SABTU lalu saya memulai rutinitas lama, ini aktivitas sebelum saya jadi pejabat di Pemerintah Aceh selama 20 bulan. Ini tulisan pertama saya sejak dicopot dari jabatan Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh pekan lalu.
Alhamdulillah, pimpinan menempatkan saya sebagai seorang staf di kantor Perwakilan Aceh di Medan. Dengan begitu saya bisa menjauh dari hiruk pikuk di pusat kekuasaan. Indralaya saya kembali fokus pada urusan pribadi dan keluarga. Kan tentu sebagai staf saya tak terlalu banyak pekerjaan lagi.
Hari Sabtu itu, Tim Asistensi Gubernur Aceh, Iskandar Bakri mengajak bertemu. Dia tiba di Medan dengan penerbangan pertama dari Banda Aceh. Iskandar juga mengajak Direktur Utama PT Mapoli Raya, Sabri Basyah. Tempatnya di Mi Ayam Kumango, Jalan Mangkubumi, Medan. Sekalian sarapan.
Saya paling awal tiba di tempat. Sabri bersama tiga putranya menjemput Iskandar Bakri di Stasiun Kereta Api. Begitu duduk semeja, kami berdiskusi banyak hal. Iskandar membesarkan hati saya soal pencopotan. Saya menjawab singkat dengan mengatakan beliau tak usah risau, lagipula untuk apa menyesali sesuatu yang tak bisa diulang.
Pukul 10.30, Sabri mengajak melanjutkan ngopi. Maklum hari libur mungkin beliau dan para putranya ingin bersantai. Iskandar mengatakan kalau mau ngopi di Medan wajib bertanya pada Salahuddin Jalil, ini seorang pengusaha Medan yang keturunan Aceh. "Beliau pernah mengajak saya menikmati kopi Gayo yang enak," katanya.
Iskandar merogoh telepon selulernya dan mengontak Salahuddin. Setelah bicara, ia mengajak ke Jalan Zaitun Arifin, Kampung Keling, di depan Batik Danarhadi, setelah melewati mall Sun Plaza. Bernama Sunrose, kedai kopi ini tak hanya menjual kopi gayo, tapi juga roti sehat dan sayur organic.
Ketika kami datang, pengunjung belum banyak. Kedai kopi dua pintu itu penuh opname Gayo dan tulisan kopi Gayo Indonesia. Saya cermati, tak satupun kata “Aceh” tertera di sini.
Haryanto Tan, si pemilik kedai menyambut kami. Pria Tionghoa berusia 68 tahun ini sangat ramah dan bersahaja. Tauke kedai kopi ini bertindak laksana public relation. Semua tamu yang datang disambutnya. Lalu giliran istrinya yang melayani permintaan pelanggan. Tiga gelas kopi tersaji di meja kami. Dia menyuguhi juga teh mind yang langsung dari daun teh segar yang dicelup ke air panas.
Sekejab saya langsung tertarik dengan sosok ini. Kami berbincang dia. Saya perhatikan, Haryanto tak sama dengan orang-orang Tionghoa yang pernah saya kenal di Medan. Saya bergaul dengan etnis ini sejak saya mulai menelusuri seluk medan di Medan pada 1993. Bahkan saya belajar bisnis sambil bekerja sampingan sebagai sales elektronik toko Newstar di Lhokseumawe juga sama mereka. Tugas utama saya saat itu adalah guru SD di Baktiya Barat, Aceh Utara.
Haryanto Tan saya lihat memang benar-benar penggemar kopi, berbeda dengan kita yang cuma seorang penikmat. Dia mempelajari kopi dengan sungguh-sungguh di samping bisnis utamanya produsen sayur organik dan produsen pupuk organik.
Adalah Tagore Abubakar yang memperkenalkan Haryanto Tan dengan kopi. Ketika itu Tagore masih menjabat sebagai Ketua DPR Aceh Tengah. Saat Aceh Tengah belum terpecah dengan Bener Meriah. Ini terjadi tahun 2004. Tagore membawanya ke Gayo untuk memperkenalkan kebun kopi.
