi formulir kepengurusan kependudukan.

“Meski tidak mengisi kolom agama, layanan administrasi tetap akan berjalan. Tidak ada lagi paksaan mengisi kolom agama,” kata  Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil  Kemendagri, Irman. Dengan kebijakan ini,   maka warga Indonsia yang selama ini menganut aliran kepercayaan akan merasa nyaman  karena tidak perlu lagi memalsukan agama mereka.  Dan bisa pula dipastikan kalau  ateis atau menjadi orang yang tidak beragama, kini tidak lagi dilarang di Indonesia.

Kebijakan ini sesungguhnya bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila yang mewajibkan warga Indonesia menganut agama yang diakui negara. Tapi itulah realitanya. Globalisasi  telah memaksa negeri ini tunduk kepada hak asasi manusia ketimbang falsafah negara.  Di masa depan, masalah ketuhanan ini sepertinya tidak lagi  menjadi isu yang seksi.  Bukan tidak mungkin ateis yang kini semakin mewadah di luar negeri,  juga akan berkembang di Indonesia.

 

TULISAN ini tidak bermaksud mengulas soal perdebatan antara ateis dengan ketuhanan yang maha esa. Saya hanya mencoba mengulas fenomena ateis yang  belakangan  kian berkembang di berbagai belahan dunia. Ketertarikan saya terhadap studi ateis ini menguat setelah saya diundang membahas isu toleransi dan kebebasan beragama di Amerika pada Juli hingga September 2014.  Menariknya lagi,  saya mendapat kesempatan tinggal selama dua bulan bersama keluarga ateis di Massachusetts,  mengikuti aktivitas dan berbaur dengan pergaulan mereka.

Selama bersama keluarga tesebut, sudah tentu dialog keagamaan sering kami lakukan. Terkadang perbicangan kami lakukan saat makan bersama,  bisa pula saat di mobil, atau ketika sedang bersantai sore hari di rumah.  Bahkan saya diikutsertakan menghadiri prosesi mengenang kematian salah seorang anggota keluarga itu. Saya juga diperkenalkan dengan sanak saudara mereka yang kesemuanya menganut ateis.

Kepala keluarga di rumah itu adalah Eliana Thompson, seorang wanita berusia 80 tahun, yang dikenal sebagai penganut ateis fanatik. Di lingkungannya di Kota Amherst, negara bagian Massachusetts, Eliana dikenal sebagai aktivitas lingkungan. Ia salah seorang pemimpin gerakan masyarakat lokal dalam menentang pendirian perusahaan tambang pasir di kota itu. Eliana sangat keberatan dengan kehadiran perusahaan itu karena dianggap dapat merusak lingkungan. 

“Amherst ini kota yang sangat asri. Seharusnya kami jangan diganggu oleh perusahaan-perusahaan kapitalis yang mengganggu ketenangan kami di sini,” katanya. 

Begitu getolnya menyuarakan aksinya, sampai-sampai ia rela menggelontorkan uang puluhan juta untuk membiaya pemasangan pamplet dan spanduk sebagai kampanye menentang kehadiran perusahaan tersebut.  Eliana juga dipercaya sebagai  pimpinan warga setempat dalam melakukan dialog dengan pihak perusahaan.

Berkomunikasi dengan Eliana seakan berbicara dengan seorang aktivis muda yang memiliki semangat juang tinggi. Wawasannya sangat luas. Meski usianya tidak muda lagi, fisiknya masih cukup kuat. Ia mampu menyetir mobil  lima jam tanpa henti. Hal itu dibuktikannya saat kami berangkat ke New York menghadiri family gathering  keluarga Thompson di sana.  Sejak mudanya Elina mengaku sangat menyukai olahraga dan membaca.  Kebiasaan itu yang membuat kondisi fisiknya cukup kuat dan daya ingatnya masih tajam.

Suaminya,  Richard Thompson juga bukan orang sembarangan. Ia seorang professor ahli fisika dan merupakan guru besar di Universitas Massachusetts (UMass).  Richard  telah meninggal  dunia pada awal 2014,  enam bulan sebelum saya mengenal keluarga itu.

Pasangan Eliana dan Ricard dikarunia tiga anak. Dua anak lelakinya,  David Thompson  53 tahun, dan Andrew  Thomspon  50 tahun, sudah menikah dan tinggal di luar kota. Sedangkan anaknya yang bungsu Jessica  Thompson, 48 tahun,  sedang menyelesaikan gelar doktor bidang politic di UMass.  Hanya Jessica  dan dua pembantunya yang menemani Eliana  sehari-hari di rumah mereka yang asri di pinggiran Kota Amherst.

