FILM aksi Hindia Belanda ini dirilis tahun 1940. “Rentjong Atjeh” yang diangkat dari karya Ferry Kock, mantan anggota kelompok sandiwara grup Dardanella yang baru pulang dari Amerika Serikat ini bercerita penumpasan bajak laut di Selat Malaka.
Melansir indonesianfilmcenter.com, film tersebut bercerita tentang Rusna dan Daud, dua korban selamat dari perampok bajak laut. Kelompok bajak laut di Selat Malaka itu dipimpin Bintara. Perahu-perahu dirampok dan penumpangnya dibunuh. Di antara korban perampokan itu, ada dua anak yang selamat, Rusna dan Daud.
Dikisahkan, 15 tahun kemudian kedua anak yang sudah remaja itu (Rusna dan Daud) hidup dalam hutan dan bertemu Panglima Ali yang gagah berani. Saat itu bajak laut masih merajalela. Panglima Ali kemudian menumpas perompak tersebut. Riwayat Bintara tamat lewat rencong Panglima Ali.
Wikipedia.org mengurai lebih detil. Rentjong Atjeh yang disutradarai The Teng Chun mengisahkan sekelompok orang yang hendak balas dendam terhadap para perompak di Selat Makala. Film dibintangi Ferry Kock, Dewi Mada, Bissoe, Mohammad Mochtar, dan Hadidjah, ini dibuat dekat pesisir Batavia (sekarang Jakarta) dan memakai kembali rekaman film The sebelumnya, Alang-Alang (1939). Rentjong Atjeh, sebagian terinspirasi film-film Tarzan, sukses di pasaran dan kini hilang dari peredaran.
Alur cerita film ini adalah ketika perompak mulai menjelajahi Selat Malaka, merampok kapal, membunuh awak dan penumpangnya. Di sebuah kapal, tiga anak selamat: Maryam (diperankan oleh Dewi Mada), yang ditangkap dan dipaksa tinggal bersama kapten perompak (Bissoe), dan kakak beradik Daud (Mohammad Mochtar) dan Rusna (Hadidjah), yang kabur ke hutan.
Lima belas tahun kemudian, Rusna bertemu Ali (Ferry Kock), seorang tentara yang jatuh cinta dengannya. Sementara Daud jatuh cinta dengan Maryam, yang bekerja sebagai penari untuk kapten perompak. Ali dan Daud menyerbu kapal perompak dan membunuh awaknya. Ali membunuh kapten dengan rencong. Mereka akhirnya hidup damai tanpa gangguan perompak.
Wikipedia.org menjelaskan, Dewi Mada merupakan istri Ferry Kock. Munculnya Kock dan Mada kelak meneruskan tren perpindahan personel sandiwara ke dunia perfilman pasca suksesnya Terang Boelan (1937) yang disutradarai Albert Balink. Beberapa orang yang pindah ke industri perfilman ialah Andjar dan Ratna Asmara, Fifi Young da dan suaminya, Njoee Cheong Seng.
The Teng Chun, pemilik Java Industrial Film (JIF), menjadi produser sekaligus sutradaranya. Kock awalnya diminta menyutradarai film ini, namun tidak mampu. Saudara-saudara The juga mengerjakan film ini: The Teng Liong menjadi pengarah suara, sedangkan The Teng Hwi menjadi sinematografernya. Mas Sardi menulis dan menggubah beberapa lagu untuk film ini, termasuk “Oh Ajah dan Iboekoe” dan “Akoe Ta' Sangka”.
Film ini direkam dengan kamera hitam putih. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyiapkan perang melawan Jepang setelah invasi Jerman ke Belanda, The tidak diizinkan merekam adegan di laut. Adegan yang menampilkan para perompak tersebut direkam di pesisir teluk Batavia.
Adegan-adegan lain diambil dari rekaman usang film The sebelumnya, Alang-alang (1939). Sejumlah adegan terinspirasi oleh film-film Hollywood. Sebuah adegan ketika tokoh yang diperankan Ferry Kock menggigit rencong sambil bertempur terinspirasi sebuah adegan film-film Tarzan. Alang-Alang dan film Poetri Rimba juga terinspirasi seri Tarzan.
Rentjong Atjeh tayang perdana pada tahun 1940 di Sampoerna Theater, Surabaya. Sebelumnya, alur film ini siserialkan dan musik lagunya diterbitkan dalam bentuk buku promosi. Film ini juga ditayangkan di Malaya Britani dan diiklankan sebagai “drama sejarah Melayu besar pertama”.
Rentjong Atjeh sukses di pasaran. Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut kesuksesan ini karena kemampuan pemasaran Andjar Asmara. Selepas film ini, JIF rutin menerbitkan majalah promosi berjudul JIF Journal yang berisikan informasi tentang film-film mendatang.
Menurut Wikipedia.org, film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebut beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia. Kata Misbach Yusa Biran, sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[]
Editor: Murdani Abdullah