Sejak itulah Haryanto Tan mulai memburu kopi. Bahkan ia sudah sering melihat kopi Sidikalang dan Simalungun. Namun menurutnya kopi Gayo mempunyai taste yang luarbiasa. “Lagi pula kopi Gayo sih pasti halal karena kalau pupuk alamnya juga tak mengandung kotoran babi hahahahah," begitu penjelasannya mengapa dia memilih kopi Gayo.
Dari perkenalan itulah ia mulai tertarik membuka kedai kopi. Enam bulan lalu dia mewujudkannya. Di kedainya dia juga menjual bubuk kopi yang sudah jadi. "Di masa lalu kita minum arang kopi, karena biji kopi digonseng hangus baru di olah,"begitu katanya. Sekarang ini kopi sebelum diolah lebih dulu diroasting dengan suhu tertentu dan diblowing secara benar.
Sebetulnya, saya kurang tertarik dengan cerita soal olah mengolah kopi yang meluncur lancar dari bibir Haryanto Tan. Saya justru terpikat pada sosoknya yang sangat memahami perdagangan kopi dan sangat konsen dengan pemberdayaan kopi. "Kita lupa mendapat nilai tambah," ujarnya.
Haryanto bercerita, sebulan setelah membuka warung datanglah seseorang Korea Selatan. Katanya si orang Korea itu adalah pendiri museum kopi di negeri ginseng itu. Mendengar musem kopi, tentu Haryanto Tan terpana, sebab ia tahu di Korea taka da tumbuhan kopi, tapi bisa mengkomersialkan kopi dengan cara berbeda. Anehnya di Indonesia ada ratusan ton kopi ekspor tiap hari, namun lupa menanamkan nilai-nilai, cuma melotot dengan dolar dari bahan mentah.
Haryanto Tan mengaku sedih melihat petani kopi di Indonesia yang tidak sejahtera. Bayangkan gerai kopi terkenal dunia rata rata membeli kopi seharga lima dolar Amerika perkilogram dan menjual berpuluh kali lipat ke konsumen.
Sebetulnya, dalam perdagangan kopi ada namanya sertifikat fairtrade. Sebuah sistem perdagangan fair. Pertanyaannya, di mana letaknya perdagangan fair bila sistem pasar seperti sekarang ini? Seharusnya mata rantai perdagangan yang harus diperpendek.
Mestinya, petani kopi dibantu mendirikan koperasi agar mereka tak hanya menjadi petani tapi juga mengelola perdagangan. Petani kopi juga harus punya komoditas sekunder seperti sayur sayuran agar untuk biaya hidup sehari hari terpenuhi. Ini menghindari mereka dari tekanan liberalisasi pasar.
Menurut Haryanto Tan, komoditas unggul harus diberdayakan melalui bank komoditas. Sehingga petani tidak merugi ketika harga pasar anjlok. Bank ini semacam badan penyangga untuk menghindari petani dari permainan pasar.
Begitu perhatiannya Haryanto Tan dengan dunia kopi. Mendengar ayah lima anak ini seperti seperti membaca cerita perjuangan di masa lalu. Menariknya cerita ini keluar dari seorang Tionghoa yang nota bene umumnya pedagang yang cuma memikirkan untung.
Kebanyakan dia menjual bubuk kopi Gayo. Seharinya lebih 50 kilogram dihabiskan. "Saya tak pernah membeli kopi seharga di bawah sepuluh dolar. Beli murah belum tentu untung, beli mahal pada masyarakat bukannya tidak untung" itu filosofis Haryanto Tan.
Ia mendapat kopi dari seorang pengumpul di Bener Meriah bernama Muhammad. Muhammad seorang pensiunan camat di sana. “Saya membeli dari beliau karena ada sistem tatakelola yang sinergis antara petani dengan pengusaha,” kata Haryanto Tan.
Muhammad adalah pembina petani dengan harga yang bagus. “Walau harga pasar sedang anjlok, kami tetap beli dengan harga kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak,” katanya. Alasannya, kalau petani sejahtera mereka akan merawat kebun dengan bagus, menjaga mutu, dan selalu saling melengkapi. Petani harus menjadi penikmat terbesar dari produk yang susah payah mereka hasilkan.