Keluarga itu penganut ateis sejati sejak dulu.  “Kami menghormati semua agama. Tapi mohon maaf, kami tidak percaya dengan agama dan tidak percaya dengan tuhan,” kata Eliana. Mereka yakin, semua proses kehidupan  yang terjadi di dunia ini adalah sebuah proses energy.  “Orang mati karena energinya sudah melemah dan ia harus ditakdirkan mati,” ujarnya.

Proses penciptaan bumi dan terjadinya siang dan malam. juga diyakini Eliana sebagai bagian dari pergerakan energy.   “Semua itu sudah tercipta dengan sendirinya, tanpa ada yang menciptakan. Tidak ada keterlibatan yang namanya Tuhan di situ,” ujarnya tegas. Karena itu Eliana berpendapat jika ingin bersahabat dengan energy, maka haruslah bersikap jujur, tidak menyakiti orang lain, dan meningkatkan ilmu pengetahuan.

Pendapat anaknya Jessica tidak kalah radikalnya.  “Untuk apa memiliki agama tapi perilaku tetap busuk.  Itu kan sama saja dengan kemunafikan. Kami tidak mau menjadi orang yang munafik. ” Hidup sebagai ateis, menurut  Jessica, lebih nyaman dibanding memeluk agama. Yang penting, saling menghormati, tidak mengganggu dan menyakiti orang lain, dan saling menghargai hak dan martabat manusia. 

“Jika ada yang sakit dan butuh pertolongan, kita akan bantu mereka.  Tidak ada urusannya dengan agama atau tuhan,” tegas Jessica.

Sebagai tamu, saya juga memperkenalkan diri sebagai muslim dan menjelaskan sekilas tentang hakekat ketuhanan dalam Islam.  Mereka sangat menghormati agama yang saya anut. Bahkan saya diberi kesempatan menggunakan mobil  mereka untuk ke masjid. Kebetulan saat itu  bulan Ramadan, sehingga aktivitas agama cukup sering saya lakukan di rumahnya.  Saya salat dan terkadang mengaji, meski tidak dengan suara yang keras.

Saya memang mendapat perlakuan sangat baik dari keluarga itu.  Saya juga diperkenalkan dengan David dan Andrew  saat acara family gathering  yang berlangsung di New York. Semuanya bersikap santun kepada saya.  Kadang saya bercerita tentang Indonesia dan Aceh kepada mereka. Pernah juga menjelaskan soal  syariat Islam yang diterapkan di Aceh.

Mereka sangat terkejut ketika saya  bercerita tentang hukuman cambuk kepada para pelanggar syariat.  “ Apa…! Masihkah sampai sekarang hukuman itu ada? “ Tanya David.  Sepertinya ia sangat terkejut dengan hal ini. “ Bagaimana dengan potong tangan. Apakah ada juga di Aceh?” lanjutnya.

Semua pertanyaan itu saya coba jawab dengan bijak.  Saya juga menjelaskan dasar  penetapan hukuman cambuk itu. Soal potong tangan  tentu saja saya bantah. 

Sejak itu, dialog kami  semakin menarik. Tidak hanya menyentuh Islam, tapi juga membahas agama-agama lainnya. Kami juga bercerita tentang  masalah pernikahan dan kematian dalam kehidupan keluarga ateis. 

Perbincangan itu sangat menarik, karena David, Jessica dan Eliana menuturkan semua dalam bahasa yang jernih dan mudah dipahami. Hanya Andrew yang agak pendiam. Tapi ia murah senyum dan selalu menawarkan saya melihat karya-karya lukisnya. Andrew adalah seniman lukis yang menetap di Kota New York. ***

Penulis sedang mengikuti Fellowship tentang Toleransi dan Kebebasan Beragama di Massachusetts.

BAGIAN 2: Bermula dari Kekecewaan Terhadap Perilaku .........

BAGIAN 3: Pernikahan dan Kematian bagi Orang Ateis

Editor: Boy Nashruddin Agus

Ikuti Topic Terhangat Saat Ini:

Terbaru >>

Berita Terbaru Selengkapnya

You Might Missed It >>

Ekspansi Rumah Ibadah dan Solidaritas Sesama…

Komunitas Ateis Juga Punya Gereja

Cara Ateis Membangun Silaturrahmi dan Menjaring…

Pengikut Ateis Kini Terbesar Ketiga di…

Pernikahan dan Kematian bagi Orang Ateis

HEADLINE

Firaun, Istri dan Pembisik

AUTHOR