Sekarang ini, kata Haryanto Tan, pemerintah salah kaprah dalam membina petani. Mengajarkan mereka mempertinggi produksi dan mempertinggi mutu tapi tidak mengambil langkah proteksi pasar untuk kesejahteraan petani. "Siapa pun akan berbuat yang terbaik bila itu menyejahterakan dan membuat mereka punya masa depan yang bagus." Jadi pemerintah harus ambil peran di sini bukan cuma bisa memanfaatkan petani melalui pungutan pajak atau hal-hal lainnya.
Dia berbicara banyak hal tentang bagaimana perjuangan membela petani. Semua itu dilakukannya melalui kebun organiknya di Tanah Karo. "Bagi saya kekayaan itu harus menjadi kenikmatan bersama dengan orang yang turut terlibat di visi saya. Mereka harus sejahtera sehingga tidak hanya sebagai buruh yang cuma makan setengah perut, toh kaya sekali saya tidak dibawa ke kubur. Akan bahagia saya bila memberi sesuatu yang tidak merugikan saya.”
Mendengar Tan berbicara, seperti menemukan kesejukan di tempat gersangnya orang-orang berpikir pragmatis dan rakus menumpuk kekayaan pribadi. "Kita seperti merasa bersalah ketika pembicaraan ini kita renungi," begitu komentar Sabri Basyah. Menurutnya negeri ini harus dibangun dengan basis agraris. "Petani harus diberdayakan karena penduduk negeri ini sebagian besar adalah petani,” Sabri menambahkan.
Iskandar Bakri adalah mantan pekerja di Word bank. Dia telah bekerja di banyak negara. "Sebagai tim sukses Jokowi saya berharap pemerintah ini mempertegas keberpihakan kepada petani melalui pemberdayaan dan pengendalian pasar. Jangan biarkan petani ditindas liberalisasi pasar seperti saat ini,” katanya.
Tak terasa kami sudah duduk di sini sampai petang. Kami hendak bubar, dan sempat memesan kopi lagi. Tapi Haryanto Tan menolaknya. Dia mengatakan kami belum makan siang. “Tak boleh begitu, tidak sehat kalau makan tak teratur,” kata Haryanto Tan.
Bahkan ternyata Haryanto Tan tak melulu jualan. Ketika kami membayar dia menepis tangan kami. Tapi Sabri tetap membayar tanpa pernah tahu berapa sebenarnya harga semua yang kami makan dan minum. Kami pun pamit.
Saya merenungkan, benar-benar pembicaraan di kedai kopi Tionghoa itu telah menelanjangi saya. Sejak 2009 saya jadi pejabat dari eselon empat sampai eselon dua, saya merasa tidak berbuat untuk sebuah kebaikan yang benar-benar diamanahkan. Haryanto Tan adalah orang lain dan bukan pejabat tapi begitu empati terhadap nasib kebanyakan makluk di negeri ini yaitu petani.
Nah bila ada sedikit pejabat di negeri ini yang punya pikiran dan mewujudkannya seperti yang dilakukan Haryanto Tan, saya kira tak aka nada lagi petani miskin di negeri ini.
Sayangnya, negeri ini –termasuk Aceh—berisi orang-orang yang penuh intrik, sikapnya melebihi srigala atau apapun makluk lain. Jika srigala dan sejenisnya tak memakan anaknya sendiri, namun manusia di negeri ini rela melakukannya. Banyak pengambil keputusan di negeri ini berperilaku kanibal, ia menjadikan rakyat sebagai santapan lezat melalui program atau pekerjaan atas nama rakyat. Padahal hanya bertujuan menangguk kekayaan dengan rakusnya.
Mereka, membangun kekuasaan dengan intrik dan fitnah sehingga menyuburkan para penjilat. Rasa-rasanya di negeri ini sudah sangat dibutuhkan seorang "dokter spesialis lidah" yang piawai mengasah lidah penjilat agar lebih tajam dan mantap.
Semoga dosa-dosa saya diampuni, mudah-mudahan saya tidak menjadi pejabat lagi, sebab pada akhirnya demi pimpinan saya harus menjajah dan memakan saudara saya. []
Editor: Nurlis E. Meuko